13. Welcome Back, Refian!

44 7 1
                                    

Setelah beberapa hari menjalani pelatihan, hari pertempuran tiba. Refi duduk di bangku paling depan, sesuai dengan nama yang tertera di atas meja. Sialnya, dia satu ruangan dengan Liya.

Kelas sangat hening, padahal hampir seluruh peserta olimpiade sudah berada di dalam. Definisi kelas IPA yang sebenarnya.

Laki-laki itu mulai membuka bukunya, mempelajari kembali materi-materi yang diprediksi akan masuk ke dalam soal-soal olimpiade, juga mencoba mengerjakan ulang soal-soal latihan yang gurunya berikan.

Walaupun dia sering berbicara menggunakan bahasa asing, Refi sebenarnya tidak sepandai itu. Dia refleks berucap dengan bahasa asing, sementara dia sendiri tidak tahu pasti artinya. Refi hanya paham inti dari yang dia ucapkan karena kata-kata yang diucapkannya berasal dari apa yang tengah dia pikirkan.

Beruntung ujian ini menggunakan bahasa Inggris. Memang Refi tak paham semua bahasa di dunia, tetapi soal bahasa Inggris dia sudah di luar kepala. Sejak SD sudah menjalani les bahasa sana-sini, terutama bahasa Inggris. Hasilnya, Refi menguasai enam bahasa, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Mandarin, bahasa Jepang, bahasa Korea, dan bahasa Jerman. Di luar itu, dia hanya paham cara mengucapkan sampai jumpa dan sapaan.

Olimpiade akan dimulai tiga puluh menit lagi, masih ada banyak waktu untuk Refi menghafalkan rumus-rumus yang semalam dia lupa baca kembali karena harus mempersiapkan barang-barang agar esok saat pulang ke Indonesia tidak terlalu kesusahan untuk membereskan barang-barang.

"Refi!"

Astaga, gadis ini lagi. Lepas dari orang-orang di sekolah, Refi diganggu Liya di Singapura. Jelas saja! Tidak mungkin bule-bule itu mengganggunya. Refi bahkan berani bertaruh dia paling jelek di antara laki-laki China, Korea, dan Jepang yang duduk di belakangnya. Lagi pula, peserta olimpiade ini mayoritas laki-laki. Mungkin tujuh puluh persen laki-laki, sisanya perempuan.

Menoleh malas ke arah Liya yang berdiri di sampingnya,---karena satu meja hanya satu kursi---Refi menghela napas. "Lo bisa pergi nggak? Gue mau belajar."

Seketika gadis itu mengerucutkan bibir. Walaupun sudah ada peningkatan, dari yang awalnya Refi tak merespons atau menjawab dengan bahasa-bahasa yang tak Liya pahami, sekarang laki-laki itu menjawab dengan suara rendah, walau nadanya masih datar. Namun, tetap saja. Refi masih mengacuhkannya, tidak seperti dua tahun lalu, di mana segala ucapannya akan Refi turuti. Sial sekali! Mengapa harus ada ... argh, sudahlah!

Tak ingin menanggung malu karena mengganggu Refi yang sudah jelas-jelas mengusirnya, gadis itu pergi dari bangku Refi, menuju bangkunya sendiri di belakang sana, membuat Refi mampu menghela napas lega.

"Dia terlihat selalu mengganggumu. Siapa dia?" laki-laki Korea di belakangnya bertanya, membuat Refi mau tak mau menoleh ke belakang, menatap laki-laki bermata sipit dengan kulit putih dan rambut hitam panjang---untuk ukuran laki-laki---terlebih di bagian poni, hingga mampu menutup sebelah matanya.

Walau sebenarnya malas, Refi tetap menjawab, "Hm, hanya masa lalu."

Laki-laki itu tampak mengangguk paham, setelahnya kembali fokus pada buku yang dia baca.

Kwon Dylan, laki-laki asal Korea Selatan yang menjadi teman Refi sejak hari pertama pelatihan saat dia menghindari Liya. Dylan merupakan laki-laki yang supel dan humoris. Dia terlebih dahulu mengajak Refi berkenalan lalu berbincang-bincang, mencari topik pembicaraan walau Refi hanya membalas dengan jawaban singkat.

Tiga puluh menit terasa begitu lama, sementara Refi sudah tak sabar enyah dari ruang kelas ber-AC yang tampak panas ini. Dia lelah merasa diperhatikan dari belakang. Saat menoleh untuk menjawab pertanyaan Dylan tentang materi yang tidak dia paham, dia mendapati Liya menatapnya tanpa berkedip. Sialan. Nasibnya buruk jika harus satu ruangan dengan gadis itu.

***


Olimpiade berjalan cukup lancar, hanya ada tiga soal yang cukup membingungkan. Namun, itu bukan masalah. Refi mampu memecahkannya, walau entah jawabannya benar atau tidak.

Saat ini laki-laki itu duduk di salah satu kursi ruang makan, bersiap menunggu menu makan siang hari ini bersama Bu Istu, Dylan, dan Mrs. Kim yang merupakan guru pembimbing Dylan.

Kepribadian Mrs. Kim sangat cocok dengan Bu Istu yang menyukai hal-hal berbau belanja dan penampilan modis. Keduanya sama-sama membicarakan tentang majalah fashion terbaru yang rilis bulan lalu, sementara Refi dan Dylan membicarakan hal-hal mengenai soal-soal olimpiade tadi.

Dylan bilang, soal-soal itu cukup rumit karena dia lupa belajar selama tiga hari ini. Dia sering mencuri-curi waktu bermain game di kamar tanpa sepengetahuan Mrs. Kim. Laki-laki jangkung itu sampai sedikit kaget saat melihat namanya terpampang di antara sepuluh peserta yang masuk ke babak final.

Juara dalam olimpiade ini hanya akan dipilih hingga harapan 2. Jadi, kemungkinan akan ada lima orang yang gugur saat babak final nanti.

"Itu artinya kau masih cukup pandai, Dylan. Sudahlah, cepat selesaikan makanmu! Sebentar lagi olimpiade dimulai," entah sejak kapan Mrs. Kim mendengarkan pembicaraan dua remaja di dekatnya, tiba-tiba wanita dengan rambut sebahu digerai itu menyeletuk.

Dylan tampak menggaruk tengkuknya yang sebagian tertutup rambut. "Iya, Mrs. Ah, ayo, Refi! Kita harus segera ke ruangan."

Laki-laki itu gelagapan sambil menarik lengan Refi. Dia tidak ingin Mrs. Kim tahu jika dia tidak belajar selama tiga hari. Bisa diomeli panjang lebar sampai jam olimpiade nanti.

***


Ruangan ini akan tenang tanpa adanya Liya, sesuai harapan Refi. Gadis itu gagal, tidak masuk ke babak final. Namun, siapa sangka jika gadis itu menunggunya di depan ruangan. Tepat saat Refi baru selesai mengerjakan soal, dia keluar untuk kembali ke kamar, mempersiapkan dan memastikan barang-barangnya tidak ada yang tertinggal. Namun, Liya sudah berdiri di dekat pintu, memegang lengannya untuk menahan kepergian laki-laki itu.

"Gue mohon, Refi, kasih gue kesempatan kedua."

"Nggak akan pernah!" Refi menyentak kasar tangan Liya, melangkah pergi untuk meninggalkan gadis itu. Namun, Liya tetaplah Liya. Si gadis keras kepala yang tidak bisa dihalangi hanya dengan kata-kata.

"Gue yakin lo gini karena udah ada pengganti gue, 'kan? Gue bakal pastiin, setelah ini pengganti gue itu akan mundur secara perlahan, menyerahkan lo kembali ke pelukan gue."

Semenjak kejadian di ruangan untuk pertemuan pertama mereka---setelah dua tahun berpisah---saat itu, Liya sering mengganggu Refi, berbicara menggunakan aku-kamu dengan bahasa Indonesia. Namun, beberapa hari lalu Refi menyentaknya, mengatakan mereka tidak sedekat itu, jadi Liya tak perlu menyebut aku-kamu dalam pembicaraan mereka.

Refi melangkah pergi, mengabaikan apa pun yang gadis itu katakan. Walaupun tak dapat dipungkiri, hatinya sedikit gelisah. Atau, lebih baik jika dia langsung saja ....


__________________________________

Tadinya mau aku kasih scene Refi di bandara, dijemput keluarga, tapi setelah dipikir lagi ternyata nggak penting sama sekali, nggak ngaruh ke plot, jadi aku hapus lagi, gagal taruh di cerita. Daripada jadinya sampah, nanti dibaca nggak enak, buang-buang scene, banyakin jumlah kata aja.

Foreign Accent Syndrome [COMPLETED ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang