19. Dia Lagi?

30 5 0
                                    

Setelah menggemparkan sekolah siang tadi, Refi menggemparkan saudara kembar dan adiknya dengan kabar meminta untuk berangkat ke sekolah masing-masing dengan alasan dia ingin menjemput Jeje. Lagipula, Jeje satu perguruan dengannya, jadi dia memiliki alibi kuat untuk mengantar jemput gadis itu.

Bisa dia lihat raut wajah Rafi memang menampakkan kekesalan, tapi tak urung dia menerima tawarannya. Berbeda dengan Rafi yang memang memiliki kendaraan sendiri, Retha sedikit luntang-lantung karena tak memiliki kekasih dan belum diizinkan untuk menaiki kendaraan sendiri mengingat usianya belum genap tujuh belas tahun. Dengan usulan dia bisa berangkat bersama sopir akhirnya gadis itu setuju.

Refi sudah siap di hari pertamanya menjemput Jenisa. Dia mengikuti alamat yang Jenisa kirimkan melalui WhatsApp. Rumah gadis itu tidak bisa dibilang sangat besar, tapi cukup bagus di antara rumah-rumah sekitar.

Duduk di sofa sambil menunggu Jenisa, Refi menunduk kaku saat berhadapan dengan ayah Jenisa yang memiliki raut wajah garang. Kata orang, perempuan cantik itu cenderung memiliki ayah yang garang. Seperti yang berada di hadapan Refi saat ini.

Pria bertubuh besar tegap dengan kumis melintang itu tengah menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Sejak kapan kamu pacaran sama anak saya?"

Setelah beberapa menit saling diam, ayah Jeje membuka obrolan. Sejujurnya Refi ragu menjawab. Hubungannya dan Jenisa baru kemarin diresmikan, tapi dia sudah berani mengantar-jemput gadis itu.

Menghela napas, Refi mendongak, memberanikan diri menatap balik pria yang mungkin kelak akan mejadi mertuanya. "Baru kemarin, Om," jawabnya sopan.

Walau Refi bukan tipe yang suka basa-basi, tapi dia paham etika berbicara dengan orang yang lebih tua. Jika berbicara pada temannya dia akan bernada datar, pada orang tua dia akan mencoba sesopan mungkin.

"Cukup bagus. Baru jadian sudah berani kemari. Saya takjub dengan keberanian kamu." Entah harus senang atau takut, Refi sendiri bingung. Pria itu terdengar memuji, tapi ekspresi wajahnya masih menatap Refi seperti sedang meneliti sesuatu. "Siapa namamu?"

"Refi, Om."

"Tinggal di mana?"

Sebenarnya dia sudah tidak heran dengan pertanyaan itu. Semua orang tua pasti akan menanyakan di mana tempat tinggal orang yang menjadi kekasih anaknya, siapa orang tuanya, sekolah di mana, apa yang disuka dari anaknya, nama lengkapnya, bahkan sampai silsilah keluarga pun bukan hal aneh lagi bila ditanyakan.

"Perumahan Asri Goldi Richi, Om."

Mendengarnya, mata ayah Jenisa langsung membulat. "Di sana perumahan tempat atasan saya tinggal. Kamu kenal Bapak Tama Aldebaran?"

Sontak, Refi merasa seperti tersedak ludahnya sendiri. Ayah Jenisa menyodorkan segelas air, Refi meminumnya perlahan. Setelah batuknya reda, dia berdeham sekali. "Iya, Om, itu ayah saya."

Refi memang tersenyum, tapi wajahnya terlihat kaku, bahkan senyumannya seperti dipaksakan. Sangat canggung. Hal itu membuat ayah Jenisa ikut-ikutan terkejut. Untung dia tidak ikut tersedak ludahnya sendiri. Siapa sangka anak dari bos tempatnya kerja adalah kekasih anaknya sendiri?

Baru hendak berbicara lagi, suara lain mendahului, "Udah, Ayah. Ayah jangan interogasi Kak Refi terus, nanti dia serangan jantung lihat muka Ayah yang sok galak."

"Ah, kamu merusak citra galak ayah aja, Jen. Ya udah, ayah mau siap-siap dulu berangkat kerja. Kamu hati-hati. Refi, jaga Jeni, ya, dia rada nakal anaknya. Saya permisi dulu."

"Iya, Om."

Setelah menyalami tangan ayah Jenisa, Refi dapat menghela napas lega melihat pria itu menaiki tangga menuju lantai atas. Melihat raut muka penuh kelegaan Refi membuat Jenisa merasa tergelitik. Baru kali ini dia melihat ekspresi lain dari kakak kelasnya. Saat dia menerima pernyataan cintanya pun wajah Refi tampak biasa saja membuat Jenisa sedikit ragu bahwa Refi benar-benar tengah menyatakan perasaannya.

***

Pagi-pagi diwawancarai oleh calon mertua memang bukanlah hal baik untuk kesehatan. Setelah berpamitan pada kedua orang tua Jenisa, Refi benar-benar bisa bernapas lega, berangkat sekolah bersama Jenisa yang kini duduk di boncengan motornya.

Refi menghentikan motornya saat lampu berubah menjadi merah. Jenisa yang duduk tenang di belakang tentu tak akan menyadari perubahan raut wajah Refi sekarang.

Mata Refi menyorot tajam ke arah jendela belakang sebuah mobil yang ada di dekatnya. Dia tidak salah lihat, matanya masih sehat. Itu Liya, sedang duduk manis memainkan ponsel. Dia mengenakan seragam sekolah yang dia kenakan di Singapura dulu. Apa yang dia lakukan di Indonesia?

"Kak, lampunya udah hijau."

Ucapan disusul tepukan di pundaknya membuat Refi tersadar. Dia langsung menarik gas pelan, perlahan-lahan menambah laju kecepatan sambil melepas kopling secara perlahan. Hatinya berkata itu benar-benar Liya, tapi otaknya menolak keras mengingat gadis masa lalu itu tak ingin lagi dia lihat wajahnya.

Foreign Accent Syndrome [COMPLETED ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang