[END]

3.6K 363 19
                                    

Suara decitan nyaring terdengar ketika pintu di dorong ke dalam. Suara senyap dan debu berterbangan menyambut hangat saat Charlina melangkah masuk ke dalam ruangan.

Ia terdiam menikmati pemandangan di depan yaitu meja kerja di mana terdapat begitu banyak dokumen bertumpuk membelakangi jendela besar. Ini adalah ruang dimana Kalson biasa bekerja.

Charlina kemudian melangkah mendekati meja. Tersenyum kecil membayangkan bagaimana ekspresi Kalson yang serius menulis di atas dokumen.

Kalson adalah pria yang disayangi rakyat dan dipuja para gadis bangsawan sewaktu muda karna parasnya yang rupawan. Tapi bagi Charlina, Kalson tak lebih dari lelaki bodoh, konyol, menyebalkan, dan aneh yang selalu datang padanya dengan tingkah tak terduga.

Lucu rasanya jika ia membayangkan saat menarik Kalson yang bertingkah demikian dan menunjukannya pada para wanita itu sembari berkata, lihatlah lelaki yang kalian puja ini sebenarnya adalah pria bodoh.

Tanpa sadar senyum Charlina melebar. Gadis itu melangkah ke depan melihat pemandangan taman tak asing dari balik jendela lalu terdiam.

Sejak lahir dan tumbuh di tempat ini baru sekarang ia menyadari bahwa tempat dimana Kalson biasa bekerja dengan jendela dibelakangnya menghadap ke taman sama dimana Alanis dan dirinya biasa menghabiskan waktu dengan minum teh.

Meski sibuk bekerja, Charlina tak menyangka Kalson selalu memperhatikan mereka.

Kedua kaki Charlina kembali melangkah, bergerak menuju rak yang berisi begitu banyak buku. Di antara semua deretan buku tebal, ada satu buku berwarna nyentrik yang begitu menarik perhatian.

Tangan Charlina terulur untuk mengambil buku tersebut namun spontan mundur saking terkejutnya melihat rak yang bergerak sendiri menunjukan sebuah tempat rahasia.

Ekor mata Charlina kemudian bergerak ke samping, tepat pada pintu yang tertutup rapat memeriksa agar tak ada yang mengintip sebelum dirinya langsung melangkah masuk ke dalam tanpa berpikir panjang.

Tak ada lentera penerang atau semacamnya membuat suasana terasa mencekam saking gelapnya. Ketika ujung kaki kirinya sudah masuk, Charlina terpaku mendengar suara gerakan pintu di belakangnya. Ia menoleh dan terkejut mendapati rak buku tadi sudah tertutup rapat.

Panik bukan main. Jantungnya berdetak cepat membuat Charlina langsung berlari berusaha membuka pintu tersebut. Tanpa sadar air matanya berlinang. Charlina membayangkan bagaimana ia akan berakhir mati di sini tanpa diketahui siapapun.

"Woof!"

Namun selang beberapa detik, suara gonggongan terdengar. Charlina menoleh mendapati seekor anjing dengan bulu lebat berwarna putih dan hitam berlari ke arahnya.

Anjing itu menggigit ujung gaunnya dan menarik narik seolah ingin menunjukan sesuatu. Charlina diam sebentar untuk berpikir sebelum memutuskan mengikutinya setengah takut.

Anjing itu berbalik dan berjalan menuju sebuah meja. Ia kembali menggonggong, menunjuk sebuah rak kecil di paling bawah menggunakan hidungnya membuat Charlina mengerutkan kening tak mengerti.

Meski sedikit ragu Charlina menuruti keinginan anjing itu dengan menarik laci paling bawah dari meja. Sebuah kotak kecil kemudian terlihat. Anjing tadi kemudian menggonggong kegirangan membuat Charlina meletakkan kotak itu di atas meja.

Setelah keadaan mulai tenang karna anjing itu tak lagi berbisik, Charlina langsung menjerit tanpa suara sampai meloncat dan jatuh ke atas kursi melihat anjing yang sama meloncat begitu tinggi ke atas meja.

Anjing itu kembali berisik dengan menggonggong tanpa henti sambil mendorong kotak itu menggunakan hidungnya sampai hampir jatuh namun diamankan Charlina.

Geraman kesal terdengar dari mulutnya. Charlina menggaruk kepala bingung karna tak mengerti bahasa anjing membuatnya merasa sedikit bersalah.

Charlina mungkin tidak mengerti bahasanya, tapi anjing itu paham gelagat sang gadis. Dengan sedikit helaan nafas, ia kembali menggonggong sebanyak dua kali sembari meletakan dua kaki depannya ke atas kotak.

Tak lama kemudian terdengar suara gembok yang patah. Charlina melirik dan terkejut melihat kotak itu sudah terbuka sedikit.

Dengan sedikit penasaran tangannya terulur untuk membuka lebih lebar kotak tadi. Sebuah batu permata berwarna biru safir terlihat begitu berkilau.

Itu adalah sebuah batu rekaman yang dimana biasa mengambil ingatan seseorang. Dengan cepat jari Charlina menyentuh batu rekaman tersebut membuat sebuah hologram muncul menampilkan tubuh Kalson yang setengah badan.

"Apa kita tidak bisa menundanya?" Kalson bertanya.

Tatapan pria itu begitu sendu dan berkaca kaca membuat Charlina terkejut karna untuk pertama kalinya melihat ekspresi sedih Kalson yang biasanya periang. Bahkan suaranya begitu parau.

"Alanis, tolong beri aku sedikit waktu." Kedua tangan Kalson terulur mencengkram bahu seseorang.

"Aku akan berusaha mencari penyihir hebat atau siapapun bahkan jika ia ada di ujung dunia sekalipun. Aku akan mencarinya jadi, jangan korbankan nyawamu lagi. Aku tidak bisa melihatnya."

Setetes air mata jatuh membasahi pipi Kalson. Pertahanan lelaki itu runtuh dan mulai menangis.

Sebuah tangan kemudian terulur mengelap pipi Kalson dengan lembut. Charlina tau tangan familiar itu. Ini adalah batu rekaman yang mengambil salah satu ingatan Alanis entah kapan.

"Jangan begitu. Ini adalah pengorbanan yang pantas Kalson, demi Charlina. Untuk masa depannya yang panjang." Suara halus dari Alanis muncul.

"Dan kapan itu terjadi?!" Kalson berteriak spontan.

"Alanis, aku telah menjual jiwaku pada iblis. Demi umur panjang Cedric dan Charlina tapi terus saja memutar ulang waktu! Bukankah itu artinya mereka mati di usia muda? Sampai kapan aku harus mengulangi waktu dan melihatmu mati ratusan kali?"

Lelaki bersurai perak itu mulai histeris dan kacau. Charlina menutup mulut tak percaya sembari tersenyum getir. Angin angin kecil muncul mengelilingi tubuhnya. Emosinya meluap membuat angin itu mulai menyebar dan menghempaskan semua buku dari tempatnya hingga berserakan di lantai.

"Kalson ..." batu rekaman itu masih tetap berjalan.

Charlina sudah mengerti semuanya sekarang. Bagaimana dunia ini berjalan dan mengapa ia bereinkarnasi ke tempat ini.

Saat itu juga Charlina pergi dari sana, mengacak semua rak buku untuk mencari bukti lainnya yang lebih kuat dari batu rekaman itu sendiri. Sekarang tatapan Charlina yang semula kosong berubah tajam dan membara.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Love is War, masa lalu para penjahat bagian pertama.

Selsai.

Villain Also Has A Reason.

End.

Villain Also Has A Reason [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang