4. Pasal Bekal

151 18 9
                                    

Refi duduk di kursinya yang berada di barisan paling depan, tepat di depan papan. Di sampingnya ada Fauzan yang tengah membaca buku Kimia tanpa menyapa atau menoleh ke arahnya sedikit pun.

"Hari ini ulangan harian Kimia. Lo udah belajar?" pertanyaan itu dilontarkan Fauzan saat dia baru saja selesai membaca satu materi pelajaran.

Refi yang baru saja selesai membersihkan sampah-sampah kertas—surat dari penggemarnya—di laci menoleh. "Udah tadi malam," sahutnya tak kalah datar.

Ya, Fauzan dan Refi memang dikenal sebagai dua laki-laki rupawan dengan sikap yang tak jauh berbeda. Keduanya sama-sama irit bicara dan ekspresi. Bahkan, tak jarang siswa-siswi lain mendapati keduanya sama-sama diam saat tengah bersama.

Refi telah berteman dengan Fauzan sejak pertama masuk SMA. Kepribadian Fauzan yang tak banyak bicara membuatnya merasa cocok. Namun, di balik itu pula mereka mampu menarik gadis-gadis tanpa tebar pesona.

Siapa memangnya yang tidak tertarik dengan paras rupawan? Refi dengan rambutnya yang selalu rapi, kulit putih bersih, gigi rapi disertai dua lesung pipi,—yang jarang terlihat—rahang tegas, rambut hitam legam, mata cokelat dipadu dengan style-nya yang kekinian, tetapi tetap mengikuti aturan. Dilengkapi dengan kemampuan otak di atas rata-rata membuatnya tampak lebih indah. Hanya saja, sikap dingin, ketus, dan tak bersahabatnya membuat gadis waras berpikir beratus-ratus kali untuk itu.

Begitu pula Fauzan. Walau prestasinya satu tingkat di bawah Refi, kepandaian laki-laki itu tak perlu dipertanyakan. Dalam bidang olahraga, dia lebih unggul dari Refi. Selain itu, bibirnya yang tipis berwarna merah muda dengan ukuran kecil menambah nilai plus walau tak memiliki pesona lesung pipi seperti Refi.

Keheningan terus melanda, hingga akhirnya guru memasuki kelas, memberi soal ulangan harian yang bagi Refi dan Fauzan hanya permainan.

Tak membutuhkan lebih dari satu jam pelajaran Refi, telah menyelesaikannya lebih dahulu. Laki-laki itu maju ke depan dan mengumpulkan lembar jawaban.

Sang guru menerima dengan suka rela disertai senyum yang terbit di bibirnya. "Seperti biasa, good job! Kamu bisa tunggu ulangan selesai di luar. Jangan ke mana-mana, ya," tutur guru itu ramah. Guru mana pun, walau paling galak akan bersikap ramah kepada Refi. Mengapa demikian? Hukum alam. Siapa yang pandai, niscaya guru tak akan abai.

Refi duduk di tempat yang sudah disediakan sekolah. Menyatu dengan tembok yang dilapisi keramik berwarna mint—senada dengan tembok. Jika siswa lain berada di posisinya, mereka akan memilih untuk push rank atau menjelajah sosial media. Berbeda dengan Refi. Saat lelah duduk, dia bangkit menuju pembatas koridor.

Ditatapnya siswa-siswi yang tengah olahraga di lapangan. Sejak dahulu, Refi menginginkan pandai di segala bidang, termasuk olahraga. Hanya saja, Yang Kuasa terlampau adil. Refi dianugerahi kepandaian di atas rata-rata, tetapi ketahanan tubuhnya tidak sekuat Rafi. Jika Rafi mampu push up hingga 100, maka Refi hanya 50. Sudah hukum alam setiap makhluk memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing.

Ah, menatap orang tengah olahraga membuat Refi seketika malas. Tidak, bukan mereka yang membuatnya demikian, tetapi salah seorang siswa yang tengah dihukum membuat Refi mengeraskan rahang.

Di depan tiang bendera, dia mendapati saudara kembarnya yang tengah hormat pada sang saka merah putih. Selalu saja begitu. Tiada hari tanpa berulah.

Refi masih memandanginya tanpa berkedip. Tak berselang lama, Rafi roboh dengan cara yang tidak elegan. Refi tidak terkejut, ini bukan kali pertama Rafi melakukan hal seperti ini. Bahkan, satpam penjaga yang tadinya panik langsung santai saat berbincang dengan Bu Istu, entah apa yang mereka bicarakan.

Raut wajah Refi masih datar saat Rafi terlihat kepanasan di bawah sana. Menyebalkan sekali. Apakah dia harus melempar Rafi keluar dari mobil saat tiba di jembatan nanti? Ah, saudaranya itu benar-benar memalukan.

Bel istirahat berdering keras, tetapi Rafi tak kunjung bangun sehingga Bu Istu menghampiri dan berdebat dengannya di bawah sana. Refi masih menatap drama itu hingga akhirnya sebuah tepukan di pundak membuat dia menoleh.

Di belakangnya, dia mendapati Fauzan menatap datar. "Gak ke kantin?" tanya Fauzan tanpa mengubah nada bicaranya.

"Gue bawa bekal." Fauzan mengangguk sekali lalu menurunkan tangannya dari bahu Refi.

"Gue ke kantin dulu. Kalau Ranita ke sini bilang aja gue masih di kantin." Fauzan berlalu pergi meninggalkan Refi yang kini kembali menatap ke bawah, mendapati Rafi yang berdebat dengan Bu Istu sambil memegang mikrofon.

Mengembuskan napas, akhirnya laki-laki itu pergi memasuki kelas untuk memakan bekalnya sekaligus menunggu kedatangan Fauzan atau Ranita, pacar Fauzan.

Terkadang, tak jarang siswa-siswi bingung dengan hubungan Fauzan dan Ranita. Interaksi mereka seolah-olah hanya sebatas kakak dan adik kelas. Ranita yang hiperaktif itu tak pernah mengeluh tentang Fauzan yang dingin. Bahkan, jika mereka bersama sekalipun Fauzan hanya berbicara seperlunya. Alih-alih menjawab segala ocehan Ranita, laki-laki itu lebih memilih diam dan mendengarkan.

"Ref, Fauzan mana?" Tidak, itu bukan suara Ranita. Refi mendongak dan mendapati gadis bertubuh semampai tengah berdiri di ambang pintu. Tanpa menjawab, Refi hanya menunjukkan keberadaan temannya menggunakan jari.

"Ke kantin katanya, Dek. Lo cari aja di kantin, paling dia lagi antre," samar-samar Refi mendengar ucapan gadis tadi. Mungkin Ranita datang dan bertanya padanya.

Bukan hal baru lagi jika kekasih Fauzan mendatanginya di kelas. Selama berpacaran dengan Ranita sejak gadis itu masih masa orientasi, Fauzan sangat jarang datang ke kelas. Untuk pulang bersama saja Fauzan lebih memilih menunggu di parkiran.

Bukan sang gadis yang terlalu over, tetapi memang kesepakatan keduanya. Refi tahu sendiri saat mereka pertama menjalin kasih. Fauzan dan gadis itu membuat kesepakatan tentang siapa saja boleh dan tidak harus datang ke kelas.

Refi kembali menikmati bekalnya sambil sesekali mengecek notifikasi yang masuk ke ponselnya. Namun, tak satu pun dia balas. Melihat deretan nomor tak dikenal yang mengiriminya pesan sama membuat dia pusing. Siapa yang berani menyebar nomornya? Menyebalkan sekali.

Refi yang baru saja selesai makan langsung bangkit. Melirik jam tangan sejenak, laki-laki itu mendengkus. Ternyata jam masuk masih cukup lama. Dia memutuskan untuk pergi ke perpustakaan menghabiskan waktu mencari hal-hal atau materi baru mengenai ilmu Biologi sebelum Bu Istu masuk ke kelasnya nanti.

Lima belas menit memang waktu yang singkat. Namun, mengingat letak perpustakaan yang berada di lantai atas—berbeda dua lantai dengan kelasnya—Refi mampu mempersingkat perjalanan. Hanya saja, tidak menutut kemungkinan jika dia akan tiba di kelas tepat waktu.

Namun, apa yang mampu menggentarkan Refi? Bukankah siswa rajin nan pandai akan mendapat dispensasi? Ya, itu hukum alam. Hampir semua siswa-siswi pandai mendapat dispensasi saat melakukan kesalahan.

Hanya saja, bukan berarti Refi ingin melakukan kesalahan. Dia tentu saja akan menghindarinya sebisa mungkin. Karena, dia bukanlah tipe orang yang suka memanfaatkan keadaan. Maka dari itu, setiap keadaan selalu berpihak padanya.

Berbeda dengan Rafi, saudara kembarnya. Entah bagaimana ceritanya laki-laki itu hampir setiap waktu mendapat hukuman. Jika bukan di sekolah, di rumah. Selama duduk di bangku sekolah, Refi hanya satu kali dihukum. Itupun karena kejailan Rafi yang membuatnya ikut terseret arus. Ah, rasanya keberuntungan selalu berpihak saat dia tak bersama Rafi.

Foreign Accent Syndrome [COMPLETED ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang