Nada Sibuk

564 54 0
                                    

Setelah mengantar Eric pulang sampai kedepan gerbang, Evie segera masuk kedalam rumah karena dipanggil ibunya untuk makan siang bersama. Evie duduk dikursinya dan mulai mengambil hidangan yang ia sukai. Seseorang menggeser kursi disampingnya lalu mendudukinya. Evie menoleh, betapa terkejutnya Evie karena orang yang duduk disampingnya adalah Bobby. Namun Evie ingin tetap terlihat santai dan normal seakan tak pernah terjadi apa-apa. Padahal didalam hatinya ia merasakan takut yang teramat sangat.

Evie menghabiskan makanannya dengan terburu-buru bahkan sampai tersedak beberapa kali. Ditambah lagi luka gigitan kemarin yang belum pulih membuatnya kesulitan mengunyah makanan.

"Evie.. Makannya pelan-pelan". Pinta ibunya yang khawatir melihat putrinya terbatuk-batuk hebat.

"Aku mau bales pesannya Mark mah,kelupaan". Evie berkilah. Kini Bobby yang gantian bicara.

"Emang kemarin Evie kenapa Bu?".

"Dia itu nangis keras sekali bahkan sampai muntah-muntah. Ibu khawatir takut ada apa-apa. Tapi pintunya dikunci. Tadinya mau didobrak oleh Mang Dono tapi Evie keburu bilang jangan rusak pintunya". Ibunya menjelaskan kronologinya kepada Bobby. Evie diam saja.

"Ada apa Vie?". Tanya Bobby sambil memandang matanya lekat-lekat seakan sedang membaca isi fikirannya.

"Gak ada apa-apa. Eeemm yap. Makananku udah abis dan Mark menunggu. Aku kekamar dulu, sekalian tidur siang". Evie menjauh dari ruang makan dan masuk kekamarnya. Pintunya langsung dikunci takut-takut kakaknya masuk dan melakukan hal yang mengerikan.

Tapi dikamar ia tak melakukan apa-apa. Hanya berbaring dan berguling kesana kemari. Dia juga tak tidur siang, karena dia takut mengalami mimpi buruk yang sama seperti kemarin. Dia hanya bengong dan memikirkan mengenai mimpi buruk apa lagi yang akan dialaminya ketika dia tertidur. Tapi bagaimanapun manusia butuh istirahat. Karena menolak tidur berarti menghadirkan masalah baru.

---

Sudah 2 hari Evie tidur nyenyak seperti sebelum-sebelumnya. Tubuhnya pun semakin pulih dan jauh lebih mudah digerakkan dibanding hari-hari kemarin. Kini Ia sudah bergerak dengan leluasa bahkan bisa membantu Ibunya didapur.

Siang itu awan mendung terlihat sangat tebal. Gumpalan awan kumulus yang membawa petir dan es ikut serta dengannya. Evie menonton tivi dengan tenang karena Bobby sedang tak ada dirumah. Dan perasaannya semakin senang ketika melihat Ayahnya pulang setelah sepekan pergi ke Spanyol untuk urusan perusahan. Evie memeluk tubuh ayahnya dan bergelendotan dengan manja.

"Evie kangen sama ayah".

"Ayah juga. Oh lihat ini". Ayahnya mengeluarkan sepuluh macam coklat khas Spanyol kesukaannya. Coklat dengan rasa buah dan kacang-kacangan.

"Terima kasih ayah". Evie menerimanya dengan gembira.

Dia tau, biarpun dia berusaha keras untuk tampil dewasa dan kuat didepan orang lain justru akan berbanding terbalik ketika dia berada ditengah orang tuanya. Ia mendadak jadi gadis manja, gampang cemberut dan kekanak-kanakan. Ayahnya mencium pipinya dan bertanya.

'Bagaimana keadaanmu? Sudah mendingan?".

"Sudah yah".

"Oh iya, kamu ditanyain sama Joseph. Katanya kapan ke Spanyol lagi?".

"Wah, kemarin Mark, sekarang Joseph". Celoteh Evie lucu.

"Mark? Wah gimana kabarnya?". Tanya Ayahnya.

"Baik yah. Dan aku ingin melihat Chicago ketika musim gugur".

"Lain kali kita berkunjung kesana lagi ya". Ajak Ibunya.

"Ya, soal Joseph biar nanti Evie kirim e-mail saja".

---

Evie baru selesai mandi. Rambutnya yang basah dia biarkan tergerai. Ia melongok ke jendela, langit jadi semakin gelap, meskipun baru jam tiga sore suasananya seakan hendak menjelang malam. Dia keluar kamar bertepatan dengan Bobby yang baru pulang, Evie melihat sedikit senyum licik diwajahnya.

"Darimana kak?". Tanya Evie sebagaimana seorang adik bertanya pada kakaknya.

"Not your bussines". Jawab kakaknya sambil masuk kekamarnya dan membanting pintu. Evie terdiam dan benaknya lagi-lagi dipenuhi mimpi buruknya saat itu. Ia segera kembali masuk ke kamarnya, meraih ponselnya dan menelpon Eric agar hari ia tidak pergi kemana-mana. Cuaca hari ini sama persis seperti yang ada dimimpinya. Langit yang gelap, petir menyambar, angin kencang dan sekarang hujan lebat mulai membasahi pekarangan didepan kamarnya. Evie mondar mandir, mencoba menghubungi Eric tetapi telponnya sedang sibuk.

"Eric sedang berbicara dengan siapa?". Batinnya resah.

Setelah sekian lama mencoba tetap tidak ada jawaban. Dan jawaban terakhir yang Evie dapatkan hanyalah pemberitahuan bahwa nomer yang sedang dituju sedang tidak aktif.

Evie semakin ketakukan. Sudah jam 3.30 dia belum juga mendapat kabar. Dia takut mimpinya menjadi kenyataan. Dia takut semuanya benar-benar terjadi.

45 menit kemudian ponselnya berdering.

"Eric!!!". Evie setengah berteriak memanggil nama sahabatnya itu. Benar itu adalah nomer Eric. Jantungnya berdegup kencang, dan dia tersengal-sengal tangannya pun gemetaran ketika menempelkan ponsel itu ditelinganya.

"Hallo". Tanya Evie penuh ketakutan.

"Hallo. Apakah anda teman dari pemilik nomor ponsel ini?".

Siapa dia? Dia bukan Eric? Jelas bukan suara Eric?.

"Ya, saya sahabatnya. Ada apa dengan sahabat saya? Anda siapa?". Tanya Evie gemetaran.

"Saya petugas polantas. Sahabat anda baru saja mengalami kecelakaan".

Kini ia merasa awan petir, hujan dan angin kencang diluar sana berpindah kekamarnya. Evie tak mampu mengatakan apa-apa. Mulutnya tergagap dan matanya melotot tak percaya sehingga secara tidak ia sadari matanya mulai mengeluarkan air mata. Bobby menyeruak masuk kekamarnya yang tidak ia kunci, meraih ponsel ditangannya disusul tangisan Evie yang kini semakin menjadi-jadi. Ibu dan ayahnya pun datang. Bobby keluar dari kamar Evie yang penuh tangisan.

"Posisi dimana pak? Saya akan segera mengabari pihak keluarganya". Ujar Bobby dengan teramat sangat tenang.

---

DREAMWhere stories live. Discover now