***
Keputusan berumah tangga tanpa memiliki buah hati, sangatlah sulit bisa diterima pada masyarakat umumnya. Tentu akan ada kontra dan tamparan untuk para pasangan yang mengambil jalan ini.
Namun, setiap pasangan yang memilih hidup tanpa memiliki anak setelah menikah tentu punya alasan yang sudah dipikirkan secara matang. Seperti alasan tidak siap menjadi orang tua, ekonomi, lingkungan, fisik pasangan yang tidak memungkinkan, bahkan psikis pun mewarnai sebagai faktor pendukung para pasangan itu.
Begitulah pula dengan Chandra dan Wenda. Alasan pasangan muda itu menjadi penganut childfree—untuk sementara—adalah psikis Wenda yang hingga saat ini masih di tahap penyembuhan.
Berat? Tentu saja ini keputusan yang sangat berat untuk mereka dan keluarga masing-masing, tetapi bagi Chandra kesehatan mental istrinya lebih dari segalanya saat ini. Itu sebabnya, setelah berdiskusi dengan keluarga, Chandra mengambil keputusan ini. Setidaknya, mungkin hingga Wenda benar-benar siap hamil. Untuk selanjutnya, akan mereka pikirkan lagi ke depannya.
"Ibu Navera Four Wenda," panggil seseorang yang muncul di balik pintu berwarna putih gading.
"Iya, ada."
Bukan Wenda yang menyahuti panggilan suster tersebut, melainkan Chandra. Pria itu mengulurkan tangan ke istrinya, tanpa menunggu lama langsung disambut oleh Wenda dengan senyum tipis di bibirnya.
"Selamat, sore. Wah, pasangan muda favorit saya ternyata. Silakan duduk," sapa sang dokter kandungan menyambut kedatangan Wenda dan Chandra-lagi.
Mereka tersenyum lebar saat sang dokter menyebutkan 'Pasangan favoritnya'. Bagaimana tidak, bukan sekali dua Wenda mengunjungi obgyn ini. Jika biasanya Wenda ke sini dalam rangka mendapatkan edukasi tentang kehamilan dan melahirkan, tetapi kali ini mereka datang dengan keputusan yang cukup membuat sang dokter terkejut. Namun, sudah menyangka hal demikian akan terjadi.
"Apakah sudah dipikirkan matang-matang? Maksud saya, semakin ke sini, Ibu Wenda sudah banyak kemajuan."
Wenda mendongak, netranya yang semula memandang lamat nama dr. Amayris Khairunnisa, Sp.OG pada desk name di atas meja kerjanya itu, kini beralih menatap dokter yang menjadi salah satu saksi dalam mengatasi hingga proses kesembuhannya.
"Sudah, Dok. Sudah kita diskusikan juga dengan keluarga," sahut Wenda mantap.
Genggaman Chandra di atas punggung tangannya seakan mengetat. Entah apa yang pria itu khawatirkan hingga refleks melakukan pergerakan itu.
Dokter berhijab dengan paras manis itu menarik senyum. Tangannya sibuk mengetik sesuatu pada keyboard komputernya, kemudian layar yang menghadap Wenda dan Chandra menampilkan beberapa gambar yang mungkin masih asing di netra pasangan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Kami: Tokophobia
RomanceSudah memasuki tahun ke dua Wenda dan Chandra mengarungi bahtera pernikahan di usia muda. Namun, fobia yang diderita Wenda membuat rumah tangga mereka memiliki cerita tersendiri. "Kalian pernah dengar istilah tokophobia?" "Tokophobia tempat belanja...