15. PDKT

47 6 0
                                    

"Ref, ikut nggak?" Fauzan yang tengah membereskan alat tulisnya bertanya. Refi hanya menoleh sebentar, laki-laki itu mendengkus.

Tadinya dia ingin diam di kelas saja, memakan bekal yang sudah dia bawa dari rumah. Namun, barangkali ajakan Fauzan menarik. "Ke mana emang?"

"Gue mau ke kelas Ranita."

Mendengar itu, Refi diam sejenak, menatap datar sahabatnya yang masih sibuk dengan alat tulis. Fauzan mengajaknya ke kelas Ranita, meminta dirinya menjadi obat nyamuk maksudnya? Dia melawak atau bagaimana? Baik sekali memang sahabat Refi yang satu ini.

Walau sudah mengumpat dalam hati, entah mengapa Refi mengiakan. Laki-laki dengan mata sipit itu mengangguk, ikut bangkit membawa bekal makanan yang dibawanya dari rumah.

Dua laki-laki tampan itu memasuki kelas XI IPA 1. Jarang-jarang Fauzan mau menghampiri Ranita. Biasanya gadis itu yang diminta pergi ke kelasnya untuk menghindari tatapan-tatapan teman sekelas pacarnya.

Tentu saja semua menatap! Jika Fauzan, walau jarang datang, mereka sedikit banyak sudah terbiasa. Namun, sekarang ada Refi! Catat itu! Refi! Laki-laki yang paling tidak suka berkunjung ke kelas lain, kecuali saat diminta guru. Diminta menyerahkan tugas dari guru ke adik kelas saja dia enggan, masih meminta Fauzan yang melakukan. Refi hanya masuk ke kelas-kelas yang satu angkatan dengannya. Itupun bisa dihitung menggunakan jari tangan tanpa perlu tambahan jari kaki.

"Tumben banget ke sini bareng Kak Refi?" Ranita seakan-akan menjadi perwakilan bagi pertanyaan teman-teman sekelasnya.

Menoleh ke arah Refi, Fauzan langsung duduk di samping Ranita, meminta Jenisa menepi pindah duduk ke belakang. "Kasian kalau sendirian di kelas. Biar dia PDKT-an juga sama temen lo."

Nada bicaranya datar, tetapi ada kejailan yang terselip sedikit di antara kata-katanya. Laki-laki berambut sedikit panjang---untuk ukuran laki-laki---itu membuka kotak bekal yang dibawanya, mengabaikan Refi yang duduk bersama Jenisa di belakangnya tanpa suara.

Sementara itu, Refi sesekali melirik ke arah sahabatnya. Sialan memang! Jika tahu begini, dia memilih diam saja di kelas, makan bekal sendiri, setelah itu termenung atau membaca buku ke perpustakaan daripada ikut mengapel bersama Fauzan.

Setahu Refi, Fauzan memang memiliki jadwal rutin tersendiri bersama pacarnya. Mereka tidak terlalu berinteraksi di sekolah, hanya sekadar saling senyum atau menyapa bisa bertemu. Berpapasan di kantin saja Fauzan dan Ranita tidak akan makan satu meja seperti pasangan kekasih pada umumnya.

Terkadang Ranita menghampiri Fauzan ke kelasnya apabila diminta, jika tak diminta gadis itu akan diam. Sementara itu, Fauzan akan rutin menghampiri Ranita ke kelasnya satu bulan sekali. Katanya supaya tidak berat sebelah. Supaya Ranita tidak merasa dikesampingkan.

Namun, setahu Refi, mereka jarang sekali berjalan-jalan di hari libur. Fauzan yang kegiatannya hampir sepadat dirinya, tentu saja tidak memiliki banyak waktu untuk sekadar main ke mal, bermain ke dufan, menonton di bioskop, dan lain sebagainya.

Paling-paling Fauzan hanya akan datang ke rumah Ranita, melakukan pendekatan dengan keluarga gadis itu. Refi pernah tahu sendiri saat mereka hendak pergi latihan, Fauzan sempat-sempat mengantar kue yang ibunya titipkan untuk Ranita, padahal jelas-jelas arah padepokan dan rumah gadis itu tidak satu arah.

Terkadang Refi heran. Apakah semua orang pacaran akan melakukan hal seperti itu? Rela memutar arah hanya demi memberikan makanan.

"Em ... Kak Refi."

Rasa kesal Refi mendadak buyar akibat panggilan Jenisa. Lamunan yang tersusun rapi tadi pecah seketika. Laki-laki berhidung mancung itu menoleh ke arah Jenisa yang tampak tengah bersandar pada kursi.

"Selamat, ya, lo juara olimpiade. Lo emang hebat banget! The best pokoknya. Nanti ajarin gue, ya, Kak."

Kening Refi mengerut. Namun, detik berikutnya dia kembali datar. "Hm, thanks. Ngomong-ngomong, makasih buat tadi."

"Santai aja, Kak. Oh, iya, kemarin Bu Laila minta gue buat ikut olimpiade Biologi. Katanya, sih, memang khusus kelas sebelas atau sepuluh, kelas dua belas harus fokus ujian. Kata Bu Laila gue suruh minta ajarin ke lo, Kak. Mau nggak ajarin gue?"

Walau sebenarnya gugup setengah mati, Jenisa berusaha bersikap biasa saja. Gadis itu menyengir, menampilkan gigi gingsulnya sambil menunggu Refi merespons.

Menelan makanan yang tengah dikunyahnya, Refi langsung menjawab, "Anything for you. Habis ini aja di perpus."

Mata bulat Jenisa berkedip beberapa kali. Dia pikir meminta Refi mengajarinya itu susah, tetapi nyatanya mudah. Ah, mungkin karena mereka sudah cukup dekat. Gadis itu tersenyum puas, dia akan mencetak prestasi besar juga, sama seperti kakak kelas idolanya. Teuku Refian Aldebaran.

Beberapa menit setelahnya, Fauzan mengajak Refi kembali ke kelas. Laki-laki itu hanya mengiakan, sekaligus berpamitan pada Jenisa. Jam istirahat di sekolah ini satu jam, masih ada empat puluh menit lagi untuk melakukan aktivitas lain.

Baru saja ke luar kelas, Refi berpapasan dengan saudara kembarnya yang berjalan sambil membuat keributan bersama teman-temannya.

Jangan ditanya, tentu saja Rafi menatapnya aneh. Laki-laki itu menatap bergantian Refi dan kotak bekal biru kesayangannya. "Lo ngapain di kelas sebelas? Bukannya lo anti banget, ya, kalau harus masuk ke kelas sebelas atau sepuluh? Masuk kelas seangkatan aja lu gak minat, kenapa lu tiba-tiba masuk ke kelas sebelas?"

Merasa tak mendapat jawaban, Rafi kembali bertanya, "Lo makan di kelas ini? Ngapain? Kok gak ma---"

"Mau ke mana?"

Rafi langsung membelalakkan matanya saat Refi mengacuhkan dia. Di sana, Refi lebih memilih bertanya pada seorang gadis dengan rambut sebahu yang digerai dengan poni layaknya kartun Dora yang membuatnya terlihat imut dan manis. Jenisa.

"Gue mau ke perpustakaan, Kak."

"Hati-hati, gue mau ke kelas dulu. Nanti gue nyusul."

"Kakak hati-hati juga," ucapnya dan berlalu pergi setelah memamerkan gigi gingsulnya.

Melihat teman-teman Rafi menganga takjub, Refi langsung memberi peringatan, "Jangan berani sentuh dia, atau kalian berhadapan sama gue!" Refi dan Fauzan berlalu pergi meninggalkan Rafi beserta teman-temannya.

Sementara itu, Fauzan yang memang berjalan di dekat Refi hanya tersenyum. Tidak sia-sia rencananya mendekatkan Refi dan Jenisa.

Foreign Accent Syndrome [COMPLETED ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang