37. Extra Tiga

97 30 178
                                    

Extra Tiga (A)

Holla, guys, apa kabar?

Kita semakin memasuki bagian inti, jangan lupa baca dalam keadaan senggang supaya tidak terjadi kengebugan. Happy reading.

Jangan lupa vote sebelum membaca anda stay spam komen yang bermanfaat.

Thank you.

***

Bandung, 2006.

Dika duduk sendiri, sudah tiga puluh menit di sini, ia belum juga menyentuh satupun menu yang berjajar di atas meja makan. Matanya terus menyorot anak tangga yang tak jauh di hadapannya.

Prang

Dika memejamkan mata bersamaan dengan suara vas bunga yang pecah, perlahan ia menutup telinganya.

"Aku udah nutupin aib kamu! Harusnya kamu terima kasih," teriak Reza dari ruang keluarga.

"Terima kasih kamu bilang? Mikir kamu, semua malah tambah kacau!" teriak Helena tak mau kalah.

"Siapa yang bikin kacau? Kamu!"

"Kamu!"

Prang

Entah apa yang pecah sekarang, Dika tidak mau menebak. Tangan dan kakinya mulai gemetar. Dia lelah, sangat lelah mendengar pertikaian orang tuanya.

"Pelangi, pelangi, alangkah indahmu ...." Dika bernyanyi dalam hati, bibirnya mengembangkan senyum dengan sempurna, "merah, kuning, hijau ...."

Prang

"Cukup, Helena! Kamu yang salah, kamu yang membuat rumah ini udah bukan rumah yang seharusnya!"

"Tutup mulut kamu Reza!"

"Pelangi, pelangi, ciptaan Tuhan."

Tap ... tap ... tap

Suara langkah yang tengah menuruni anak tangga mengalihkan fokus Dika.

"Teteh," lirih Dika sumringah, gadis sebelas tahun itu berdiri di ujung anak tangga, menatap Dika datar.

Berbeda dengan Dika yang ceria. Gadis itu memiliki sifat dingin dan irit bicara, sorot matanya terkadang sendu, terkadang juga tajam menikam.

"Teteh mau ke mana?" bisik Dika.

Kakaknya tak acuh, terus berjalan ke ruang keluarga, menyalakan radio dan speaker dengan volume tinggi.

"Ellen!" pekik Helena.

"Selamat ulang tahun, Ellen ucapkan." Nyanyi Ellen dengan wajah datar, gadis kecil itu melempar microphone ke lantai hingga menimbulkan bunyi bising yang tidak keruan.

Orang tuanya sejenak memandang beringas. Namun, tetap saja mereka melanjutkan pertengkaran dengan suara yang lebih keras.

Ellen menaikan satu sudut bibirnya, bunyian di ruang keluarga semakin beradu menyakiti gendang telinga. Pagi ini jelas menjadi pagi yang lebih riuh dari biasanya. Ellen kembali ke meja makan.

Prang ... prang ... prang

Nging ... selamaa ... nging ... nging

Tangan Ellen meraih pisau panjang di sebelahnya, ia berjalan ke samping Dika. Mereka sama-sama tersenyum.

"Kita mulai dari mana?" bisik Ellen.

"Paha gimana, Teh?"

Ellen mengangguk setuju, ia mengangkat pisaunya dan mengayunkan pisau itu ke paha ayam betutu kesukaan adiknya. "Selamat ulang tahun, Dika."

Untitled:Iridescent | SEKUEL | COMPLETE |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang