8. Kompetisi Membosankan

62 7 0
                                    

Helaan napas terdengar begitu berat saat seorang laki-laki jangkung berkulit putih tiba di depan pintu kelas bertuliskan XII IPA 1. Wajahnya terlihat muram, tidak seperti biasanya.

Walau dia merupakan siswa dingin, raut wajahnya selalu segar dan terlihat santai, tetapi kali ini terlihat muram dan masam.

Mendudukkan tubuhnya pada bangku, dia menatap sekitar. Bangku di sampingnya masih kosong. Lagi-lagi membuatnya menghela napas. Entah sudah berapa kali dia melakukan hal yang sama, menghela napas. Seolah-olah hari-harinya terasa begitu berat, seberat helaan napasnya.

Seseorang yang baru datang bisa mengalihkan perhatiannya. Laki-laki berambut hitam legam yang ditata rapi dengan kulit seputih porselen itu melangkah tenang menuju bangku kosong tadi.

"Kenapa? Pagi-pagi udah muram."

Walau Fauzan—laki-laki yang baru datang—juga merupakan siswa dingin, tentang perubahan raut Refi dia paling tahu. Sedikit saja berubah, dia sudah bisa mengetahui pasti ada sesuatu.

Suasana kelas yang begitu hening, hanya diisi segelintir siswa-siswi paling rajin di kelas, membuat suaranya terdengar walau berbicara begitu pelan.

Diam-diam beberapa orang di dalam ruangan menguping, bersiap mendapat gosip hangat di pagi hari. Walau tergolong siswa-siswi teladan, bukan berarti mereka tidak suka bergosip. Terlebih, gosip mengenai dua sekawan yang jarang terkena masalah.

Sayang, penonton harus dibuat kecewa akibat gelengan kepala Refi. Laki-laki itu bangkit, memberi isyarat melalui mata agar Fauzan mengikutinya sekadar mencari udara segar. Lagi-lagi penonton dibuat kecewa.

Namun, sedikit banyak mereka memang sempat merasa keduanya seperti tidak cocok disebut sekadar teman. Saling menatap saja keduanya sudah bisa paham apa yang dimaksud.

Andaikan mereka tidak mendapati kenyataan Fauzan yang menjalin kasih dengan adik kelas, mungkin mereka akan mengira dua laki-laki itu gay.

Namun, ada untungnya juga walau mereka sempat kecewa dengan kenyataan itu.

Pertama, mereka tidak gay. Kedua, ada Refi yang belum memiliki pacar. Bukankah artinya mereka memiliki kesempatan? Hanya saja, kembali lagi ke awal. Apakah Refi mampu mereka gapai?

Sejenak, Fauzan melirik teman sekelasnya yang memperhatikan. Ah, rupanya karena ini Refi tidak ingin memberi tahu alasannya memasang raut muram. Para siswa-siswi penyebar gosip sudah siap siaga memasang telinga.

Memberi isyarat untuk melihat sekitar, Fauzan mengutarakan maksudnya, "Pada pengen tau, tuh. Tegur sana!"

Refi mengikuti arah pandang Fauzan disusul helaan napas dan gelengan kecil. "Non possum. Im 'in a malis modus."

*Saya tidak bisa. Saya sedang dalam mood buruk.

Keduanya duduk di bangku panjang depan kelas. Refi masih muram, menatap jauh ke arah langit biru yang terlihat cerah, tidak seperti dirinya.

Refi mendengkus, berusaha membuang jauh-jauh rasa kesal yang bersemayam sejak semalam. "Dia balik lagi."

"Dia siapa?"

Refi menatap Fauzan datar, auranya lebih suram dari biasanya. Bisa-bisanya Fauzan bertanya siapa, sudah jelas siapa yang Refi maksud. Tidak mungkin ada orang lain yang mampu membuat perubahan sedrastis ini pada Refi.

Baru saja Fauzan hendak mengutarakan kalimatnya lagi, seorang gadis berhenti di depan keduanya dengan napas terengah-engah.

Gadis bertubuh lebih pendek dari keduanya itu menormalkan napas sebelum akhirnya mendongak, menampilkan figur yang sangat Refi kenal. Jenisa.

Foreign Accent Syndrome [COMPLETED ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang