Keberangkatan Refi ke Singapura bisa dibilang sangat cepat. Tiga hari lagi! Bukan tanpa alasan, tetapi dia harus mengikuti pelatihan bersama anggota olimpiade lain di sana. Selain pelatihan, akan ada pengarahan tentang bagaimana mereka nanti, apa yang harus dilakukan. Dengan begini orang dari luar tidak akan terlihat sangat asing.
Biaya penerbangan diurus oleh pemerintah, Refi cukup menerima tiket dan menyediakan uang saku. Tiket pesawat sudah ada di tangannya, tiga hari lagi dia harus berangkat bersama salah seorang guru pendamping.
"Nanti kamu kalau udah sampai Singapura harus telepon mama, ya, Ref." Refa mengingatkan anaknya yang tengah menata beberapa pasang baju.
Sebenarnya Refi tidak perlu membawa baju terlalu banyak. Dia hanya satu minggu di Singapura, tetapi dia harus membawa seluruh seragam sekolahnya. Menyebalkan. Terlebih, SMA Rajawali memiliki dua seragam khas, di mana harus dikenakan bergantian pada hari Rabu dan Kamis. Merepotkan sekali.
Laki-laki itu meletakkan kopernya di samping ranjang, mulai membereskan meja belajar yang baru saja dia pakai.
"Nanti Refi pasti hubungi Mama, kok." Laki-laki itu tersenyum tipis, sementara Refa langsung memeluknya erat. Ditinggalkan Refi serasa setahun. Bagaimana mungkin dia rela anak kesayangannya jauh dari rumah?
Baik, jangan tanyakan mengapa Refa tidak mengkhawatirkan Rafi. Dia juga khawatir, tetapi bukankah Rafi tidak perlu dikhawatirkan? Apa yang perlu dikhawatirkan dari laki-laki sableng itu? Dia tidak pergi ke luar negeri atau luar kota. Dia tetap diam di rumah, berguling di atas kasurnya tanpa bosan. Berbeda dengan Refi yang sepertinya akan mati bosan tanpa melakukan apa-apa barang semenit pun.
Refa bangkit dari posisinya, menepuk pelan pundak sang anak. "Mama ke dapur dulu, ya, Refi."
Laki-laki itu hanya mengangguk lalu duduk di tepi ranjang selepas kepergian ibunya. Entah mengapa dia merasa ada sedikit rasa khawatir dalam hatinya. Sejak tadi dia berpikir keras, menyambungkan setiap kemungkinan yang ada. Sesekali berharap semoga tidak terjadi apa-apa di perjalanan.
Lama berdiam diri memikirkan rasa khawatir dalam hati, seketika matanya terbelalak. Tunggu! Dia baru ingat. Singapura? Bukankah ....
***
Laki-laki dengan setelan kaus putih yang dibalut jaket bomber hijau army itu menarik kopernya di bandara Downtown. Di sampingnya, seorang wanita paruh baya berjalan berdampingan."Kita tunggu taksi di sini aja, Refi." Wanita itu berhenti saat tiba di tempat pemberhentian taksi, sementara Refi masih bergeming setelah menelepon sang ibu, memberi kabar bahwa dia sudah tiba di bandara Singapura.
Tak berselang lama, sebuah mobil putih datang. Keduanya masuk dan meletakkan koper di bagasi. Taksi ini sudah disewa secara khusus oleh pihak penyelenggara untuk mengantarkan para peserta lomba ke hotel tempat menginap.
Tentang bagaimana sang supir bisa tahu, mereka diberi nomor ponsel guru pembimbing untuk mengkonfirmasi lokasi akurat keberadaan mereka. Karena belum fasih menggunakan bahasa sekitar, mereka berbicara menggunakan bahasa inggris.
Tepat setelah menyandarkan tubuhnya, Refi menghela napas. Rasanya dia perlu meregangkan otot. Beberapa lama berada di dalam pesawat membuat otot-ototnya kaku, terutama otot wajah yang memang sangat kaku sejak lama.
Tak perlu hitungan jam, taksi berhenti di depan salah satu hotel Downtown. Refi sejenak mendongak, menatap bangunan tinggi elegan yang didominasi warna merah di bagian luar.
Setelah mengucapkan terima kasih, Refi dan Bu Istu selaku guru pembimbing masuk ke dalam hotel. Bagian dalam jauh berbeda dari luar, di mana bagian dalam dibangun dengan elemen alam kayu.
Setelah Bu Istu berbincang sebentar dengan resepsionis, mereka melangkah menuju kamar masing-masing. Hotel yang menyediakan berbagai level dan club ini cocok dengan selera Refi. Sangat tenang dan menyegarkan.
"Ini gimana, ya, Refi? Satu ruangan untuk satu sekolah. Jadi, ibu terpaksa satu ruangan sama kamu." Bu Istu melangkah masuk ke arah ruangan bernomor 102. Refi masih bergeming, menatap sekeliling ruangan yang terlihat minimalis.
Terdapat sebuah ruang pertemuan dengan kursi sofa tertata rapi. Di sebelah kanan, ada dua pintu yang tertutup rapat. Refi membuka satu per satu, melihat apakah terdapat dua kamar di dalam sini.
"Ada dua kamar. Ibu mau ambil kamar yang mana?"
Bu Istu menoleh setelah mendengar ucapan Refi. Dia langsung melangkah menuju sebuah ruangan di dekat Refi berdiri. "Ibu di sini aja. Kamu istirahat sana! Besok harus mulai kegiatan, 'kan? Jangan terlalu kelelahan."
"Iya, Bu. Refi masuk duluan." Refi memasuki kamar dengan kasur berwarna putih itu. Dindingnya masih konsisten, menggunakan elemen kayu. Terdapat jendela dengan tirai putih yang tertutup rapat. Saat Refi menyibak tirai, pemandangan kota dari atas terlihat jelas. Senyumnya tersungging tipis lalu duduk di ranjang tanpa menutup kembali tirai jendela yang baru saja dia buka.
Laki-laki itu menoleh ke kanan dan kiri membuat helaan napas terdengar. Rasanya dia akan membereskan barang-barangnya besok saja. Karena harus bersekolah dan latihan soal terlebih dahulu, dia terpaksa memilih jam penerbangan pukul 6 sore, sementara sekolah bubar pukul 4.
Merebahkan tubuh di atas kasur, Refi menatap langit-langit ruangan yang berwarna cokelat. Tampaknya seluruh sisi bagian dalam bangunan ini memang tentang kayu.
Matanya perlahan terpejam, menikmati sapuan dingin dari AC yang menyala.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Foreign Accent Syndrome [COMPLETED ✔]
Novela JuvenilBerawal dari sebuah kecelakaan yang membuat seorang Teuku Refian Aldebaran ini mengalami benturan keras di kepalanya. Akibat benturan itu, remaja kelas 3 SMA ini harus mengalami Foreign Accent Syndrome. Syndrome di mana dia akan berbicara menggunaka...