Langit langit kamar yang begitu putih karna setiap hari di bersihkan kembali terlihat. Aku termenung mengumpulkan kesadaran.
Suara sendok yang beradu dengan mangkuk terdengar membuatku menoleh ke samping dan mendapati Caester tengah duduk di kursi. Dia sibuk mengaduk sup daging yang kental sembari melamun.
Entah kapan akan menyuapkannya pada mulutku atau barang kali memberi minum lebih dulu karna baru saja bangun dari tidur.
Bukan sapaan selamat pagi atau bertanya kabar diri, Caester malah membeberkan pernyataan yang cukup berat untuk di terima anak kecil yang baru bangun tidur.
"Pemakaman Alanis dan para pelayan akan dilaksanakan hari ini." tuturnya dingin tanpa menoleh padaku sedikitpun.
Rambutnya yang sehitam batu giok itu turun hampir menutupi mata. Bibir yang terbiasa melengkung membawa kehangatan pagi pun kali ini tak terlihat.
Kepergian matahari rumah ini benar benar meninggalkan kesedihan yang mendalam untuk para penghuninya. Bahkan Caester yang selama hidup selalu di acuhkan dan dianggap tak ada karna merupakan hasil dari luar pernikahan pun juga ikut merasakan dampaknya.
"Kematian Alanis. Apa kamu mau tahu?" Caester bertanya.
Pandangan anak lelaki berusia dua belas tahun itu bergerak gerak tak nyaman. Bahunya refleks menegak karna tegang seolah sejak tadi memang sudah berencana ingin membicarakan hal itu.
Masih dengan tubuh lemah yang terbaring di ranjang, aku menelan ludah dan mengangguk pelan. Memantapkan hati untuk mendengarkan walau tau semuanya akan berakhir menyedihkan kembali.
Butuh waktu beberapa saat bagi Caester untuk mulai bercerita. Semua di mulai saat Nira yaitu pelayan pribadinya Alanis berusaha melindungiku dari serangan sihir Elina dan berakhir mati di tempat.
Bahkan aku yang hanya terkena cipratan sihirnya saja langsung bermandikan darah sendiri dan jatuh tak sadarkan diri. Itu benar benar membuktikan bagaimana kuatnya sihir yang dimiliki si pemeran utama wanita.
Alanis yang panik langsung mengobati dan berusaha sebaik mungkin menyelamatkan aku. Tapi Elina malah semakin menjadi dan tak cukup menyerang satu kali.
Anak perempuan itu kalut, tak sadarkan diri sudah dikuasai oleh rasa takutnya sampai membuat banyak korban. Yang terparah adalah kehilangan nyawa.
Alanis mempertahankan diri dalam tiga posisi. Menenangkan Elina dan tak menyerah untuk mengajarkannya mengendalikan emosi yang tak ada bedanya dengan sihir sendiri. Lalu melindungi diri dan para pelayan tersisa di ruang tamu dari serangan kuat gadis itu.
Dan terakhir adalah mengobati luka milikku. Alanis adalah wanita kuat yang masih tetap bisa berpikir dingin walau anak semata wayangnya tengah berada di ambang kematian tepat di depan mata.
Tragedi itu kemudian diakhiri dengan datangnya Kalson. Dia berhasil menenangkan Elina membuat Alanis bisa fokus mengobati putri kesayangannya yaitu aku.
Meski berbentuk tetesan, fakta bahwa terdapat sihir yang tak ada bedanya dengan racun masuk secara paksa menggerogoti organ dalamku. Satu satunya cara penyelamatan yang bisa di lakukan adalah dengan berbagi.
Alanis menarik sihir Elina yang bersarang dalam tubuhku dan memasukkannya ke dalam tubuhnya. Ia bahkan sampai mendonorkan darahnya padaku dan berakhir mati setelah berhasil menyelamatkan aku dengan racun sihir yang bersarang di tubuhnya dan juga kekurangan darah.
Semua kejadiannya begitu rinci dan persis seperti di novel membuatku tidak terlalu terguncang. Terkecuali waktu kejadiannya yang mampu membuat bingung dan adegan aku menyerang Elina balik tak terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Villain Also Has A Reason [END]
FantasyTepat setelah berkelahi cukup sengit dengan teman, aku jatuh ke sungai karena didorong olehnya dan mati tenggelam kehabisan nafas. Bagaikan sebuah keajaiban yang datang di waktu mendesak, cahaya terang kemudian datang begitu menyilaukan mata. Pand...