Bad Dream

733 72 0
                                    

Evie berjalan sendirian menyusuri trotoar. Dan ini terasa aneh baginya, ia masih memakai kaus biru yang bergambar anak kucing dan celana jeans selutut yang sudah dia kenakan sedari pagi. Lalu ia mendongak, menatap langit yang gelap dan ada sambaran petir di sebelah utara yang membuatnya berlari ke arah pos kecil tepat dipinggir jalan. Cuaca sangat buruk, dia bahkan bisa melihat angin menggerakan seluruh pohon dan menerbangkan dedauan. Tapi dia tak merasakan apapun bahkan dengan pakaian seperti ini ditengah cucaca yang sangat buruk. Secara mendadak hujan turun dengan deras ditambah sambaran petir yang terlihat saling beradu. Evie gemetaran sehingga membuat giginya sendiri bergemeletuk, bukan gemetar karena kedinginan, lebih tepatnya dia ketakutan. Bagaimana dia bisa kedinginan?, dia bahkan tak bisa merasakan hembusan angin yang baginya terlihat sangat dahsyat seperti puting beliung bahkan rambutnya yang dibiarkan tergerai tak bergerak sama sekali kecuali jika Evie bergerak. Bajunya bahkan tak basah padahal saat itu hujan lebat.

Evie berdiri mematung, memandang sekeliling dan akhirnya ada beberapa pengendara motor yang berhenti dipos yang sama. Sepasang suami istri, itulah yang dia tau ketika mereka mulai berbicara satu sama lain. Evie tetap diam dan memilih mundur dan duduk dibangku yang ada dibekanganya yang sudah basah dan tergenang air hujan. Dia menurunkan pantatnya pelan dan sekali lagi dia terkejut. Celananya tidak terasa basah sama sekali. Dia mengulurkan tangannya mencoba menyentuh air. Dan lagi-lagi dia terpaku, ia tau jarinya masuk kedalam air, tapi tak terasa dingin apalagi basah. Dia memegang erat dan memijit-mijit tangannya yang tadi dia gunakan untuk menyentuh air. Tangannya hangat persis seperti tangan orang normal. Namun apa yang terjadi dengannya? Saking ketakutannya dia tak sengaja menggigit bagian dalam mulutnya hingga mengeluarkan sedikit darah. Evie lebih memilih menelannya daripada memuntahkannya disini. Karena disini ada orang, dan rasanya tidak sopan meludah ditempat umum, begitulah hal yang sekiranya dia pikirkan.

Pos sudah mulai penuh dengan orang-orang yang ingin ikut berteduh. Pos ini tidak besar bahkan lebih kecil dibandingkan ukuran halte bus kota. Dan dimanapun kau berdiri, kau akan tetap terkena air hujan. Evie kembali terperangah karena tak ada orang yang mau duduk denganya dikursi panjang yang terbuat dari semen dan dilapisi keramik. Evie bertanya-tanya, apa mereka tak mau duduk disini karena basah? Karena Evie sendiri melihat sendirinya tengah duduk di kubangan kecil yang hampir tampak menyerupai kolam. Kebanyakan dari mereka memang sudah basah dan mungkin tak mau tambah basah. Hujan semakin lebat dan sepertinya tak menandakan akan segera reda. Beberapa orang memilih kembali melanjutkan perjalanan dan ada pula yang tetap diam setidaknya sampai hujan reda. Jalan pikiran Evie mulai berfungsi kembali.

"Kalau aku gak basah kenapa harus takut hujan". Dengan sedikit semangat dan masih bertanya-tanya mengenai apa yang sedang terjadi padanya, ia bangkit dan berjalan pelan melewati orang-orang sehingga sampai tepat didepan mereka semua dan berdiri sejenak. Tetapi mereka sepertinya tak menyadari keberadaannya atau lebih tepatnya mereka tak melihat Evie berdiri disitu. Mereka masih mengomentari hujan, sama persis seperti berjam-jam yang lalu. Evi melangkahkan kakinya keluar dari jangkauan atap pos lalu berhenti tepat dibawah pancuran talang yang mengalirkan air hujan dari atap. Dan sekali lagi, dia tidak basah bahkan tak merasakan tekanan air sedikitpun, dia mendongak dan dia tau air itu jatuh tepat di hidungnya tapi tak terjadi apa-apa. Dia menunduk dan melihat air itu mengucur jatuh tepat diantara kedua kakinya. Dia seperti tak tersentuh dan transparan. Atau apapun itu ia tak mengerti, yang jelas dia tak terkena efek apapun dengan keadaan cuaca yang seburuk ini. Evie bingung antara senang dan sedih, sementara kakinya ingin melanjutkan langkah ditengah butiran hujan yang bahkan tak mampu membasahi puncak kepalanya.

Setelah serjalan sejauh 3 meter dia dikejutkan dengan suara deruman mesin motor yang melaju kencang tepat didepannya. Evie bergumam.

"Orang macam apa yang berani ngebut ditengah hujan seperti ini".

Lalu matanya tertuju pada rambu lalu lintas dengan warna kuning, yang sepengetahuannya tanda itu menyatakan mengenai jalanan ini licin ketika turun hujan. Pandangannya kembali pada motor tadi yang kini melintas tepat disebelah kanannya dengan kecepatan tinggi dan mencipratkan air dari kedua belah sisinya. Kepalanya berputar mengikuti arah laju motor tersebut. Tetapi tiba-tiba motor itu oleng seakan sulit dikendalikan hingga akhirnya menabrak pohon besar didepannya dengan sangat keras. Sang pengemudi terpelanting jauh sekitar 10 meter dari jarak motor dan helmnya terlepas dan menggelinding kearahnya. Evie gemetaran bahkan hampir menangis ketakutan. Dia tertunduk menatap helm yang masih menggelinding kearahnya seakan ditarik sesuatu hingga berhenti tepat dibawah trotoar, 5 cm dari ujung kakinya. Orang-orang mulai berdatangan menolong sang pengemudi yang terkapar dijalan dan segera mundur ketika mendengar bunyi dentuman keras. Motornya meledak dan menghasilkan percikan api dan awan hitam yang membumbung keatas ditengah hujan. Evie belum mampu bergerak dan hanya melihat helm yang ada tepat didepannya.

"Helm ini bukannya...". Evie mencoba mengorek sedikit informasi mengenai pemilik helm ini diotaknya, tetapi ia menyerah karena tak mendapatkan apa-apa. Sehingga ia memilih membungkuk dan melihat helm tersebut dengan teliti. Ada tempelan stiker disebelah kanan helm tersebut. Stiker salah satu band ternama yang sangat disukai salah satu teman dekatnya, Fall Out Boy.

"Fall Out Boy?". Ulangnya yang kini ia ucapkan.

"Eric!!!".

"Eric!!!".

DREAMWhere stories live. Discover now