23. Dua Puluh Satu

104 41 142
                                    

Untitled: Iridescent.

Bab 21

Back to Rabuan bersama Untitled:Iridescent. Hi, terima kasih sudah kembali ke laman ini. Selamat membaca dan jangan lupa vote, komen.

*Bantu temukan typo*

***


"Ansel, gue mau ngomong." Skakmat, Ansel menelan salivanya seraya membalikan lembaran buku, kali ini ia tidak bisa berkutik, bagaimana bisa Airlangga tiba-tiba berdiri di depannya tanpa ia ketahui kapan datangnya, apakah ia terlalu asik dalam dunia literasinya?

Ansel menelisik sekitar, perpustakaan siang ini ramai, jelas saja jika ia kabur akan menimbulkan kecurigaan dari yang lain, ia hanya tidak mau fans Airlangga kembali membuat kehebohan.

Ansel memajukan dagunya, mengiyakan apa yang lelaki itu ucapkan. Airlangga menariknya menuju salah satu meja dan kursi yang terletak di sudut ruang perpustakaan, walaupun terlihat banyak orang namun tetap saja keadaannya hening.

"Gue nggak punya banyak waktu, masih banyak tugas," ucap Ansel lirih, ia menutup buku yang ia baca.

"Sel, gue nggak mau keadaan kita nggak enak selamanya kayak gini. Gue merasa bertanggung jawab atas semua ini, terlebih hubungan lo dan Ellen. Gue mau lo maafin dia, ya, karena dari awal gue yang nyeret dia buat masuk ke sini. Lo tahu kalau dari dulu gue emang ngejar lo, 'kan? Gue tahu lo cuma pura-pura bego buat nutupin ketidaktahuan, mungkin gue yang nggak sadar diri kalo gue emang nggak pantes buat lo. Gue yang berharap lebih buat dapetin lo, gue yang berekspetasi tinggi tanpa pernah mikir mau nyerah, gue yang selalu yakinin diri gue bahwa apa yang gue usahakan ini pasti nanti terbayar," tutur Airlangga serius, ia menatap kedua manik mata Ansel.

"Terus sekarang rasa lo ke gue gimana?" Suara AC yang terletak di atas mereka terdengar sedikit bising saat menyemburkan udaranya, tidak langsung menjawab, Airlangga justru terlihat termenung beberapa saat.

"Gue capek denger semua orang bilang harus maafin Ellen, maka dari itu semalem gue udah maafin dia. Lo nggak perlu berusaha buat nemuin gue dan mohon supaya gue maafin Ellen," imbuh Ansel.

"Gue udah kasih jeda untuk lo jawab pertanyaan gue tadi, apa masih belum bisa jawab?" Ansel merapatkan jaraknya pada Airlangga, meraih dagu laki-laki itu dengan jemarinya. "Jawab, Air."

"I still love you no matter what," balas Airlangga meraih tangan Ansel yang masih berada di dagunya.

"Tapi gue nggak liat keyakinan dari diri lo," kekeh Ansel, matanya kembali menerawang Airlangga. "Apa lo pernah goyah ke Ellen?" sambunynya lagi. "Sedikit aja, pernah?"

Airlangga menggeleng pelan. "Gue cinta sama lo, tapi sekarang gue bakal ngebiarin lo sama apapun pilihan lo, gue nggak akan ngejar kalau kenyataannya lo nggak mau dikejar."

"Kalau ternyata sekarang lo udah berhasil dapetin apa yang lo mau?" Airlangga menyatukan alisnya. "Kita berhenti aja yuk, Air. Lo berhenti buat ngejar gue dan gue berhenti buat pura-pura nggak tahu. Kita jalan sama-sama sekarang?"

Airlangga menarik napasnya, raut keterkejutan memenuhi garis wajahnya, Ansel tersenyum simpul. "Kayaknya Airlangga yang gue maskud nggak di sini deh, mungkin dia udah hilang. Berarti saatnya gue untuk mengecilkan harap, sekarang mau lo apa, Air? Gue liat justru lo yang tekejut sama ucapan gue. Apa ada orang yang udah berhasil gantiin gue?"

"Nggak usah kaget gitu Air, gue bercanda soal semua yang gue omongin tadi. Mana mungkin juga gue mau sama orang yang ngancurin hubungan gue dulu." Ansel bangkit dari duduknya, matanya berubah menajam bersamaan dengan tangannya yang mengeluarkan keringat dingin.

"Makasih, ya, Air, gara-gara lo, gue sampe putus sama Dika saat itu." Ansel menepuk bahu Airlangga, laki-laki itu tidak memberikan pembelaan apapun selain menatapnya dengan tatapan yang justru sulit diartikan.

***

Gadis itu menyenderkan tubuhnya pada tembok, kedua tangannya ia lipatkan di depan dadanya. Melirik arloji pada lengan kirinya yang menujukkan pukul dua siang. Ia harus menemui orang ini, mungkin untuk yang terakhir kalinya.

"Mata kuliah hari ini kita selesaikan, jangan lupa tugas terakhir dikumpulkan nanti malam pukul dua belas, dan sampai jumpa di pertemuan minggu depan." Suara dosen dari dalam ruangan sedikit terdengar nyaring hingga keluar, Ansel menegakkan tubuhnya, bersiap menyambut seseorang yang ia ingin temui.

Ramai mereka berbondong untuk keluar kelas, Ansel berdiri di sisi pintunya. "Dika," panggilnya, sang empunya nama menoleh sembari melepas airpods yang baru saja ia pasang.

Taman kampus sepi karena cuaca sedikit mendung, mereka sama-sama terdiam sejak sepuluh menit yang lalu, rasa canggung mendera keduanya.

"Gue mau minta lo jujur boleh?" tanya Ansel mengawali, Dika mengangguk pelan.

"Apa Mama pernah nemuin lo di luar rumah?" Dika menggeleng.

"Dika gue minta lo jujur."

"Ini jujur Ansel," ucap Dika.

Ansel menyunggingkan bibirnya. "Lo ngerti nggak sih rasanya tahu kebenaran dari orang lain? Dan orang yang bersangkutan justru menutupi kebenarannya?"

"Oke, yang ini emang nggak penting karena udah berlalu. Tapi gue udah tahu semuanya Dika, kenapa lo nggak ngomong sama gue saat itu?"

"Gue rasa saat itu omongan Mama lo bener kalo gue cuma jadi penganggu study lo," Dika membuka kartu apa yang selama ini coba ia simpan sendiri, ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi taman. "Tapi setelahnya gue fighting lagi, 'kan? Ya, tapi sayang aja, mungkin memang kita nggak ditakdirin buat bareng lagi, gue nggak maksa semesta juga."

"Gue cukup seneng bisa berjuang sampai kemarin, maaf kalau bikin lo salah paham. Gue sampai minta bantuan Ellen karena gue udah nggak ngerti harus fighting buat lo kayak gimana lagi." Penghantar sabit terluncur dari bibir Dika, laki-laki itu mengelus puncak kepala Ansel.

"Sekarang gini, ya, lo nggak usah pikirin gue. Lupain masalah kemarin, lo harus berhubungan baik lagi sama Ellen, karena bukan salah dia, itu karena gue yang maksa. Gue bakal pelan-pelan lepasin lo. Kita baikan jadi temen lagi kayak kemarin, ya?" papar Dika, ia menangkup kedua pipi Ansel.

Ansel memeluk Dika tiba-tiba. "Sorry banget Dika kalau harapan untuk kita bisa balik dan kayak dulu nggak bisa gue wujudin."

"Its okay, Ansel, ini bukan salah lo. Jangan pernah salahin diri lo kalau soal perasaan, ya, karena itu bukan tugas lo untuk bales rasa gue." Dika membalas pelukan Ansel tulus.

"Kita berhenti aja yuk, Air. Lo berhenti buat ngejar gue dan gue berhenti buat pura-pura nggak tahu. Kita jalan sama-sama sekarang?" Suara Ansel masih terpatri di dalam kepala Dika saat ia hendak menemui gadis itu di perpustakaan. Namun, sayangnya waktu kembali tidak mempersilakan kesempatan untuknya, yang ada hanya sebuah percakapan tombak yang bisa ia dengar, dan lagi, lagi, ia harus menerimanya dengan lapang. Ini sudah titik akhir, untuk segala perjuangannya. Dibalik pelukan itu, Dika tersenyum kecut, jemarinya ahli mengelap air matanya yang tiba-tiba meluruh.

***

"Ellen," panggil Ansel saat dirinya baru saja turun dari mobil Gema, terlihat Ellen sedang membuka gerbang rumah, gadis itu sempat terpaku beberapa saat, lalu mengembangkan senyum tipisnya.

"Kaki aman?" tanya Ansel riang, Ellen mengangguk lalu melirik ke arah Gema, lelaki itu mengendikkan bahunya.

"Gue masuk dulu, Len." Ansel meninggalkan Gema dan Ellen yang saat ini sama-sama mematung kaku.

To be continue...
How about this part?

Xoxo,
-me and LynAndromeda

Untitled:Iridescent | SEKUEL | COMPLETE |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang