16. Keputusan

32 5 0
                                    

Tiba di kelas, baru saja meletakkan kotak bekal, Refi kembali beranjak ke luar kelas. Melihat hal itu, Fauzan langsung mengerutkan kening. "Mau ke mana lo? Tumbenan amat mau pergi."

Menoleh ke arah Fauzan, Refi mengambil alat tulisnya dari laci beserta sebuah buku tulis. "Perpustakaan. Jeje minta ajarin buat olimpiade."

"Jeje?"

"Temen pacar lo."

"Jenisa maksud lo?"

Refi hanya berdeham sebelum akhirnya berlalu pergi. Fauzan menyunggingkan senyum tipis, tak menyangka secepat ini rencananya dan Ranita berjalan. Dia kira membutuhkan waktu lebih dari setahun hanya untuk mendekatkan Refi dengan Jenisa, tetapi nyatanya tidak.

Tiba di perpustakaan, Refi mengucap permisi pada guru penjaga perpustakaan, setelah itu menghampiri Jenisa yang sudah duduk sambil membaca buku di bangku ujung.

Laki-laki tinggi itu duduk di dekat Jenisa membuat gadis imut itu langsung menoleh. "Kak Refi udah dateng? Ini, Kak, gue dikasih soal-soal sama guru, katanya ini prediksi soal yang bakal keluar, tapi kebanyakan soal kelas dua belas, gue belum belajar materinya sama sekali. Nih, gue udah ambil buku paket kelas dua belas sampai banyak gini, tapi nggak tau mau mulai dari mana," Jenisa menjelaskan sambil memanyunkan bibir. Gadis berambut pendek itu menyodorkan lembar kertas pada Refi, membuat kakak kelasnya itu membaca dengan cermat.

Melihat rentetan soal di depannya, Refi tersenyum tipis. Ini soal yang sangat mudah, dia sudah menghafalnya di luar kepala. Dia langsung menyodorkan soal-soal ke arah Jenisa. "Soal nomor sepuluh sampai lima belas bisa lo lihat di buku paket yang cover-nya warna biru."

Melihat tangan Refi yang menunjuk ke arah tumpukan buku paketnya, Jenisa langsung mengambil buku paket berwarna biru yang berada di paling bawah.  "Ini, Kak?"

"Iya, buka halaman tujuh puluh. Pelajari dari situ materinya, gue mau cari buku dulu buat bacaan." Refi bangkit, meninggalkan Jenisa yang masih terpaku.

Gadis itu memperhatikan punggung Refi yang berjalan menuju tumpukan rak buku Sains. Setelahnya, dia kembali menatap buku berwarna biru di depannya, membuka halaman yang Refi sebutkan. Setelah dicocokkan, ternyata benar ini materinya. Jangan bilang kalau Refi sudah hafal semua isi buku paket ini? Astaga! Jenisa langsung memegang kepalanya frustasi.

Baru melihat teori evolusi ini Jenisa sudah pening. Bagaimana mungkin Refi bisa menghafalnya? Jangan-jangan dia memang Google berjalan.

"Lo bisa belajar dengan cara rangkum intinya. Nggak perlu hafalin satu buku, gue nggak secerdas itu. Tulis apa pun inti yang lo cari. Gue juga hafalin halaman per bab karena sering gue baca di buku catatan." Refi menyodorkan buku yang tadi dibawanya.

Walau ragu, Jenisa menarik buku itu, membukanya lembar demi lembar. Tulisan Refi terlihat sangat rapi, mirip ketikan komputer. Di sana Refi menulis rangkuman materi lengkap dengan halamannya. Benar juga! Mengapa Jenisa tidak melakukan hal yang sama? Atau ... karena malas menulis, dia bisa meminjam buku Refi, tapi ....

"Pinjem aja kalau mau." Laki-laki itu duduk di dekat Jenisa, mulai membaca buku yang entah apa isinya.

Tak berani lagi berpikir macam-macam, Jenisa hanya meneguk ludah. Sejak tadi Refi selalu menjawab apa pun yang ada di pikirannya. Jangan bilang kalau Refi bisa membaca pikirannya! Ini tidak lucu, Jenisa tidak bisa mengumpat Refi diam-diam kalau begini. Astaga, pikirannya mulai bereaksi lagi! Gadis itu langsung menunduk, memilih untuk fokus pada bacaannya.

***

"Akhirnya selesai!" Jenisa meregangkan otot-ototnya. Gadis itu menoleh ke arah Refi yang ikut menutup buku di depannya.

"Kok, ditutup?"

"Udah selesai baca."

Gadis itu hanya mengangguk lalu mengecek jam di ponselnya. Dia masih memiliki waktu sampai istirahat kedua untuk belajar di perpustakaan. Dia sudah memiliki izin karena olimpiade akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini. Namun, satu soal sudah dia kerjakan, untuk mengerjakan yang lain rasanya tidak sanggup lagi.

Gadis itu langsung berbinar saat sebuah ide melintas di otaknya. "Kak, gue pengen baca buku Harry Potter. Di sini ada nggak?"

Refi yang tadinya sudah beranjak hendak mengembalikan buku langsung duduk kembali, sedikit berpikir, mengingat-ingat di mana letak buku yang Jenisa tanyakan. Dia merasa pernah membacanya. "Coba lo cari di rak kode 805. Kayaknya di sana ada."

Setelahnya, Refi berlalu pergi, disusul Jenisa yang berjalan menuju rak lain. Rak buku dan tempat baca memang berbeda ruangan, mengingat perpustakaan sering digunakan untuk menghukum siswa-siswi pelanggar aturan, sementara orang membaca membutuhkan ketenangan.

Tentu saja Refi sedikit mengernyit saat mendapati ada beberapa laki-laki yang menyapu perpustakaan. Sebenarnya ini bukan pemandangan asing, tetapi melihat bahwa itu teman-teman kembarannya, bisa dipastikan juga ada Rafi di antara mereka.

Berusaha mengabaikan, Refi menuju salah satu rak buku untuk mengembalikan buku yang tadi dibacanya. Laki-laki itu melihat Rafi yang tengah menyapu lantai dengan tidak semangat.

Saudara kembarnya belum menyadari keberadaannya, Refi masih berjalan tenang menuju rak yang letaknya sangat dekat dengan Rafi. Baru saja meletakkan buku di rak, berusaha tanpa suara agar Rafi tidak memekik, saudara kembarnya itu bergumam, "Bosen banget gue setiap hari dihukum terus."

Tak tahan untuk tidak menyahut, Refi membalas ucapan Rafi, "Berubah lebih baik, biar gak dihukum."

Rafi menoleh ke arahnya sambil menatap curiga. "Kok, lu di sini?"

"Kelas gue jam kosong, jadi gue ke perpustakaan buat baca teori sains dari kajian Albert Einstein." Refi menunjuk sebuah buku yang tadi dibacanya.

"Gak usah heran, orang pinter bacaannya beda," Bian yang entah sejak kapan sudah berada di dekat Rafi langsung menyeletuk sambil menatap Refi sesekali. Laki-laki yang tingginya hanya sampai telinga Rafi itu berusaha bersikap abai, memilih membersihkan debu di rak-rak buku.

"Kak, gue nemuin bukunya." Jenisa tiba-tiba muncul sambil memperlihatkan tumpukan buku seri kisah Harry Potter.

"Ya udah, ayo, baca!" Refi memasukkan tangan kanannya ke dalam saku celana, sementara tangan kirinya merangkul pundak gadis berambut dora itu.

"Ref, dia sia—"

"Gue gak buka sesi tanya jawab," sahut Refi memotong ucapan Rafi. Biarkan saja Rafi jengkel. Mengumpat pun Refi tak peduli. Yang terpenting sekarang, dia memiliki orang yang bisa menggantikan posisi Liya di hatinya. Jika terjadi apa-apa nanti, dia tak akan repot. Toh, ada Jenisa yang akan mendampingi, tidak ada alasan lagi untuk Liya melakukan ini-itu.

Foreign Accent Syndrome [COMPLETED ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang