19

1.7K 296 1
                                    

Suara pecut yang memukul bokong beberapa kuda mulai terdengar. Atas perintah kusir yang menyuruh jalan, jenjang telapak kaki itu mulai berjalan dengan pelan.

Kereta bergerak maju. Para penumpang yang ada di dalam bergeming semua. Dengan posisi tegak tanpa menyender, Kalson menikmati pemandangan melalui jendela dengan wajah damainya.

Berbeda dengan gadis kecil yang duduk di depannya. Nampak gelisah memainkan kedua kuku ibu jari seolah mengumpulkan keberanian untuk memulai pembicaraan.

"Paman Duke, apa saya boleh bertanya sesuatu?" Final Elina memutuskan angkat bicara.

Dua pasang mata serentak menoleh padanya. Kalson tersenyum lebar hingga kedua matanya menyipit dan wajah mengkerut sebelum mulai menjawab.

"Tentu, Tuan Putri." Jawabnya ramah.

Elina menggaruk pipi, nampak masih sangat ragu untuk bertanya. "Saya merasa bingung. Apakah Nona punya hal tertentu yang disukai? Seperti perhiasan atau makanan?"

Keadaan terasa senyap meski bising oleh suara tapak kaki kuda. Elina merasa pertanyaan yang ia lontarkan terlalu berlebihan dan ingin menarik ucapannya kembali melihat Kalson masih diam dan tak langsung menjawab pertanyaannya.

"Mm, itu membingungkan." Kalson akhirnya menjawab dengan gumaman sembari mengusap dagu. "Putriku itu suka semua perhiasan asal bersinar dan bercahaya."

"Kalau soal makanan, kurasa dia bukan orang yang pilih pilih selain hal yang membuatnya alergi." Ungkapnya.

Kedua tangan Elina seketika terkepal dengan kedua mata berbinar mulai bersemangat. "Kalau begitu apa makanan yang membuat Nona alergi?" Ia berteriak spontan.

Elina tak sadar apa yang baru saja bibirnya lontarkan. Keadaan kembali senyap dengan Kalson memasang wajah terkejut dan canggung tanpa bisa berkata kata.

Elias yang mendengarkan pembicaraan dalam diam kemudian angkat bicara. Dia menggeser posisi duduk agar lebih dekat dengan sang saudari dan memegang bahu Elina mencoba berbicara dengan cukup baik.

"Elin, sepertinya kau tidak tau ya." Elias berbasa basi membuat Elina menoleh sembari memasang wajah polosnya.

Dia kemudian menjelaskan. "Bagi orang besar seperti paman Duke, hal seperti itu tidak bisa dikatakan begitu saja dengan mudah."

"Paman punya banyak musuh. Jika dia mengatakan hal itu, sama saja dengan memperlihatkan celah dan meminta para pembunuh untuk membunuh anggota keluarganya." Terang Elias kemudian tersenyum kecil hampir tak terlihat.

Elina bergeming sebentar. Ekspresi wajahnya berubah pucat dan menoleh pada Kalson dengan terpatah.

"Sa-saya tidak tau. Saya sangat minta maaf, Paman Duke." Sesal Elina menunduk dalam merasa bersalah.

Kalson diam menatap tajam ke arah Elina yang gelagapan sebelum tersenyum begitu lebar hingga kedua matanya menyipit.

"Tidak apa."

***

Sebenarnya aku ingat dengan jelas dari kapan ini semua dimulai. Kebencian yang mendarah daging atas tragedi tanpa alasan jelas adalah awal mula dari semua kutukan.

Kebencianku terhadap para wanita adalah penyebabnya. Manusia lemah yang tidak bisa melakukan apapun selain menangis dan merengek hanya untuk memohon meminta bantuan saat sedang kesulitan.

"Apakah kalian buta sampai tidak bisa melihat istriku yang kesakitan seperti ini? Kenapa cuma diam? Cepat panggilkan penyihir atau Dokter!!"

Sejauh yang ku tahu, Ayah adalah orang yang paling keras dan rasional. Dia tidak pernah memperlihatkan sikap tercela dan selalu menjadi panutan yang sempurna sebagai seorang pemimpin sampai membuatku bermimpi untuk menjadi penerus seperti dirinya.

Villain Also Has A Reason [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang