Mrs. Kate

332 29 4
                                    

"Maaf saja tak pernah mampu memperbaiki keadaan. Karena setahuku, maaf bukanlah mesin waktu."

Evie mendongak, menatap lurus menghadap wajah kakaknya yang menurut wanita-wanita lain ia sangat tampan, tapi tidak baginya. Ia pria yang mengerikan, ia pria yang menyedihkan. Begitulah yang ia katakan tadi.

"Kau banyak berubah..." Bobby menunduk.

"Ya, karena kau yang memaksaku. Mulai saat ini, detik ini, aku tak akan diam dan bersembunyi lagi seperti dulu. Aku akan melawan."

"Evie, segalanya berbeda..." Bobby mendadak mengangkat wajahnya. Ia berusaha meyakinkan adiknya bahwa ia memang bersungguh-sungguh mengenai permohonan maafnya.

"Segalanya?" tukas Evie. "yang berbeda hanya aku. Semuanya tetap sama."

"Evie, tapi..."

"Oh ya, kakak ingin aku cepat sembuh kan?" Evie memotong perkataan kakaknya. "Kalau begitu lebih baik kakak tinggalkan aku sendiri, biarkan aku makan bubur dan minum obat dengan damai."

"Kau mengusirku?"

"Aku tau kakak cukup pintar untuk memahami kalimat seperti itu." ujarnya tegas.

"Ya aku tau, aku mengerti. Aku akan segera pergi dari sini, dan kau Evie, adikku. Jagalah kesehatanmu."

"Ya, aku tau. Kau juga tak perlu terlalu perhatian seperti itu kepadaku. Aku sudah terbiasa kau lukai, kebaikanmu malah membuat otakku bekerja lebih berat dari biasanya."

---

Bobby pergi, menghilang dari balik pintu. Evie masih terduduk, terdiam lalu ia mulai tersenyum. Senyum sendiri, ia merasa lega karena ia telah mengucapkan segala sesuatu yang mengganjalnya selama ini langsung dihadapan kakaknya. Ia masih tersenyum dan kini ia tertawa, tawa lepas, tawa yang hanya terjadi ketika Eric menceritakan lelucon atau ketika sahabat baiknya itu menjahilinya. Semacam tawa yang telah lama hilang dan mendadak kembali lagi.

"Aku sudah gila, aku memang gila." Evie berbicara sendiri disela tawanya. Mengadu kedua telapak tangannya, menimbulkan suara tepukan nyaring. Ia sangat bahagia. Melihat kakaknya bertingkah seperti itu, melihat kakaknya dengan wajah bersalah, melihat kakaknya dalam sosok yang berbeda jauh dari biasanya. Segalanya seperti mimpi tapi ini semua nyata. Ingin rasa ia mengulang semua kejadian tadi.

"Ini Aku! Hadapilah Bobby."

---

Keesokannya ia sudah pulih sepenuhnya. Ia pergi kekantor pagi-pagi, berdendang di sepanjang lorong menuju ruang makan. Langkahnya terasa ringan, segala beban yang menumpuk diotaknya seakan hilang tersapu badai besar, ia bagaikan terlahir kembali.

"Waw kau terlihat bahagia, kabar baik apa yang kau terima pagi ini?" tanya Fred, salah satu staf kantor ketika mereka berpapasan didepan pintu ruang makan.

"Aku tak tau, aku juga tak menerima berita apapun, mungkin karena aku tidur nyenyak semalaman." Evie tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya, ia terus menerus tersenyum.

"Kalau begitu kau harus tidur nyenyak setiap hari. Oh ya, kau tak ikut ke Washington?" tanyanya lagi.

"Tidak," Evie masih tersenyum sambil mengelengkan kepalanya, rambutnya menari menepuk kedua pipinya. "kemarin aku sedikit demam. Jadi semua orang memintaku istirahat total."

"Dan sekarang kau sudah sembuh? Luar biasa. Oh ya, mau makan bersamaku?"

"Tentu saja Fred."

Evie mengambil peralatan makannya dan ikut mengantri dibelakang Fred. Nafsu makannya bertambah paska sembuh dari demam, dan pagi ini dia bertekad untuk mencicipi semua makanan yang melintas dihadapannya. Ia tak peduli mengenai bagaimana rasanya nanti ketika beragam rasa makanan itu bercampur dimulutnya, ia hanya berfikir bahwa semua itu pasti akan sangat menyenangkan.

DREAMWhere stories live. Discover now