04

4.3K 685 31
                                    

Ruangan itu begitu sempit dan gelap. Kaca jendela yang besar menampilkan bulan bersinar begitu indah, menghembuskan angin malam untuk masuk menuju celah lubang terkecil.

Elina menarik syal bulu besarnya lebih erat mencari kehangatan. Ia lantas mengambil bantal kursi di sebelahnya dan memeluknya dengan tatapan masih fokus pada lilin di atas meja yang menjadi satu satunya penerangan di ruangan itu.

"Aku suka nona itu." ungkap Elina tiba tiba.

Elias yang tengah duduk di bawah dan menulis sesuatu pada kertas menggunakan pena bulu menoleh kaget. Keningnya mengkerut sedikit kesal mendengar sang saudari membicarakan orang lain untuk pertama kali.

"Maksudmu Charlina?" tanya Elias menebak.

Elina balik menoleh sembari menautkan kedua alis tak suka. "Kau tidak boleh memanggil namanya langsung, Elias. Itu tidak sopan!"

Elias yang mendengar itu sontak terkekeh pelan. "Kenapa? Toh hanya ada kita di sini. Tidak akan ada yang dengar dan mengadukan, jadi tenanglah." tuturnya dingin, mengangkat kedua bahu ringan.

Pelukan Elina pada bantal kursinya mengerat melampiaskan emosi sembari menggigit bibir bawah kuat. Sejak masih tinggal di istana Elias selalu saja bertingkah seenak dan sesuka hatinya begitu. Tapi anehnya ia tidak pernah di benci siapapun.

Begitu berbanding terbalik dengan Elina yang tak pernah bertingkah tapi di benci semua orang. Tapi meski begitu, bukan berarti ia akan membenci Elias. Elina hanya sedikit tak bisa menerima kenyataan akan hal itu saja.

Terlebih ketika Elias mengejek Charlina yang menjadi satu satunya harapan Elina untuk mendapat kasih sayang yang tak pernah ia dapat dari siapapun saat di istana tidak bisa dirinya biarkan begitu saja.

Tatapan hangat dan senyuman manis yang Charlina berikan waktu itu sudah lebih dari cukup untuk membuktikan jika Charlina tidak membencinya.

Atau bisa jadi gadis itu juga menyukainya.

Kembali ke arah pembicaraan, Elina menatap nyalang pada Elias yang tengah mengupil.

"Tetap saja kau tidak boleh menyebut namanya langsung seperti itu, brengsek!" Elina menimpuk Elias dengan bantal hingga membuat anak itu terlentang sampai terdengar suara kepalanya yang membentur lantai begitu nyaring.

Elias menepis bantal di atas wajahnya santai, membiarkan diri terbaring di lantai sembari memasang wajah datar. Pandangannya tertuju ke langit langit ruangan, meresapi perih di belakang kepala saking kerasnya benturan.

"Meski begitu, kau jangan bertindak macam macam Elina." tutur Elias mengingatkan, merasa lebih baik setelah diam beberapa saat.

"Sudah untung kita di beri tempat tinggal yang layak dan dilayani para pelayan dengan sopan." lanjutnya menoleh dan menatap dingin pada adik yang beda tujuh menit dengannya itu.

Elina menggigit bibir bawah kuat menahan kesal. Kedua mata zambrudnya berkaca kaca sembari tangan mencengkram erat piyama mencoba meluapkan emosi.

"Meski anak Raja, ibu kita itu bukan istri sahnya. Maka kita bukan pangeran atau putri resmi." terang Elias kembali mengingatkan Elina pada kenyataan. "Charlina mungkin tersenyum waktu itu, tapi kita tak tau apa yang dia pikirkan."

Meskipun menyakitkan, apa yang Elias katakan mungkin benar. Keduanya bisa makan enak dan mendapat pakaian lembut berbahan sutra di sini yang tidak pernah mereka rasakan di rumah sendiri.

Akan sangat tidak tau malu rasanya jika ingin berbuat serakah dengan mendekatkan diri pada putra dan putri bangsawan itu juga. Yang ada mereka bisa di cap sebagai anak tak tau diri.

Villain Also Has A Reason [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang