PROLOG

267 49 19
                                    

Seorang wanita paruh baya dengan tega menampar kencang wajah pemuda yang berdiri di hadapannya. Sorot matanya nampak marah dan sedikit berkaca-kaca, sedangkan yang ditatap hanya diam dengan wajah datar tanpa memberikan reaksi apapun.

"Dasar anak tidak berguna!!"

"Manusia tidak tahu diri!! Masih ingat kau untuk pulang!!?" bentak wanita paruh baya itu menggelegar di seluruh penjuru ruangan. Ketika melihat putranya yang baru saja kembali pulang setelah tiga hari tidak ada kabar. Matanya memerah menahan segala emosi yang dirasakan.

"Bisa tidak jangan membuat orang tua khawatir dengan kelakuanmu itu, setelah lama tidak pulang dan kau kembali dengan penampilan layaknya berandalan seperti ini. Apa sih yang kamu lakukan?!" Sedikit tersirat rasa khawatir pada wajah sang Ibu. Pemuda itu mengangkat kepalanya dan memberikan tatapan dingin yang terkesan menantang.

"Peduli apa kau tentangku?" ujarnya datar, namun terkesan menantang.

"Apa maksudmu?! Aku ini Ibumu tentu aku peduli tentangmu!" katanya, masih dengan gejolak amarah. Sang putra memicingkan bibir, seolah tidak percaya dengan penuturan sang lawan bicara.

"Ibuku bukan wanita jalang seperti mu."

Satu tamparan kembali lagi mendarat pada pipi pemuda tersebut. Emosi wanita itu kini sudah tidak terbendung, sorot matanya yang hitam legam menatap tajam wajah sang putra. Rahangnya mengeras, tangannya terkepal seolah ingin cepat-cepat menghabisi nyawa yang ada di hadapannya.

"Saya harap saya tidak pernah melahirkan anak seperti kamu!!" ucapnya lagi dengan penuh penekanan di setiap katanya. Perkataan yang sungguh menyakitkan bagi seorang anak ketika mendengarnya langsung dari mulut sang Ibu. Namun berbeda dengan Cakra. Lelaki itu menegakkan kepalanya dan membalas tatapan tajam sang Ibu.

Kedua mata mereka bertemu.  Ana, Ibu kandungnya memberikan tatapan menyalang. Tanpa sedikitpun rasa takut Cakra membalasnya dengan tatapan datar dan tenang.

"Mungkin harusnya juga begitu," jawab Cakra dengan suara rendah berusaha untuk menahan gejolak amarah.

"Karena saya pun tidak pernah berharap untuk dilahirkan oleh Ibu seperti anda!" Suara Cakra kian meninggi.

Nafas Ana tercekat mendengar penuturan sang putra kandungnya, darah daging dirinya sendiri. Bagaikan disayat sembilu, begitu sakit. Namun dia tidak sadar karena Cakra pun merasakan hal yang sama. Ana bergeming tidak membalas perkataan Cakra. Melihat sang Ibu yang hanya diam, Cakra pikir sudah cukup untuk pertengkaran kali ini. Pemuda tersebut berlalu pergi menuju kamarnya, meninggalkan sang Ibu sendirian di sana.

"DASAR ANAK KURANG AJAR!!" teriak Ana sembari berbalik menatap punggung anaknya yang sudah menjauh berjalan di atas tangga. Sedangkan Cakra sama sekali tidak menghiraukan ucapan terakhir Ibunya.

Cakra Buana nama dari pemuda tersebut. Pemuda yang sangat berkharisma dan disegani di luar sana, ketua Geng Laskar yang sangat ditakuti banyak orang dan juga dikagumi banyak gadis karena paras tampannya. Namun di rumah dia hanyalah sampah yang tidak berguna bagi sang Mama.

Cakra menutup pintu kamar dengan kasar, lalu melempar tasnya asal dan berjalan menuju balkon. Pemuda itu mendudukkan dirinya pada sofa yang ada di sana. Lelaki itu merogoh saku celana lalu meraih sekotak lintingan tembakau dan membukanya, masih tersisa tiga batang di dalam sana. Belum sampai satu hari pemuda itu sudah hampir menghabiskan sekotak nikotin tersebut, entah apa yang ada di pikirannya.

Hembusan asap putih keluar dari mulut pemuda tersebut. Cakra menatap langit senja yang sungguh indah namun sangat bertolak belakang dengan suasana hatinya. Pemuda itu kembali menghisap sebatang nikotin yang ia gapit di antara jarinya. Sedikit lebih tenang itu yang Cakra rasakan, pemuda itu tertawa hampa lalu menghela nafas dalam seolah kembali merasakan semua beban yang dia tanggung selama ini.

"Gue nggak pernah meminta untuk diciptakan," monolog Cakra.

"Gue juga nggak pernah meminta untuk dilahirkan, itu semua bukan keinginan gue." Bibirnya kembali menghisap nikotin lalu kemudian tertawa renyah, seolah mengejek dan mengasihani keadaan dirinya sendiri.

"Bajingan memang," umpat pemuda itu pelan.

Sebelum lahir, tidak ada yang tahu kita dilahirkan oleh siapa, tidak ada yang tahu kita akan hidup seperti apa, dan tidak ada yang tahu keadaan sekitar kita bagaimana. Jika kita mendapatkan kehidupan yang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan atau kita inginkan? Kita tidak akan bisa berbuat apa-apa. Selain menerima dengan lapang dada dan ikhlas menjalaninya tanpa ada rasa terpaksa, karena itu adalah Takdir sang Maha Kuasa.

****

terima kasih sudah bertahan,

Follow akun Author supaya dapat notifikasi dan nggak ketinggalan allepetrichor

CAKRA [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang