Tak terlalu pagi seperti yang direncanakan semalam. Hari ini Evie meninggalkan hotel ketika hari sudah mulai siang. Dia bangun kesiangan karena lelah berjalan kaki. Guna mengisi perutnya yang kosong, ia mampir sebenar diwarung bubur ayam yang ada di pinggir jalan. Ada beberapa orang yang juga sedang menyantap bubur. Evie duduk dikursi paling belakang, memesan seporsi bubur dan teh manis hangat.
Didepannya duduklah dua orang pria paruh baya. Keduanya sedang asyik mengobrol. Evie tak tau mereka membicarakan apa. Ketika bubutnya datang, ia sarapan dengan santainya.
"Apa? Anak gadisnya Pak Zainal Agung kabur dari rumah?". Pekik pria yang memakai baju coklat dengan suara yang cukup keras. Evie terkejut dalam diamnya. Kabar mengenai pelariannya sudah menyebar jauh. Ia harus berhati-hati.
Temannya mengangguk mengiyakan.
"Iya, dan katanya dia dikutuk".
"Kutukan apa?". Pria baju coklat itu mulai bergidig. Evie masih terdiam, bagaimana mereka tau mengenai hal itu.
"Katanya. Menyukai berarti membunuh, mencintai berarti membunuh, menyayangi berarti membunuh, mengasihi berarti membunuh". Ujar pria berbaju merah. Temannya mengernyit ngeri.
"Bagaimana bisa begitu? Sama sekali tidak masuk akal".
"Pak Zainal melakukan perjanjian dengan setan. Kau tau kan, putrinya koma. Dan ayah mana yang tega melihat kondisi anaknya seperti itu".
"Jadi dia nekat melakukannya agar putrinya sadar dari koma. Pak Zainal yang terhormat, terpandang dan berpendidikan tinggi melakukan hal semacam itu?".
"Iya".
"Kau tau dari mana?".
"Banyak orang sudah membicarakannya. Mungkin putrinya masih ada dikota ini entah dimana". Ujar pria berbaju merah.
Asal kalian tau saja, aku ada disini. Tepat dibelakang kalian. Batin Evie.
"Apa yang harus kita lakukan?".
"Jauhi dia. Jangan berhubungan dengannya dalam hal apapun. Dia berbahaya".
Evie geram. Ia meninggalkan buburnya yang belum habis lalu menyimpan uang Rp. 50.000; diatas meja. Ia memakai kaca mata dan topinya lalu berseru kepada pelayan bubur.
"Kembaliannya pakai saja untuk membeli dua orang bapak ini minuman. Mereka terlalu banyak bicara".
Semua orang menatapnya bengong, termasuk bapak-bapak tadi. Tanpa senyum sedikitpun, ia melangkah keluat dari warung bubur.
"Persetan. Aku bahkan tak mau mengenal kalian".
---
Sepanjang jalan dan tikungan, Evie selalu saja mendengar kabar yang berhubungan dengannya. Ia mulai muak, ia berjalan ke stasiun, lalu naik kereta api yang jadwal pemberangkatannya paling awal. Terserah saja mereka mau bilang apa. Ia mau melarikan diri ketempat dimana tak seorang pun mengenalnya. Turun dari kereta, ia menumpang taksi lalu menuju ke pelabuhan. Akhirnya dengan membayar mahal, ia diijinkan untuk ikut kapal nelayan. Mengapa tak naik pesawat? Ia tak mau menggunakan namanya yang dulu. Ia harus naik-turun kapal dan juga mau tak mau ikut membantu nelayan. Ia tak terbiasa hidup kasar seperti ini, menarik jala, dihantam badai, terombang-ambing. Tapi ia bahagia, tak ada yang mengenalnya, dan ia akan pergi menuju tempat yang jauh. Hingga akhirnya ia menginjakkan kakinya disebuah pulau, para nelayan menyebutnya Pulau Intan, karena pasir pantainya akan berkelip indah ketika terkena sinar matahari. Pulau yang masih sunyi, tapi sepertinya sedang berlangsung sebuah pembangunan besar-besaran. Evie berjalan mantap, menatap penuh harapan, ia akan memulai hidup barunya disini. Sebagai awalnya, namanya sekarang adalah Gina.
---

YOU ARE READING
DREAM
Mysterie / Thriller"Menyukai berarti membunuh, mencintai berarti membunuh, menyayangi berarti membunuh, mengasihi berarti membunuh". Kutukan apa yang melarangnya merasakan hal yang manusiawi? Bagaimana cara ia menghadapinya?