Sudah seminggu berlalu sejak keluarga Mattias mengalami masa berkabung atas kehilangan salah satu sosok anggota keluarga yang penting karna kejadian tak terduga.
Berkat bantuan para penyihir pribadi keluarga, lukaku hampir sembuh dan disarankan untuk belajar berjalan setelah lama tidak menggerakan kaki sampai terasa kaku.
Selain mengurung diri di kamar memikirkan bagaimana kelanjutan hidupku sebagai antagonis asli, aku baru sadar bahwa Caester tak kunjung datang lagi setelah aku minta ia pergi waktu itu. Bahkan Cedric yang tidak terdengar kabarnya sekalipun tak mengunjungiku sama sekali.
Karna itu dibanding berlatih berjalan untuk meregangkan otot kaki yang tak digerakan selama semingguan ini dengan berjalan ke taman, aku lebih memilih untuk pergi menjenguk Cedric ke kamarnya.
Tadi sih begitu rencana awalnya sebelum sebuah kehebohan terjadi akibat datangnya orang tak terduga sampai menghalangi jalan. Orang terakhir dari sekian banyak pilihan untuk kutemui pertama kali sejak masa pemulihan diri di dalam kamar.
Tanpa dipikir lebih dalam pun siapa saja pasti bisa dengan mudah menebaknya. Yup, siapa lagi jika protagonist tercinta yaitu Elina.
"Saya benar benar bersalah atas apa yang terjadi, tolong hukum saya!" teriak Elina begitu lantang.
Suaranya terdengar melengking dan serak seperti baru bangun tidur. Wajah bantal yang begitu khas ditambah piyama putih dengan pita biru di dada memberi kesan manis untuknya.
Apa dia baru sadar?
Para pelayan yang tengah bekerja tak jauh dari sini mulai berkumpul dan memperhatikan dari jauh sambil berbisik. Elina mengejutkan semua orang dengan langsung bersujud di depanku sembari menangis tersedu.
"Saya telah membuat nyonya Duches tiada ..." lirihnya dengan wajah sudah penuh air mata dan penuh penyesalan.
"Bahkan hukuman mati pun tak cukup untuk menebus kesalahan saya."
Tangisan penuh penderitaan dan rasa bersalah. Begitu hebat membagi emosi yang dirasa sampai ke pendengar seperti pelayan yang ikut merasa simpati sampai beberapa ada yang menangis.
Meski begitu tubuhku penuh akan rasa frustasi hingga begitu menyesakkan dada. Dia sengaja berteriak untuk memancing penonton agar aku tidak berani berbuat apapun padanya.
Aku benci Elina. Perasaan biasa saat melihat protagonist berubah jadi rasa benci dan dendam hingga rasa ingin membunuh seseorang begitu kental menyelimuti tubuhku.
[Dibanding polos, aku lebih suka menyebutnya naif dan bodoh.]
Itu benar. Dia berpikir dengan rasa simpati dari orang lain bisa menyelamatkannya dari tanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan. Tangisan penuh kepalsuan itu memang ampuh merebut hati mereka tapi tidak cukup untuk mengelabuiku.
Elina yang bodoh. Aku ingin membunuhnya.
[Maaf saja tidak cukup. Dia sudah membunuh Alanis.]
Permintaan maaf tidak bisa mengembalikan orang mati. Terlebih aku juga tidak merasakan adanya ketulusan disetiap isakan dan perkataan yang keluar dari mulutnya.
[Kalau begitu bunuh dia.]
Keberadaanku hanya ada unuk membuat Elina terlihat baik hati dan aku orang jahat. Padahal yang paling menderita disini adalah aku tapi Elina malah bersikap seperti dunianya telah hancur.
Kalau begitu aku hancurkan saja dunianya sekalian.
Membunuhnya hanya memberikan rasa puas sesaat. Elina hanya akan memberi ekspresi penuh kesakitan sebentar. Karna itu lenih baik untuknya merasakan apa rasa penderitaan yang nyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Villain Also Has A Reason [END]
FantasyTepat setelah berkelahi cukup sengit dengan teman, aku jatuh ke sungai karena didorong olehnya dan mati tenggelam kehabisan nafas. Bagaikan sebuah keajaiban yang datang di waktu mendesak, cahaya terang kemudian datang begitu menyilaukan mata. Pand...