12. Kamu?!

51 7 6
                                    

Pukul tujuh pagi waktu setempat, Refi sudah siap di ruang tengah lengkap dengan seragamnya yang tampak selalu rapi seperti biasa. Laki-laki itu tengah menelepon Refa, sementara Bu Istu memasak. Tadinya dia hendak membantu sang guru, tetapi Bu Istu menolak dengan alasan takut pakaian Refi bau bawang dan lain sebagainya.

Padahal pihak hotel sudah mengantarkan makanan beberapa menit lalu, tetapi Bu Istu tetap memasak dengan alasan ingin Refi merasakan masakan percobaannya. Terpaksa, Refi harus mengiakan dan makan dua kali pagi ini.

Sesekali dia tersenyum saat Refa berusaha melemparkan candaan, terutama cerita tentang kekonyolan Rafi yang tiada akhir.

"Iya, ini Refi baru aja selesai sarapan. See you, Ma." Panggilan terputus, disusul helaan napas Refi yang mendominasi suasana hening dalam ruangan lebar itu.

Jika dari luar, mungkin Refi terlihat dingin, pendiam, tak terusik, dan acuh tak acuh. Namun, siapa sangka jika sebenarnya Refi manja pada sang mama?

Bu Istu duduk di kursi seberang, berhadapan langsung dengan Refi. Wanita tiga puluh tahunan itu meletakkan dua piring nasi goreng di atas meja, mempersilakan Refi menikmatinya dengan harapan sang murid memberi respons baik atas eksperimennya kali ini.

Mendengar seruan Bu Istu yang meminta Refi merasakan hasil masakannya, dia langsung menyendokkan nasi goreng ke dalam mulut. Tepat saat nasi goreng itu menyentuh lidah, gerakan mengunyah Refi terhenti. Rasanya ....

"Gimana rasanya, Refi? Enak apa nggak?"

Masih bergeming, Refi mendongak, memaksa makanan itu masuk ke perutnya. Merasa respons Refi yang aneh, Bu Istu langsung merasakan masakannya sendiri, menyuapkan satu sendok ke dalam mulut.

Baru saja makanan itu masuk ke mulutnya, dia sudah berlari ke dapur, memuntahkan kembali makanan buah karyanya. Refi yang masih duduk di ruang tengah hanya tersenyum tipis sambil menggeleng pelan. Percayalah, rasanya sangat asin. Tidak mungkin Refi mengatakan yang sebenarnya pada sang guru.

Refi membawa kembali dua piring nasi goreng ke dapur, memasaknya kembali dengan mencampuri beberapa bumbu tambahan, berharap mampu menghapus rasa asin yang mendominasi.

Benar saja. Bu Istu menyukainya dan meminta Refi mengajarkan memasak jika bosan belajar nanti malam. Benar-benar guru yang asyik, sangat berbeda saat wanita itu bertemu dengan Rafi.

***

Setelah drama pagi hari yang cukup melelahkan, Refi berjalan beriringan bersama Bu Istu menuju ruang pelatihan yang ada di lantai atas.

Ruangan lebar dengan dinding berelemen kayu itu tampak sangat elegan. Ditambah dengan pintu kaca di depan sana, menampilkan hamparan rumput hijau yang cocok untuk yoga dan sebuah kolam renang besar.

Ruangan ini mungkin disewa secara khusus, terlihat jelas banyak kursi seperti aula sekolah. Refi duduk di barisan kedua dari depan, sementara Bu Istu duduk bersama para guru pembimbing.

Olimpiade seasia ini hanya berisi masing-masing satu perwakilan dari masing-masing negara, ditambah satu guru pembimbing.

Berbagai macam ras berkumpul dalam satu ruangan, tetapi ada sesuatu yang menarik perhatian Refi. Gadis berambut sepunggung yang duduk di depannya. Sepertinya dia mengenali postur tubuh ini, tetapi siapa?

Gadis itu berdiri menoleh ke belakang, seolah-olah tengah mencari seseorang yang berkemungkinan akan masuk ke ruangan. Seketika Refi membeku, menatap wajah cantik di depannya. Tidak, bukan karena dia cantik, melainkan karena ....

"Refi?!" pekiknya pelan, membuat Refi terlonjak dari lamunannya. Gadis itu berjalan, berpindah tempat duduk di samping Refi. Raut mukanya terlihat sangat bahagia, cerah berbinar bagai berjumpa teman lama.

"Ini beneran Refi, 'kan?" Tanpa melunturkan senyum, gadis itu menyentuh pipi Refi membuat laki-laki itu spontan menepisnya. "Udah aku duga, aku ngerasa lihat kamu kemarin masuk ke sini, keluar dari taksi. Ternyata aku nggak salah, itu beneran kamu. Aku kangen kamu, Refi."

Berhubung ruangan masih sepi, gadis itu berbicara dalam bahasa indonesia. Dia memeluk tubuh Refi erat, membuat Bu Istu yang kebetulan melihat memicingkan mata. Selama sekolah, dia tidak pernah mendengar rumor tentang kisah asmara Refi, lalu siapa gadis yang memeluknya itu.

Refi bangkit, melepas secara paksa pelukan gadis itu. "Kita nggak seakrab dulu, berhenti deketin gue." Laki-laki kelas 12 itu melangkah menjauh, sementara sang gadis masih membeku di tempat, mencerna apa yang baru saja terjadi.

"Refi! Kamu udah lupa sama aku, ya? Aku---"

"Nolite appropinquare me, Aprilliya!*" Refi melangkah menjauh, duduk di barisan paling belakang, di ujung, bersama dua orang laki-laki dari negara lain.

(*Berhenti mendekatiku, Aprilliya! (Bahasa Amerika Latin))

Liya hanya bisa memperhatikan kepergian Refi sambil bertanya-tanya. Sejak kapan Refi pandai berbicara bahasa itu? Dia bahkan tidak paham apa artinya, tetapi dari raut wajah dan cara bicaranya seolah-olah Refi memintanya pergi.

Ternyata rasa sakit itu masih membekas di diri Refi.

Gadis itu terduduk lesu di kursinya, memandang kosong ke arah rok selutut yang dikenakannya. Dia tahu, semua ini kesalahannya. Dia tertipu oleh laki-laki sialan itu dan ... pamannya. Jika bukan karena mereka, dia dan Refi masih bersama, saling tertawa bahagia tanpa luka, dan Refi tak akan melepaskan diri dari pelukannya.

Sayang sekali sekarang semua berbeda. Keadaan tak lagi sama. Refi menganggapnya tak lebih dari orang yang harus dihindari. Atau sebenarnya Refi sudah memiliki orang baru? Jika iya, Liya berjanji akan membuat Refi kembali padanya, melepaskan gadis yang berani mengganti posisinya. Lihat saja nanti, siapa pun itu, lihat saja!

Foreign Accent Syndrome [COMPLETED ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang