Setelah seharian yang entah mengapa membuatnya selalu berurusan dengan Rafi, Refi bisa bernapas lega saat melihat saudara kembarnya ke luar rumah untuk malam mingguan dengan pacarnya. Begitu katanya.
Refi masih kesal, kemarin Rafi membuatnya malu di depan umum dengan berteriak melalui balkon lantai tiga. Hari ini dia masih harus berurusan pula. Setiap hari dia diminta memanggilnya untuk makan malam bersama karena Rafi lebih suka makan malam di atas kasur. Cih, merepotkan sekali.
"Ma, Refi boleh ngomong?" Melihat ibunya yang tengah merapikan piring kotor bekas makan malam, Refi langsung mendekat, berdiri di samping ibunya yang mulai menyalakan wastafel untuk mencuci piring.
Menoleh ke arah sang anak yang tampak tengah serius, Refa tersenyum tipis. "Mau ngomong apa? Ngomong aja, Refi, pasti mama dengerin, kok."
"Kalau Refi nembak cewek yang Refi suka dalam waktu dekat ini terlalu cepat nggak, Ma?"
Mendengar ucapan anaknya, Refa langsung menghentikan menyuci piring, menatap remaja yang lebih tinggi darinya. "Kamu serius?"
"Refi serius, Ma." Refi menarik kursi, mulai duduk di sana sambil menyandarkan punggungnya.
"Sejak kapan kamu deket sama dia?"
"Gimana, ya, Ma? Dibilang deket juga nggak. Refi sadar sering cuekin dia."
Refa yang sudah serius mendengarkan, langsung terdiam memasang raut datar. Jari-jari lentik wanita berambut sebahu itu menyentil kening anaknya. "Awas ditolak kamu kalau nembak sekarang. Si cewek pasti mikir kamu nggak suka dia. Dijauhin tau rasa."
Menyentuh keningnya yang terasa sakit, Refi menghela napas. "Refi curhat ke mama mau minta restu, malah ditakut-takuti.
"Lah? Kamu cuma bilang curhat. Kalau mama setuju aja, Refi, asal kamu jangan mainin cewek."
Menghela napas, Refi memutar bola mata malas. "Yang ada Refi yang dimainin cewek. Ya udah, kalau mama kasih restu, Refi ke kamar dulu, mau mikir skenario buat nembak dia nanti."
Bangkit dari duduknya, Refi langsung berlalu meninggalkan sang ibu yang mulai kembali menyuci piring. Sambil berjalan otaknya ikut berjalan, memikirkan cara yang tidak klasik seperti Rafi yang menembak di tengah lapangan.
Baru saja terpikir sebuah cara, sambil membuka pintu dia memikirkan cara menjalankannya. Dia membutuhkan lebih dari lima orang untuk melakukan ini dan dia baru memikirkan tiga orang yang bisa membantunya.
Duduk di meja belajar, Refi mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja.
Kira-kira siapa, ya?
"Rafi pulang!" Suara menggelegar Rafi langsung menyadarkan lamunannya. Walau berada di lantai bawah, suaranya dapat terdengar hingga kamar Refi yang berada di lantai atas.
Tunggu! Ah, benar juga!
Refi langsung menjalankan rencananya, meraih kunci motor dan jaket, lalu menuruni tangga satu per satu.
"Eh? Mau ke mana kamu, Refi? Udah malam gini."
"Mau beli bahan buat kerajinan prakarya. Refi lupa tadi belum beli." Menyalami tangan ibunya, Refi langsung pergi meninggalkan rumah. Pandangan sang ibu beralih ke meja ruang tengah yang penuh dengan barang prakarya Refi belum dibereskan. Jadi, mana yang benar?
Jika belum membeli, milik siapa bahan prakarya di atas meja? Refa tidak yakin itu milik Rafi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Foreign Accent Syndrome [COMPLETED ✔]
Roman pour AdolescentsBerawal dari sebuah kecelakaan yang membuat seorang Teuku Refian Aldebaran ini mengalami benturan keras di kepalanya. Akibat benturan itu, remaja kelas 3 SMA ini harus mengalami Foreign Accent Syndrome. Syndrome di mana dia akan berbicara menggunaka...