43 - Black Memories

614 96 75
                                    


15 tahun lalu...

"Seorang pembunuh bayaran tidak boleh memiliki kelemahan. Tapi, kau memiliki satu kelemahan, Tuan Lingga. Ruwi adalah kelemahan terbesarmu!" seru seorang pria berpakaian resmi yang saat itu berdiri di sebuah gang sepi dengan satu lampu oranye di atas. Di hadapannya ada Lingga yang menunduk dalam.

"Dia hanya menjadi beban untukmu! Cepat bunuh dia! Atau aku akan melakukannya dengan caraku sendiri!" ancam pria itu.

Lingga sontak terkejut dengan perkataan bosnya. "Jangan! Jangan bunuh Ruwi! Hanya dia yang aku punya di dunia ini," jawabnya memohon.

"Terakhir kali kau gagal melakukan tugasmu. Kenapa? Apa sekarang kau memiliki rasa empati pada calon korban? Sekali pun kau berempati, kau tetap harus membunuh mereka! Kau sudah terlibat cukup jauh di dunia bisnis ini, dan kau tidak bisa keluar dengan mudah!" Pria itu nampak sangat kesal.

"Aku yakin rasa kemanusiaanmu itu muncul karena kau terlalu menyayangi Ruwi. Jadi, aku hanya memberimu satu pilihan. Bunuh Ruwi!" tandas pria itu.

"Ayah!"

Lingga menoleh saat mendengar putrinya berteriak memanggilnya dari kejauhan. Ruwi kecil terlihat berusaha melangkah cepat meski sesekali hampir kehilangan keseimbangan karena permukaan tanah yang tidak rata.

"Aku harus membunuh putriku sendiri?" Lingga bergumam sembari menatap nanar putrinya yang masih berusaha melewati beberapa kubangan air.

"Aku beri waktu 24 jam. Kalau sampai besok anak itu masih hidup, jangan salahkan aku kalau aku akan memenggal kepalanya tepat di depan matamu." Pria itu berbisik di sebelah telinga Lingga. Kemudian, dia segera pergi sebelum Ruwi tiba.

Lingga bersikap seolah tak terjadi apa-apa begitu melihat putri semata wayangnya sudah berdiri di dekatnya. Pria bertubuh tegap itu tersenyum lebar. Sayangnya itu palsu demi menutupi kesedihannya.

"Ayah sudah pulang!" seru Lingga sembari berjongkok untuk menyambut pelukan dari sang anak.

"Kenapa Ayah lama sekali? Apa pekerjaan di sana sulit?" tanya Ruwi kecil yang masih dalam pelukan hangat pria yang dia panggil Ayah.

"Maaf karena membuat Ruwi menunggu lama. Ayah janji akan pulang lebih awal besok," balas Lingga disertai senyuman hangat.

"Tidak apa-apa, Ruwi suka menunggu Ayah. Meski Ayah perginya lama, Ruwi akan terus menunggu Ayah pulang." Tangan mungil Ruwi mulai menepuk bahu lebar ayahnya dengan lembut. Berusaha menyalurkan energi positif untuk sang ayah yang baru pulang bekerja.

.
.
.

"Ayah, kenapa kita ke bukit malam-malam?" tanya Ruwi kecil sembari berusaha menyamakan langkahnya dari sang ayah.

"Ruwi takut, Yah. Ayo kita pulang." Ruwi mulai merengek. Wajar, usianya kala itu masih 4 tahun.

Sosok pria jangkung yang menggandeng tangan kanan Ruwi akhirnya berhenti melangkah begitu mendengar Ruwi menangis. Ia pun mengambil posisi jongkok untuk menyejajarkan pandangannya.

"Malam ini Ayah dan Ruwi akan berkemah di sini. Ayah udah menyiapkan tenda di sebelah sana. Jadi, Ruwi jangan nangis, ya," jawab sang ayah. Sejurus kemudian, tangan pria itu mengelus pipi Ruwi dengan lembut.

"Tapi, di sini gelap, Yah. Ruwi gak suka gelap."

Keadaan bukit memang gelap. Itu karena sebagian cahaya bulan dan bintang telah tertutupi awan hitam. Saking gelapnya, Ruwi tidak bisa melihat dengan jelas wajah sang ayah yang notabenenya berada di depan matanya.

STALKER - Beside Me [REVISI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang