7. She is Back!

101 11 0
                                    

"Refi, tolong panggil Rafi ke sini. Udah lama dia makan di kamar terus," baru saja Refi tiba di lantai bawah, ucapan Tama membuatnya kembali ke atas.

Tanpa menjawab sepatah kata pun, Refi berbalik arah menuju kamar kembarannya yang berada tepat di depan tangga. Tanpa mengetuk dahulu, Refi membuka pintu.

"Gue disuruh Papa untuk bawa lo ke ruang makan." Refi menatap kembarannya datar sambil berusaha tenang menghadapi Rafi yang menyebalkannya tak tanggung-tanggung.

Rafi menoleh, dengan entengnya menjawab, "Bilang aja ke Papa kalau gue pengen makan di kamar."

"Lo pikir semudah itu? Lo gak bosen tiap hari makan di atas kasur? Jorok tau!"

"Gue sukanya gini. Gue jatuh cinta sama kasur gue, dia gak bakal PHP-in gue, kayak Liya yang udah P—"

"Shut up!" Refi menyentak kasar membuat suaranya menggema di seluruh kamar Rafi. Rafi sudah memancing emosinya, dengan menyebut nama keramat itu di depan Refi. "Watashi wa anata ni iimashita, watashi no mae de kare no namae o iwanaide kudasai! (Sudah kubilang, jangan katakan namanya di depanku!)" Refi menaikkan oktaf suaranya. Urat-urat di leher serta lengannya menonjol jelas, menandakan bahwa pemuda itu tengah marah besar.

Rafi meneguk ludahnya susah payah saat mendengar Refi berbicara menggunakan Bahasa Jepang. Untuk bicara Refi yang menggunakan bahasa Jepang, sebenarnya itu tidak masalah. Namun, Rafi baru sadar bahwa dia sudah membangunkan singa yang sedang tidur.

"Sorry," ucap Rafi lirih. Dia benar-benar merutuki ucapannya yang tak dapat dikontrol. Refi langsung berbalik dan menutup pintu kamar Rafi kasar hingga menimbulkan bunyi yang nyaring. Dia benar-benar marah kali ini dan Rafi harus berjuang melawan rasa malas geraknya itu demi memperbaiki hubungannya dengan Refi.

Usai dari kamar Rafi, Refi tak memedulikan lagi apa kehendak saudaranya. Dia kembali ke kamar dengan sepiring makan malam setelah mendapat izin orang tuanya. Alih-alih mengatakan yang sebenarnya, Refi hanya berkata dia akan mengerjakan tugas.

Refi memang tidak berbohong, tetapi tidak jujur juga. Dia memang mendapat tugas Fisika dan harus dikumpulkan minggu depan. Waktu yang lama untuk sebuah tugas, bukan? Namun, karena dia tidak ingin melihat wajah Rafi, dia memilih mengerjakannya malam ini sebelum akhirnya lupa seperti kejadian dua bulan lalu.

Untuk pertama kali dalam hidupnya Refi lupa mengerjakan pekerjaan rumah karena terlalu fokus latihan silat untuk ujian kenaikan tingkat. Fauzan yang tidak menyangka sahabatnya akan lupa tentu saja tidak mengatakan apa-apa. Mereka tidak pernah membicarakan tugas saat berkumpul. Bahkan, di saat sedang tidak bisa menemukan jawaban, mereka tidak saling bertanya. Berusaha sebisa mungkin untuk memecahkannya.

Baru saat sang guru memberi instruksi untuk mengumpulkan tugas, Refi membelalak kaget. Dia sampai memukul dahinya sendiri saat menyadari tugas mudah dengan sepuluh soal itu belum dijawabnya.

Bagi seorang guru yang sudah lama mengenal tabiat Refi, tentu saja dengan berat hati harus menjatuhkan hukuman atas dasar keadilan. Refi tidak boleh mengikuti pelajaran, diminta membersihkan perpustakaan hingga jam pelajaran sang guru usai. Namun, karena tidak tega, sang guru memberikan rangkuman materi yang sudah di-print untuk murid emasnya itu.

Usai menghabiskan makan malamnya, Refi langsung mengeluarkan tumpukan kertas tanpa mengembalikan piringnya terlebih dahulu. Baru saja dia berhasil menjawab sepuluh soal, ponselnya berbunyi menampilkan notifikasi pesan WhatsApp.

Sebuah nomor baru tertera di layarnya membuat Refi mengerutkan dahi. Nomornya memang asing, tetapi isi pesan itu ....

Halo, Refi. Fyuh, ternyata lo belum ganti nomor. Ini nomor baru gue, jangan lupa saveback.

Foreign Accent Syndrome [COMPLETED ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang