9. Refi Mulai Aneh

82 7 0
                                    

Refi dan Jenisa memutuskan pulang lebih dahulu, enggan berlama-lama di sekolah orang. Pengumuman pemenang akan keluar beberapa hari lagi, hal ini juga yang membuat Refi mengajak Jenisa pulang lebih awal dari peserta lain. Lagi pula, tidak ada yang bisa mereka tunggu di sana.

Keheningan dalam mobil mendominasi, setiap putaran roda terasa begitu sunyi. Tatapan laki-laki berwajah tampan itu menunduk, menatap lembar demi lembar buku yang tengah dibacanya. Sementara gadis pendek mungil itu, dia terlihat hampir mati bosan karena hanya bisa menatap jalanan.

Berdua bersama kulkas berjalan ini memang bukan pilihan yang tepat. Harus makan hati setiap waktu.

"Berhenti, Pak!"

Seketika Jenisa menoleh, menatap Refi yang mulai keluar dari pintu mobil. Belum sempat mencerna apa yang akan Refi lakukan, kaca jendelanya diketuk, menampilkan Refi yang memintanya ikut serta.

"Ada apa, Kak?" Jenisa bertanya saat kakinya baru menapak di aspal.

"Gue lapar," sahut Refi datar sambil melangkah pergi meninggalkan Jenisa yang mengerutkan kening, bingung apa maksud Refi.

Apakah dia mengajaknya makan bersama? Kencan, eh, makan siang. Tunggu, di mana?

Mengedarkan pandangan, atensinya mendapati Refi yang sudah berdiri, berbicara pada seorang pria gendut dengan kumis melintang, penjual bakso pinggir jalan.

Sejak kapan dia di sana?

Dengan langkah lebar, Jenisa berlari kecil menghampiri kakak kelasnya. Refi yang melihat hal itu hanya melirik sekilas sebelum akhirnya memilih bangku untuk lokasi mereka makan.

Bangku yang paling dekat dengan gerobak si penjual, juga masih kosong.

Mengabaikan Jenisa yang mengatur napas, Refi mengeluarkan ponselnya, melihat-lihat apakah ada pesan yang memerlukan balasan.

Atensinya terpaku pada pesan Fauzan. Sahabatnya itu mengingatkan agar dia tidak terlambat pada janji hari ini pukul 3 sore.

Melirik jam tangan yang melingkar, Refi menghela napas lega saat mendapati jarum jam kecil menunjukkan angka satu. Masih ada dua jam untuknya makan dan menunggu pesanan selesai.

Usai pesanan dihidangkan, tanpa basa-basi Refi memakan bakso dengan Jenisa dan sopir dari sekolah di hadapannya. Tampaknya mereka juga lapar, terlihat dari cara makan yang sangat lahap. Berbeda dengan Refi yang selapar apa pun akan tetap makan dengan kecepatan standar, menunggu makanan sedikit hangat.

Usai mengisi perut, Refi melanjutkan perjalanan menuju sekolah, bersiap memenuhi janji pada Fauzan, melayat ke rumah guru perguruan.

***


"Udah lama?" Refi bertanya pada Fauzan yang duduk di atas motornya.

Laki-laki berambut rapi itu terlihat sibuk dengan ponsel, sampai tak menyadari keberadaan kawannya. Kentara betul dari ekspresinya yang terkejut saat Refi bertanya diiringi tepukan di pundaknya.

"Ngga lama, baru satu setengah jam," sahut Fauzan sambil memasukkan ponsel ke dalam tasnya.

Refi hanya tersenyum kaku, tidak tahu akan memberi respons seperti apa. Pasalnya, dia sendiri paham maksud Fauzan. Dalam hati sedikit kesal, mengingat tingkah bicara Fauzan yang sangat hobi menggunakan majas ironi.

Tak ingin memperpanjang persoalan, Refi langsung menaiki motor Fauzan, bersiap melaju menuju padepokan.

Soal Rafi dan Retha, dia sudah menyerahkan kunci mobil pada Rafi. Tak peduli apa yang akan terjadi, setidaknya dia bisa pergi dengan tenang. Lagi pula, Rafi tidak seburuk yang dibayangkan.

Motor yang dikendarai Fauzan melaju, membelah jalanan menuju padepokan yang jaraknya cukup jauh dari sekolah. Refi hanya duduk diam, menunggu motor berhenti di pekarangan tujuan.

***


"Lo nggak mau turun?"

Entah apa yang ada di pikiran kawannya, Fauzan sampai mengernyit sendiri melihat tingkah Refi. Sedikit aneh.

Tidak biasa saat ada janji dia datang terlambat, kali ini dia tidak turun dari boncengan setelah tiba di lokasi sekitar lima menit lalu. Menyusahkan.

Mengerjap beberapa kali, Refi terlihat kaget. Sontak, dia langsung turun dari boncengan motor Fauzan, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sebelum akhirnya kembali pada ekspresi datar.

"Sorry, gue nggak fokus."

Melangkah masuk menuju padepokan, karangan bunga cukup banyak memenuhi sebagian besar halaman. Dua laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolah---hanya dibalut jaket---itu menghampiri seorang gadis yang duduk di kursi dekat jendela. Anak bungsu Mbah Handoko, juga anaknya yang paling dekat dengan Mbah Handoko.

"Anna!" panggil Fauzan sambil menyentuh pundak gadis itu.

Tidak ada reaksi. Pandangan gadis itu kosong, merawang jauh ke depan. Bahkan, terlihat tak mendengar apa yang Fauzan ucapkan.

Menoleh meminta bantuan pada Refi---mengingat gadis SMP ini menyukai Refi---hanya dibalas helaan napas. Refi yang paham maksud Fauzan langsung maju beberapa langkah, berjongkok memposisikan tubuh di dekat gadis itu.

Sekali lagi menghela napas, Refi menyelipkan anak rambut Anna, lalu memanggil namanya sekali, "Anna!"

Sesuai dugaan Fauzan, gadis itu langsung terkejut, terlihat linglung beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum tipis menemukan sosok Refi yang berjongkok di sampingnya.

"Kak Refi ...," lirihnya. Gadis itu langsung turun dari kursi, memeluk erat Refi dan menumpahkan tangisnya di sana.

Refi hanya menatap Fauzan datar, berusaha meminta bantuan untuk melepas Anna dari pelukannya. Bahkan, saat ini tangan Refi tidak bergerak sedikit pun untuk mengelus pundak gadis itu.

"Bantuin!" ujar Refi tanpa suara, hanya gerakan bibir yang sangat terbaca.

Fauzan yang diminta bantuan hanya mengedikkan bahu sekali, sebelum akhirnya duduk di kursi tempat Anna tadi. "Tahan aja sampai dia berhenti nangis," celetuk Fauzan santai sambil menyandarkan punggungnya.

Enak saja! Refi mengumpat dalam hati.

Entah sudah berapa lama, pastinya pundak Refi terasa pegal. Ah, rupanya Anna tertidur. Pantas saja. Baiklah, merepotkan episode dua.

Dengan sangat terpaksa, Refi mengangkat tubuh gadis itu, menendang sekali kaki Fauzan untuk memberi kode bahwa dia harus ikut ke dalam kamar gadis ini. Tidak mungkin dia membawa gadis ini seorang diri ke dalam kamarnya. Yang benar saja!

Fauzan yang sedikit kasihan melihat raut muka Refi tanpa basa-basi langsung mengikuti langkahnya di belakang, berusaha mengabaikan pandangan orang-orang yang berlalu-lalang seakan menanyakan siapa mereka.

Usai mengantar gadis merepotkan itu ke kamarnya, Refi dan Fauzan kembali pada tujuan awal, melayat. Cukup lama mereka di sana, sedikit berbincang dengan istri Mbah Handoko yang kebetulan sangat akrab dengannya.

Walau hanya dibalas dengan "sabar, Bu" atau "iya, beliau sangat baik, bahkan ke kami" setidaknya istri Mbah Handoko memiliki teman yang bisa diajak bercerita tanpa menyelip.

***


Di lampu merah, Fauzan menatap kesal pada detik yang terlihat sangat lambat hingga membuatnya mati bosan. Refi di belakang terlihat asyik sendiri memperhatikan sekitar sampai tidak menyadari dengkusan temannya di depan.

Tepat saat lampu merah berganti hijau, Fauzan langsung menarik gasnya cepat, membuat Refi terlonjak kaget sambil mengumpat dalam hati. Demi apa pun, dia terkejut atas perilaku Fauzan. Bisa-bisanya dia mati mengajak-ajak. Awas saja nanti.[]

Foreign Accent Syndrome [COMPLETED ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang