Sore itu sedikit gerimis. Satu per satu tetesan air membasahi aspal juga halaman depan kafe tempat Refi duduk bersama Jenisa. Sudah lama sekali rasanya mereka tidak duduk berdua layaknya tengah berkencan. Tak berselang lama, seseorang yang ditunggu-tunggu datang. Refi hanya meliriknya sekilas, lalu kembali meminum chappuchino yang dipesannya.
Sejak pertama datang, Refi tak membuka pembicaraan sama sekali dengan Jenisa yang duduk dengan perasaan gugup. Refi tetap tutup mulut, bahkan saat Liya berbasa-basi menanyakan apakah mereka sudah lama menunggu.
"Langsung ke intinya."
Jenisa sampai melirik takut ke arah Refi. Semenjak dia meminta untuk mengakhiri hubungan, entah mengapa aura Refi semakin menguar kuat. Setiap kali ada yang mendekatinya, Refi spontan memasang benteng tinggi nan kokoh agar tak mampu didekati.
Menghela napas, Liya memalingkan wajah, lalu kembali menatap Refi dan Jenisa. "Gue minta maaf, terutama lo, Jen. Gue baru sadar, Refi udah bukan untuk gue lagi. Maafin gue, Jenisa. Gue bener-bener minta maaf. Hari ini, malam nanti gue mau terbang ke Singapura. Gue udah pikirin baik-baik, gue udah telpon mommy juga, cerita sama mommy. Gue minta maaf sebesar-besarnya, Jen, Ref."
"Gue maafin."
Mulut Jenisa yang sudah terbuka hendak mengeluarkan kata-katanya kembali terkatup rapat saat Refi mendahului. Laki-laki itu menatap datar ke arah Liya sambil bersedekap dada. Jenisa tidak tahu sisi pemaaf Refi. Dia tidak tahu Refi dengan mudah memaafkan orang lain. Bahkan, Liya sendiri terbelalak kaget.
"Lo seriusan, Ref? Setelah semua yang gue lakuin?"
"Mm. Asal lo nggak ganggu gue lagi."
Liya mengangguk lemah, senyum tipis terukir di bibirnya, gadis itu terlihat lebih bahagia daripada sebelum-sebelumnya. Beralih menatap Jenisa, Liya bertanya, "Lo sendiri gimana, Jen? Gue tau gue salah banget sama lo."
Tersenyum tipis, Jenisa mengangguk. "Gue maafin lo, kok, sama kayak Kak Refi."
Setelah saling memaafkan, ketiganya berbincang ringan, walau Refi lebih memilih diam. Jenisa dan Liya dalam sekejap menjadi teman akrab, sikap keduanya juga hampir mirip. Refi hanya memandang ke luar kafe yang berdinding kaca, menunggu gerimis yang semakin deras berhenti.
****
Refi yang tengah sibuk dengan berbagai tugas di laptop langsung terlonjak kaget saat pintu kamarnya dibuka kasar. Pelakunya tak lain tak bukan Rafi, saudara kembarnya sendiri. Pasti ada maunya.
"Bisa nggak, sih ketuk dulu sebelum masuk?"
Kening Refi mengerut pertanda dia kesal dan merasa terganggu. Dia benar-benar ingin menenggelamkan kembarannya ke dalam laut. Lihat saja betapa menyebalkan wajahnya. Meminta maaf saja diselingi tawa.
Seperti yang Refi duga, kedatangan Rafi karena membutuhkan bantuannya. Rafi ingin dia membantunya agar Anya tak lagi marah padanya. Sebagai balasan, dia akan memberi seperempat uang bulanannya, juga satu barang yang sangat Refi inginkan.
Tentu saja Refi tak membuang-buang kesempatan. Dia bisa membuat saudara kembarnya kapok mengganggunya. Dia bisa meminta barang yang mahal. Kamera DSLR keluaran terbaru contohnya. Atau sepatu bermerk original. Bisa juga meminta jaket tebal musim dingin untuk persiapannya ke London nanti.
Dapat dilihat dari raut wajah Rafi yang memekik miris akan nasib dia ke depannya nanti. Lagi pula Rafi hanya meminta dia menyanyi. Bukan hal yang merepotkan dan kebetulan dia butuh refreshing setelah mengikuti serangkaian tes dan ujian untuk masuk London University.
KAMU SEDANG MEMBACA
Foreign Accent Syndrome [COMPLETED ✔]
Teen FictionBerawal dari sebuah kecelakaan yang membuat seorang Teuku Refian Aldebaran ini mengalami benturan keras di kepalanya. Akibat benturan itu, remaja kelas 3 SMA ini harus mengalami Foreign Accent Syndrome. Syndrome di mana dia akan berbicara menggunaka...