10. Winner!

60 7 0
                                    

"Ma, Pa, minta doanya supaya Refi menang, biar bisa lomba ke Singapura."

Tama langsung menoleh, sementara Refa menutup mulut dengan telapak tangannya. Ekspresi yang cukup berlebihan memang, tetapi orang tua mana yang tidak senang jika anaknya berhasil mencapai keberhasilan hingga sejauh ini?

"Pasti, Nak, doa Mama sama Papa selalu untuk kamu," Refa menyahut, sementara Refi hanya mengulas senyum tipis tanpa memedulikan saudara kembarnya yang masih syok karena bermimpi dikejar kuyang katanya.

Mengikuti langkah Refi, Rafi menyeletuk, "Lo ke pusat, kok, nggak ngajak gue, Ref? Ikut, dong, masa lo jalan-jalan sendirian aja."

Mendengar hal itu, Refi memutar bola mata malas. "Gue ke pusat mau olimpiade, bukan travelling." Setelahnya, Refi menggendong tas dan berjalan mendahului Rafi. Masa bodoh tentang laki-laki itu akan menggerutu sepanjang perjalanan.

Jika kelebihan Rafi di bagian mulutnya yang tidak bisa diam, maka kelebihan Refi di bagian hati nalurinya yang tega mengabaikan segala celotehan. Impas, bukan?

Beberapa menit berkendara dalam mobil yang sangat ribut, Refi akhirnya bisa bernapas lega. Terbebas dari kakak kembar dan adiknya yang cerewet, kembali ke kelas yang berisi makhluk kutub utara, pergi ke pusat untuk pengumuman pemenang. Tidak akan ada yang mengganggu ketenangannya lagi setelah ini.

Dalam hati Refi berharap bisa menang. Selain menambah pengalaman, setidaknya sekitar beberapa hari tidak akan bertemu dengan dia manusia berisik ini. Menjengkelkan sekali harus berada bersama dua orang yang tidak bisa diam sepanjang masa. Entah kapan suara mereka habis.

***

Hal paling menyebalkan dalam hidup adalah saat di mana sesuatu yang kita harapkan tidak berjalan sesuai rencana. Seperti halnya Refi. Sudah berharap bisa pergi, terbebas dari keriuhan tak bermanfaat dua saudaranya, kini harus bersama Jenisa. Gadis cerewet dari kelas XI IPA.

Astaga, payah sekali nasibnya. Sejak tadi, Jenisa tidak henti-henti berbicara. Entah menanyakan hal-hal tidak berguna, menanyakan sesuatu yang tidak Refi ketahui jawabannya, dan kali ini dia bersenandung ria tanpa dosa. Tidak memikirkan laki-laki di sampingnya yang sudah tidak tahan untuk tidak menutup telinga.

Memang benar suara Jenisa tidak terlalu jelek. Ada bagusnya sedikit, walaupun sedikit sumbang juga. Pekak telinga Refi mendengarnya.

Terlebih, lirik lagu yang sudah diubah sesuka hati, menyanyikan seolah tidak terjadi apa-apa dengan ritme asli. Astaga, malangnya kehidupan Refi hari ini.

Ini salah satu alasan dia hanya berteman dengan Fauzan. Selain kepribadian yang sama-sama tidak banyak bicara, Fauzan lebih bisa mengerti bagaimana mengekspresikan rasa bosan. Bukan dengan bernyanyi tidak jelas seperti Jenisa ini.

"Lo bisa diam nggak? Gue keganggu sama suara lo," merasa tak kuat lagi, Refi akhirnya meluncurkan protes.

Jenisa menoleh sebentar. "Ya udah, nggak usah didengerin."

Refi mengerang frutasi. Jika bisa, untuk apa dia protes hal tak berguna ini? Jika telinganya bisa dibongkar pasang, dia akan melepasnya sejak tadi, bahkan sebelum Jenisa mulai bernyanyi.

Sudahlah. Tidak ada gunanya juga dia protes. Dia hanya bisa menghela napas, berharap laju mobil ini bisa sedikit lebih cepat. Enggan berada terlalu lama di dalam mobil yang mampu membuat emosinya memuncak kapan saja.

Cukup lama menahan diri, akhirnya Refi tiba di lokasi. Buru-buru dia keluar dari mobil, meninggalkan Jenisa yang mengerucutkan bibir sebal melihat sikap Refi. Benar-benar kentara sekali jika Refi terganggu, sampai-sampai meninggalkannya begitu saja.

Sebenarnya tadi dia tidak benar-benar membantah keinginan Refi. Jenisa berniat sedikir bercanda, sayangnya dia salah orang. Lupa bahwa yang dia ajak bercanda memiliki selera candaan tinggi, selalu serius, tidak segan menegur sesuatu yang mengganggu.

Argh! Hangus sudah satu kesempatan emas Jenisa bisa berada lebih akrab dengan Refi. Padahal dia ingin sekali merasakan keakraban dengan kakak kelas yang katanya dingin itu. Dia ingin membuktikannya sendiri bahwa Refi tidak sedingin yang dibicarakan. Entah teori dari mana dia dapatkan, pastinya dia percaya bahwa Refi tidak sedingin itu sebenarnya.

Hanya saja ... sudahlah!

Di dalam, aula yang cukup besar itu terasa sangat sejuk, tetapi membosankan. Refi dan Jeje duduk di paling belakang, tepat di dekat jendela yang mengarah langsung menatap jalanan.

Angin sepoi-sepoi menerpa wajah Refi, menerbangkan beberapa helai rambut laki-laki tampan itu. Tatapannya tetap mengarah ke depan dengan dahu yang ditopang oleh tangan.

"Juara pertama, Teuku Refian Aldebaran dari SMA Rajawali!"

Mengembuskan napas, Refi mengucap permisi, memberi kode untuk Jenisa sedikit menyingkir. Beberapa peserta perempuan tak lepas menatapnya, walau yang ditatap seperti berjalan di antara barisan botol kosong.

Berdiri di atas panggung, masih wajah datar yang dia tampilkan. Tatapan terpesona dia abaikan, fokus menerima piala kebanggaan yang tingginya setengah badan Refi sendiri.

Di tempatnya, Jenisa tersenyum simpul. Sudah dia duga Refi menjadi juara, tidak perlu diragukan lagi. Kemampuannya dalam mengerjakan soal dia tahu sendiri, tidak perlu diragukan. Maka dari itu dia tidak heran jika guru mengirim Refi sebagai perwakilan, walaupun notabenya dia kelas XII, harus fokus pada ujian di depan mata.

"Terima kasih saya ucapkan pada semua yang sudah mendukung saya, terutama mama sama papa. Terima kasih juga untuk juri dan guru, juga penyelenggara olimpiade."

Tidak panjang, tidak pendek juga. Kalimat paling panjang yang pernah Jenisa dengar dari Refi. Walau raut mukanya datar, tak bisa dipungkiri bahwa ketampannya tak berkurang. Terutama, saat kamera mengarah ke arahnya. Senyuman manis terukir, menambah kesan menawan pada diri laki-laki itu.[]

Okeh, sebenernya aku masih dalam masa cuti napas. Uhuk!

Iya, masih sibuk. Bye!

Foreign Accent Syndrome [COMPLETED ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang