17

1.8K 322 5
                                    

Pintu di gebrak begitu kencang dari luar ke dalam. Tali tebal yang mengikat leher ditarik hingga terlepas. Kalson menarik jubah dibahu dan melemparnya kasar pada pelayan terdekat.

Tak kuasa menahan amarah yang dipendam selama perjalanan, emosi Kalson seketika pecah. "Brengsek, orang tua gila bajingan!"

Kalson kemudian berjalan cepat menghampiri meja kerja, mendorong semua tumpukan buku hingga berserakan. Bahkan membakar beberapa dokumen yang tertumpuk tanpa peduli berisi hal penting atau tidak.

Para pelayan yang ada di ruangan itu sadar akan kehadiran bom besar ini yang tinggal menunggu waktu untuk pematiknya dilepas hingga meledak membuat mereka berangsur menjauh sekiranya dari jangkauan Kalson agar terhindar menjadi samsak pelampiasan amarah.

"Orang tua bau tanah sepertinya bukannya ingat mati kenapa malah memancingku menggantikan malaikat maut untuk menjemputnya?!"

Nafas Kalson berpacu cepat seolah tengah berlomba dengan sesuatu. Dada bidangnya begitu kentara naik dan turun serta urat otot terlihat begitu jelas di leher menandakan amarahnya benar benar tak terkendali.

Namun diantara para pelayan yang pintar mencari aman dengan menjauh dari sana, selalu saja masih ada orang bodoh yang tak peka suasana berjalan mendekati Kalson dan berbisik.

"Tuan Duke, tolong bahasa anda. Di sini masih ada utusan Kaisar," tegurnya lebih merasa takut pada orang yang berdiri di depan dibanding granat disebelahnya.

"Diam!" Dan tak sesuai dugaan sang penegur, bukanya menurut Kalson malah balik membentaknya.

"Apa kau buta sehingga tidak memperhatikan aku sedang marah, brengsek?! Sebelum aku melakukan kudeta ke Istana apa kau ingin jadi yang pertama ku bunuh, hah?!"

Alis Kalson saling bertaut dengan kening mengkerut dan mata menyipit. Menatap nyalang pada pelayan tadi sehingga terlihat ada api di dalam bola matanya.

Pelayan itu ciut dalam satu detik. Dia menunduk dalam dam membisu seketika. Menggenggam erat kedua tangan menahan rasa takut disekujur tubuh.

Setelah beberapa hari bekerja sebagai anak baru disini, pelayan itu baru pertama kali dimarahi dan diancam seperti ini. Itupun oleh atasan besarnya langsung. Dia merasa ingin mati saja.

Namun di atas penderitaan selalu saja ada kebahagiaan. Para pelayan yang diam dipojokan sana menyaksikan teman baru mereka dimarahi serentak tertawa dalam hati.

Tamatlah riwayatmu kawan. Ini hari yang indah untuk jadi tanggal kematianmu.

"Dan kau, apa kau terkejut aku juga bisa marah?" Ingat kembali akan tujuan awal, Kalson menoleh pada orang yang berdiri dihadapannya yang disebut sebagai Utusan Kaisar.

"Aku tersinggung. Aku tidak akan biarkan penghinaan ini begitu saja terhadap keluargaku!" Kalson lantas berjalan menuju sang Utusan lalu menarik kerahnya kasar.

"Pulanglah dan katakan padanya, kembalikan istriku atau kuhancurkan Istananya!!"

"Charlson." Seseorang memanggil. Tanpa bentakan maupun intonasi tinggi tapi bisa menarik atensi semua orang dalam satu panggilan.

"Apa yang sedang kamu lakukan?" Ia bertanya.

Lelaki tua dengan janggut tebal berwarna putih menjelaskan usia tak lagi muda itu berjalan mendekat. Langkah kaki yang berirama begitu mengintimidasi siapapun di dekatnya.

"Saya?" Kalson berseringai. "Apalagi, ayah? Tentu saja mengibarkan bendera pemberontakan."

Dan saat itu juga langkah terhenti. Kelton berdiri di depan Kalson. Mengangkat tangan kanan untuk mengambil ancangan sebelum turun melayangkan tamparan.

Villain Also Has A Reason [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang