Ketika melihat Cedric yang berubah jadi kasar entah mengapa mengingatkanku akan perkataan Charyn tadi siang. Kakak laki laki sulungku telah kehilangan ingatannya lalu memanipulasi memori kepala sendiri hingga membuatnya menjadi sedikit gila.
Itu terjadi karna Nira mendorong Cedric terlalu keras keluar dari ruang tamu sampai kepala belakangnya membentur pagar besi begitu keras. Kemarin adalah waktu pertama kali ia sadarkan diri.
Ini bukan masalah besar. Aku yakin Kalson akan menyelesaikan masalah seperti ini dengan mudah seperti biasanya. Tentunya dia juga akan membuat ingatan Cedric kembali lagi.
"Nona, anda menangis?!"
Raya yang berjalan di belakang mulai menyadari ketika aku membungkuk dan mengelap wajah dengan telapak tangan.
Semua usaha yang kulakukan telah hancur sekarang. Jika Kalson tidak bisa mengembalikan ingatan Cedric artinya aku harus memulai semuanya lagi dari nol.
Kak Cedric tidak bisa mengingatku. Dia bahkan dengan berani melempar pisau. Bahkan jika pipiku yang tergores sekalipun pasti hatiku yang terkena dampaknya.
Yah. Sekarang ga berhasil kena pipi saja hatiku sudah sangat sakit seperti tercabik cabik.
"Nona ..."
Raya berjalan semakin mendekat lalu berdiri di depanku sembari memasang ekspresi penuh kekhawatiran. Kedua tangannya terangkat hendak meraih dan mengelap wajahku namun ku tepis secara pelan sembari mengalihkan perhatian ke samping.
"Aku mau sendiri dulu, jangan ikuti Raya."
Setelah Alanis, Raya adalah orang yang paling dekat denganku. Dia pelayan pribadi yang sudah merawatku dari lahir membuat kami sudah terikat erat dan mungkin melebihi hubunganku dengan Alanis.
Karna itu Raya pasti mengerti apa yang lebih aku butuhkan saat ini tanpa diberitahu apapun.
Tanpa niat melihat ekspresi Raya, aku langsung melangkah masuk lebih dalam ke taman yang penuh dengan pepohonan tinggi. Ria tidak mengikuti dibelakang lagi seperti yang aku minta.
Sekarang sudah sepi dan hanya ada pepohonan tinggi menjulang begitu lebat serta besar.
"Dari sekian banyaknya orang, kenapa harus Cedric yang hilang ingatan!!"
Teriakanku begitu nyaring sampai membuat para burung terkejut lalu serempak mengepakan sayap untuk kabur. Satu menit kemudian pohon besar di depan jatuh karna patah.
Sepertinya aku benar benar sudah berhasil membangkitkan elemen Angin.
Tidak, sekarang bukan waktunya untuk berpikir itu.
Tidakkah sudah lebih dari cukup Dewa mempermainkan ku? Kau tidak pernah tau seberapa sulit dan merepotkannya bagiku mencuri hati Cedric dan sekarang aku juga harus memulai semuanya dari awal.
Ingatlah Dewa, aku mempertaruhkan nyawa dengan jatuh dari tangga untuk mendapatkan Cedric. Apa sekarang kau ingin aku melakukannya lagi?
Benar benar menyebalkan. Terkutuklah kalian para protagonist dan pemeran utama!!
Aku bahkan belum melakukan apapun tapi kalian sudah menyerang lebih dulu dan menghancurkan keluargaku yang merupakan kekuatan terbesar.
Aku benci kau pemeran utama!!
Srekk. Srekk.
"Mattias sialan. Mereka maniak pohon apa gimana? Aku benar benar tidak bisa menemukan jalan menuju kastel utama!"
Dari arah belakang terdengar suara seseorang memaki. Langkahnya yang kasar bergesekan dengan rerumputan yang tinggi dan lebat.
Aku menoleh sambil terengah karna habis melampiaskan emosi. Tak lama kemudian seorang anak lelaki muncul keluar dari dalam semak. Seluruh tubuhnya berantakan tertempel dedaunan hingga terlihat kacau.
Anak itu mendumelkan sesuatu sembari merapikan seluruh tubuhnya. Aku menarik nafas dan berbalik agar bisa melihat anak itu dengan benar.
Dirinya berkedip beberapa kali seperti bingung melihat keberadaanku lalu merubah ekspresinya dengan berseringai seperti baru saja menemukan sesuatu.
"Ohoo ... Azie, lihat ini apa yang baru saja aku temukan!" ucapnya memiringkan kepala, tersenyum angkuh sembari berkacak pinggang.
Dari belakang anak lelaki itu mulai terdengar suara langkah terburu seseorang. Seorang lelaki dewasa berpakaian bak kesatria keluar dari semak semak. Ia berjongkok nampak kelelahan dengan penampilan sama kacaunya.
"Pangeran, jalanlah pelan pelan. Kalau saya tersesat bagaimana?" erangnya mengeluh.
"Itu terbayarkan dengan informasi berharga seperti ini." lelaki yang dipanggil Pangeran itu menjawab tanpa mengalihkan pandangan dariku.
Azie terdiam. Dia berkedip beberapa kali memikirkan perkataan pangeran sebelum mengedarkan pandangan mencari sesuatu dan berhenti setelah menatapku.
"Alasan si Mattias itu mengasingkan diri dari ibukota adalah untuk membuat eksploitasi perbudakan manusia. Menarik, kan?" ucap pangeran lagi menunjukku sembari berbisik pada Azie.
Eksplor- apa?
Azie melotot tak percaya. "Yang benar?" Pandangan yang semula teralih pada Pangeran kini kembali padaku. "hei nak, dimana majikanmu?"
Melihat mereka membuat asumsi sendiri seperti orang bodoh begitu membuatku tersinggung dan langsung menatap sinis.
"Aku bukan budak." elak-ku pada mereka.
Sontak keduanya terkejut dan kembali saling pandang.
"Tubuhnya penuh perban, dia habis disiksa untuk bungkam sepertinya. Kasihan," bisik Azie mengomentari penampilanku dan diangguki pangeran.
"Tapi Zie, pakaiannya terlalu mewah ga sih buat disebut budak?" Pangeran bertanya membuat keduanya jadi terdiam.
Arah pembicaraan tak beguna ini mulai kacau dan terdengar panas di telinga. Sudah cukup peristiwa yang terjadi pada keluargaku membuat darah tinggi, kini orang asing pun ikutan bahkan mengataiku mirip budak.
Sebelum membuat darah semakin naik dan tak terkendali, aku mendengus merapikan rambut yang berantakan. Sial, Raya pasti akan marah jika tau aku mengotori gaunnya.
Aku harus pergi untuk meminta pelayan lain mencuci gaunnya sebelum diketahui Raya namun dari belakang dengan cepat seseorang menarik tangan kananku.
"Jangan pergi." Pangeran itu mencegah. "kami tersesat, tunjukan jalan pada rumah pemilikmu maka kami akan membuatmu keluar dari kediaman yang bagai neraka ini."
Ini kacau. Sebenarnya sampai kapan kesalahpahaman ini akan berlanjut? Tidak ini terlalu menanggapi, aku menepis kasar tangan Pangeran dan berteriak tepat di depan wajahnya.
"Sekali lagi kau bilang aku budak, aku cekik ya kau!"
Azie yang berdiri dibelakang tersulut amarah. "Hei, berani sekali kau! Kau tau siapa yang tengah kau teriaki tadi? Dia —"
Perkataan Azie terhenti ketika pangeran mengangkat sebelah tangan memberi isyarat untuk jangan dilanjutkan.
Aku berdecih kesal dan mengusap pergelangan tangan bekas di cengkram Pangeran yang mulai memerah.
"Mau kau pangeran kek, putra mahkota kek, apalagi Kaisar, aku tidak peduli."
Ketika aku menengadah dan menatap sinis, nampak Pangeran masih diam menungguku melanjutkan perkataan.
"Aku bukan budak, aku Charlina Kalson Mattias. Putri pemilik kediaman ini. Kalian mengerti?"
Terlihat jauh dibelakang setelah perkenalan diri tak biasa yang kulakukan, Azie berteriak tanpa suara saking kagetnya.
"Sekali lagi kau sebut aku budak, ku laporkan kau atas penghinaan terhadap keluarga Duke terhormat."
Bukan merasa takut atau bersalah atas perilaku yang telah dilakukan seperti Azie, Pangeran bengong di tempat seperti masih mencerna ucapanku.
Satu menit telah berlalu. Setelah mengerti Pangeran kemudian bergumam panjang. Berseringai dan memasang wajah angkuh seolah barusaja mendapat jackpot.
Mengerikan. Sebelum dicegah lagi aku langsung berbalik dan berlari kabur dari keduanya. Hari ini benar benar tak ada yang berjalan dengan benar sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Villain Also Has A Reason [END]
FantasyTepat setelah berkelahi cukup sengit dengan teman, aku jatuh ke sungai karena didorong olehnya dan mati tenggelam kehabisan nafas. Bagaikan sebuah keajaiban yang datang di waktu mendesak, cahaya terang kemudian datang begitu menyilaukan mata. Pand...