6. Empat

270 97 323
                                    

Untitled:Iridescent

BAB 4

Hai...hai...haii...guisss akhirnyaaa bab empat bisa meluncur, kalian apa kabar wuy? Sehat..sehat yaa..

Thank you sudah menyempatkan waktunya buat mampir, jangan lupa bacanya diresapi yaa😊

Jangan lupa vote sebelum membaca, enjoy. 🖤

***

Ellen berdiri di depan wastafel, menatap dirinya yang menyedihkan di pantulan cermin. Mulai hari ini, harinya akan menjadi hari-hari yang buruk. Masih dengan permasalahan yang sama. Apalagi kalau bukan teror telfon dari Dika yang hampir setiap dua jam sekali dilayangkan kepadanya.

Jangan lupa juga soal Airlangga, pria itu lebih tidak waras lagi. Pagi ini, entah dari mana datangnya, tiba-tiba dia sudah berada di rumah Ellen dan berteriak-teriak di depan pintu kamar Ellen menggunakan toa. Bahkan Bi Warti tidak tahu siapa pria yang sekarang tengah asik menonton berita pagi, jadi sudah bisa dipastikan bukan Bi Warti yang membukakan pintu untuk Airlangga. Pak Maman, itu juga tidak mungin, sudah dua hari Pak Maman izin karena anaknya sakit.

Airlangga tersenyum sinis, memperhatikan Ellen yang tak punya semangat. Manik matanya mengikuti kemanapun Ellen pergi. Gadis itu berhenti di depan tudung saji yang masih kosong, ada raut kecewa di wajah Ellen.

"Lo laper, Len?" Ellen acuk tak acuh.

"Mau gue masakin mie?"

"Gue nggak makan mie sepagi ini, Air!"

Airlangga mengangguk, ia memilih bermain game yang tengah digandrungi jaman sekarang. Ellen lagi-lagi tidak peduli, ia justru senang, untuk beberapa menit suara pria sialan itu tidak menganggu ketentraman gendang telinganya.

"Len," panggil Airlangga, ia duduk di hadapan Ellen yang tengah menguap selebar terowongan. Airlangga menatap setengah kesal, sungguh tidak ada malunya gadis ini.

"Tunggu, sebelum gue bantuin lo lebih jauh nih, ya, ada baiknya lo ikutin aturan gue." Airlangga mengangguk patuh.

"Sekarang gue tanya, terakhir lo PDKT sama Ansel gimana?" tanya Ellen, ia mulai mengunyah wortel yang baru dilahapnya.

"Lo makan yang begituan?"

"Heh, jangan keluar dari topik, jawab!"

"Ya, gue kasih dia surat," ucap Airlangga seadanya, ia masih gagal fokus melihat gadis di depanya. Jangan-jangan Ellen adalah titisan kelinci, Airlangga bergidik sendiri.

"Nah itu, lo pikir ini jaman Majapahit, jaman penjajahan, jaman RA Kartini sebelum emansipasi, terus jaman nenek lo gitu?" sungut Ellen setengah malas. "Lo pikir Ansel hidup tahun berapa?!"

"Tahun..."

"Shit, nggak usah diterusin. Intinya, ini udah jaman modern. Lo kalau beneran suka sama Ansel, tunjukin keseriusan lo." Ellen sedikit mendorong bahu Airlangga saking geramnya.

"Caranya?"

"Lo beliin Ansel rumah tujuh lantai, mobil roda sepuluh, berlian satu kilo, tas gucci satu toko, parfum Victoria Beckham satu drum," ucap Ellen nyleneh.

"Gitu, ya?" Airlangga bangkit dari duduknya, wajahnya berseri-seri.

"Lo mau ke mana?"

"Nyari yang lo bilang."

"Gue cuma bercanda, Airlangga." Ellen mendengus. "Lo ajak Ansel jalan, buat dia nyaman sama lo."

"Berdua?" Ellen mengangguk malas. "Dia mana mau, udah gue coba berkali-kali."

Untitled:Iridescent | SEKUEL | COMPLETE |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang