16. Empat Belas

132 46 214
                                    

Untitled:Iridescent.

BAB 14

Selamat membaca bagian empat belas dari Untitled:Iridescent. Enjoy! ❤

***

"Ellen, Ellen."

Sudah puluhan kali ia memanggil, si pemilik nama belum juga menghentikan langkahnya, gadis itu justru semakin jauh berlari. Dengan energi yang tersisa ia kembali berlari setelah berhenti beberapa detik untuk mengambil napas, ia teus meneriaki nama Ellen. Orang-orang mulai menatapnya, mungkin suaranya kelewat sember hingga pagi mereka yang tadinya indah berubah buruk. Matahari yang belum lama bertengger di cakrawala juga ikut sebal dengan suaranya, lihat saja, matahari menghukumnya dengan keringat layaknya air terjun.

"Ellen!" teriaknya sekali lagi, kali ini sepertinya ada keajaiban, gadis dengan setelan sporty itu berhenti, tanpa melewatkan moment ia berlari menghampiri. "Heh mak lampir." Ellen tidak menggubris, fokus menyeka keringat dengan handuk kecil. Dika sedikit mencubit lengan Ellen saking sebalnya.

"Astaga, Daki!" pekik Ellen, suaranya lebih kencang dari mikrofon penjual kaos di sebrang jalan. Dika terus mengelus dadanya.

"Nggak usah pake nyubit bisa mereun," imbuh Ellen, ia melepas airpodsnya. Dika menghela napas setelah menyadari hal itu.

"Maneh susah banget di hubungin, harus banget gitu disusulin ke CFD?" Ellen tertawa kecil, matanya menelisik Dika, sepertinya Dika memang tidak ada persiapan berolahraga raga. Pria itu mengenakan celana jeans pendek dengan kaus hitam polos, tak lupa sendal jepit sebagai pelengkap penampilannya.

"Gue mau curhat," lirih Dika.

Pandangan Ellen beralih ke langit indah di atas sana, "Pagi ini terlalu cerah buat ngedengerin keluh kesah lo, Daki." Dika sedikit kecewa, tahu begini lebih baik ia lanjut tidur saja.

"Kecuali kalau lo mau traktir gua makan, lain lagi ceritanya." Ellen menaik turunkan alisnya.

Dengan semangat membara Dika membawa Ellen ke tempat penjual nasi kuning. Sebelumnya gadis itu sudah mewanti-wanti agar ia tidak mentraktirnya makan opor, mungkin Ellen ingat Gana, Dika tertawa dalam hati.

Dua porsi nasi kuning sudah tersedia di atas meja, Ellen merekahkan senyumnya dan mulai mengunyah nasi kuningnya.

"Gue udah boleh curhat?" Ellen mengangguk, meski ia terlihat lebih tertarik dengan makananya, telinga Ellen sudah ia buka lebar-lebar untuk mendengarkan curhatan Dika.

Dika berpikir sejenak, ia bingung harus mulai dari mana. "Len saingan gue makin banyak, kayaknya perjuangan gue juga sia-sia." Ellen sempat menatap Dika sebelum kembali mengunyah.

"Gue nggak tau lagi gimana cara ngeyakinin Ansel. Sampai kapan gue berjuang sendirian, Len? Harusnya gue nggak pernah putusin dia!" Dika menggebrak meja di hadapannya, membuat Ellen dan beberapa pasang mata yang lain tersentak. Ellen menepuk-nepuk punggung tangan Dika agar pria itu lebih tenang, raut wajah Dika terlihat sangat putus asa.

"Daki." Dika balik menatap Ellen, untuk pertama kalinya Ellen memanggilnya dengan nada selembut itu, "Lo yakin mau nyerah? Lo nggak takut lo akan semakin nyesel karena nyerah lebih awal?"

Dika tidak menjawab. Ellen menghela nafasnya. "Mungkin lo perlu berjuang lebih keras lagi. Nanti akan ada dua kemungkinan, lo bahagia denger jawaban Ansel atau lo patah hati. Apapun itu, lo harus terima keputusan Ansel. Lo jelas tau cinta nggak bisa di paksakan, dan sekalipun waktu itu lo nggak putus sama Ansel, kalau akhirnya semesta ngebuka hati Ansel buat orang lain, lo bisa apa?" Dika meremas jemarinya, dadanya semakin sesak, rasanya sedikit sulit mencerna kalimat Ellen.

Untitled:Iridescent | SEKUEL | COMPLETE |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang