15

2.1K 371 4
                                    

Sebagian orang menganggap pekerjaan mereka adalah sesuatu yang penting dan berharga diatas segalanya. Begitu mencintai profesi yang dimiliki melebihi diri sendiri.

Ducare merupakan kepala Koki yang sudah mendedikasikan hidupnya dengan memasak untuk keluarga Mattias ini begitu stres akan tingkah Cedric yang selalu merusak dapur demi mencuri makanan sampai menghancurkan hampir seluruh masakan yang dibuat susah payah olehnya.

Ducare tak peduli walau dianggap kurang ajar sekalipun karena merasa bersyukur bahwa Cedric jatuh sakit sehingga tak lagi merusak dapur yang sudah ia anggap sama pentingnya dengan hidup sendiri.

Tapi seolah ditertawakan oleh takdir, musibah kemudian datang lebih besar dari sebelumnya. Tuan besarnya bagai dirasuki orang lain tetiba meminta ingin memasak sesuatu tanpa mau dibantu siapapun. Dan hasilnya adalah dapur meledak tak lama kemudian.

Kerusakan yang di dapat jauh lebih parah dari dibuat Cedric. Semua peralatan hancur tak bersisa. Ruangan yang semula putih bersih kini berubah hitam gosong. Hampir tidak terlihat seperti sebuah Dapur.

Tak peduli majikannya akan memberi komentar apa, Ducare tetap merasa sedih. Separuh jiwanya hancur melihat rumah yang sejak lama ia tinggali dan rawat sepenuh hati hancur tak tersisa. Ia bahkan sampai menangis histeris.

Kasihan sekali. Aku turut berduka melihat penderitaanya.

"Ducare itu ... Dia terlalu banyak drama." Dari sebelah, Kalson bergumam.

Ia mengusap dagu sembari menautkan kedua alis memasang ekspresi bingung. "Inikan rumahku. Walau aku yang merusak, diperbaiki pun memakai uangku. Jadi mengapa dia yang menangis?"

"Dibanding melihat reaksi paman Ducare, aku lebih kaget pada sesuatu yang lain." jawabku membuat Kalson menoleh.

"Mengapa orang penting sekelas Duke ini, yang biasa mengurus wilayah besar berada di tempat kotor semacam dapur?"

Suasana kemudian mendadak hening. Teriakan penuh histeris Ducare juga sudah berhenti. Para pelayan yang ada di dalam dapur hanya bisa diam menatap aku dan Kalson yang saling tatap dalam waktu cukup lama.

Kalson lantas bertanya sembari menaikan sebelah alis. "Memangnya kamu tidak ingat?" 

"Ayah kan sudah menghancurkan pesta kecil kita kemarin. Jadi ayah ingin meminta maaf dengan membuat kukis kacang sebagai gantinya." jelasnya menyesal setelah mengingat kembali kejadian kemarin.

Aku yang mendengar seketika menelan ludah. "Tapi aku kan alergi kacang."

"Sejak kapan kau alergi kacang?!" Kalson berteriak tak percaya.

Saat itu juga aku langsung mengusap wajah frustasi. Kalson memiliki ingatan yang keliru. Seharusnya kemarin aku tidak memperdulikan gengsi dan memilih langsung memberitahu bahwa yang ia ingat adalah makanan yang membuatku alergi. Bukan sebaliknya.

Namun bukan perkataan dari kepala yang keluar, bibirku bergerak mengeluarkan suara hati. "Dibanding membuat makan, aku akan lebih menghargai hadiah perhiasan permata mahal seperti biasa."

Di kehidupan pertama sebagai Enma, ayahku pergi dengan selingkuhannya meninggalkan ibu sendiri dan aku yang masih kecil.

Aku dibesarkan oleh ibu, tanpa pernah tau seperti apa sosok ayah dan bagaimana rupanya.

Lalu sekarang setelah bereinkarnasi, aku mendapatan sosok ayah yang bisa di ingat wajahnya. Tapi sayangnya Kalson jarang terlihat mengingat statusnya sebagai Duke yang super sibuk sehingga jarang diam di rumah.

Ia bahkan tak pernah datang di hari penting keluarganya seperti peringatan ulang tahun. Sebagai gantinya ia akan selalu mengirim hadiah seperti permata langka atau berlian mahal sekaligus permintaan maaf karna tak hadir.

Makanya aku cukup kaget mendengar Kalson tiba tiba berinisiatif ingin merayakan kesembuhanku dengan membuat pesta kecil.

Walau acaranya bisa dibilang kacau karna ia tidak bisa membedakan makanan yang membuatku alergi ataupun makanan kesukaanku.

"Jadi kau lebih suka perhiasan?" Kalson mengusap dagu, berpikir keras. "Padahal aku cukup suka makan."

Orang ini. Sekali saja disebutkan bahwa aku begitu mirip denganya seperti sebuah jiplakan, dia terus menganggap bahwa kami akan selalu mirip dari segi apapun. Entah perilaku maupun selera makan.

Tidak ingin terpancing emosi sehingga mengeluarkan kata tak enak yang berakhir dengan menyesal nantinya, aku menarik nafas mencoba untuk menenangkan diri.

Aku kemudian menarik gaun dengan menggunakan tangan kiri lalu menaruh telapak tangan kanan pada jantung.

"Ayah, tanpa menghilangkan rasa hormat yang aku junjung tinggi padamu. Aku sangat berterima kasih atas usahamu memberiku perhatian dan kasih sayang demi mengeratkan hubungan kita yang terasa canggung."

Kalson yang mendengar langsung kelabakan. Tak biasa sekaligus terkejut melihat aku yang tetiba bicara formal padanya.

"Tapi entah mengapa, aku merasa tak nyaman. Aku harap kau tetap memendam kasih sayang mu seperti biasa, aku tak apa dan lebih nyaman begitu. Kalau begitu aku pergi dulu."

Begitulah masalah berakhir dengan aku yang melarikan diri lagi karna terlalu lelah menghadapi orang tua aneh satu ini. Raya dibelakang berusaha mengimbangi langkahku sembari bertanya apa yang sudah terjadi di dalam tapi enggan untuk ku jawab.

Perkataanku mungkin cukup kejam. Tapi biarlah dikatakan begitu jika itu bisa membuat Kalson bersikap tak acuh padaku seperti awal lagi. Perilakunya yang tiba tiba berubah jadi hangat itu sungguh membuatku takut.

***

Atmosfer terasa begitu keruh. Para pelayan terdiam kaku, merasa bingung harus pergi dari sana atau tidak berkat suasana yang terasa canggung setelah kepergian nona muda mereka.

Apalagi perkataan pedas yang ia lontarkan memberikan rasa bersalah teramat dalam bagi mereka yang notabene tak ada hubungannya. Kalson terlihat diam membisu di tempat, pandangannya turun dan nampak kosong memandangi lantai.

Berbanding terbalik dengan ekspresi wajahnya yang nampak begitu sedih, kepala Kalson malah berpikiran hal lain.

"Apa hubungan kami memang terlihat canggung? Padahal ku pikir kita cukup akrab." gumamnya hampir tak terdengar.

Bagai mendapat air ditengah gurun, para pelayan mulai bernafas lega melihat seorang kesatria yang datang mencairkan suasana dengan berbisik pada Kalson.

"Semua sudah selsai disiapkan, tuan."

Kalson menoleh dan menatap datar sebelum menjawab dengan cukup dingin dan singkat membuat kesatria itu menunduk hormat kemudian.

Kalson kembali menatap ke depan, tepat pada Ducare lalu berteriak. "Ducare, berhenti menangis kau! Panggil seseorang untuk perbaiki dapurnya sekarang juga."

Ducare yang masih sesenggukan sembari mengelap wajah yang basah mengangguk kecil sebagai jawaban.

Kalson kemudian mendengus. Ia berbalik dan keluar dari dapur di ikuti kesatria tadi dari belakang.

Ketika para pelayan sudah tak terlihat lagi, barulah Kalson kembali berbicara.

"Kapan itu akan dilaksanakan?"

"Semua akan berjalan sesuai rencana jika kita mulai lusa, Tuan." Kesatria itu menjawab.

"Lusa ya," Kalson bergumam.

Bibir bawahnya di gigit begitu keras. Kalson menyisir rambut dengan jari tangan ke belakang lalu terkekeh kecil. Itu tepat di hari ulang tahun putriku.

Haruskah dihari itu?

Di tengah rasa bimbang yang membuat kepala kalut, Kalson tersadar setelah kesatria dibelakang memanggilnya.

Kesatria itu kemudian meminta ijin karena sedikit ragu. "Apa saya boleh beri saran untuk rencana kembar Itsran itu?"

Tak mau berpikir lebih lama, ujung bibir Kalson tertarik membentuk kurva. Dengan cepat ia memberi ijin.

Villain Also Has A Reason [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang