F o u r t y

6.8K 700 39
                                    

Taman belakang sekolah yang sepi kini menjadi sasaran bagi Adel. Suasana yang sunyi dan semilir angin yang menerpa wajahnya membantu menenangkan pikirannya. Ia melihat pergelangan tangan kanannya yang terdapat gelang cantik pemberian Laskar setelah beberapa tempo hari yang lalu Laskar berucap manis, kini ia dihancurkan dengan harapannya sendiri.

"Ganteng doang, abis itu ngilang."

Ketika sibuk dengan lamunannya, sesuatu yang dingin tiba-tiba terasa di pipi kirinya. Ia pun menolehkan kepalanya menatap sang pelaku.

"Azhar?"

Sudah cukup lama Adel tidak berbincang dengan Azhar. Entah kenapa akhir-akhir ini temannya itu cukup sibuk dengan hal lain yang Adel sendiri tidak mengerti.

"Lama ya jarang ngobrol," ujar Azhar sembari memberikan sebuah es krim kepada Adel.

"Makasih," ujarnya setelah menerima pemberian Azhar.

"Gimana hubungan lo sama Laskar?" tanya Azhar.

Adel terdiam sejenak sebelum menjawab. "Emang ada apaan aku sama Kak Laskar?"

Azhar terkekeh pelan. "Nggak usah pura-pura nggak tau gitu lah. Semua orang udah tau kali kalo lo deket sama Laskar," ujar Azhar.

"Sempet deket, tapi sekarang mungkin lagi enggak."

"Kenapa?"

"Gimana ya ... di saat aku mengharapkan idzhar di antara hubungan kami, tapi aku justru mendapatkan ikhfa di tengah jalan."

Azhar tersenyum kecil lalu menggigit es krimnya. "Harusnya lo bilang di depan dia," ujar Azhar.

"Bentar lagi bel, aku duluan ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Setelah berucap demikian, Adel pun bangkit dan berjalan meninggalkan Azhar. Azhar menatap kepergian Adel dengan tatapan yang tidak dapat diartikan.

"Harusnya lo sukanya sama gue," gumam Azhar.

Dengan kesal ia membuang sampah es krimnya ke tanah dan menendang pohon di dekatnya dengan kencang.

"Awh ..." ringisnya ketika merasakan bagian kakinya terasa sakit setelah menendang pohon tersebut.

"SAMPAHNYA AMBIL!"

Azhar sontak mengalihkan pandangannya pada sumber suara dimana seorang guru paruh baya tengah menatap tajam ke arahnya sambil membawa rotan panjang.

"Maaf, Bu."

***

Begitu bel pulang sekolah berbunyi, Laskar pun langsung berlari keluar kelas tanpa menunggu ketiga temannya. Dengan kecepatan kencang ia berlari menuju kelas sebelas IPS tiga dimana Adel belajar. Begitu sampai di sana, ia melihat Adel dan Kirana baru saja keluar dan berjalan beriringan menuju parkiran.

"Adel!" seru Laskar sambil berlari mendekati Adel.

Gadis itu menolehkan kepalanya menatap sang pemilik suara. "Ayo, Kir."

Adel memilih untuk mengabaikan Laskar dan kembali melanjutkan perjalanannya tanpa mengindahkan panggilan dari Laskar.

"Tunggu, Del!"

Tahan Laskar setelah berhasil menghadang jalan keduanya.

"Gue mau jelasin sesuatu," ujar Laskar dengan napas tersengal-sengal.

Tentu saja Adel akan sangat menghargai seseorang yang mau menjelaskan sesuatu. Namun dengan berat hati ia menghentikan langkahnya. "Jelasin apa?" tanya Adel, pelan.

"Lo liat, 'kan?"

"Liat apa?"

"Liat gue sama Thalia. Itu salah paham," ujar Laskar.

Adel menganggukkan kepalanya sebagai tanggapan. "Iya, tau. Aku yang salah," ujar Adel.

Laskar sontak menggelengkan kepalanya cepat. "Bukan gitu maksud gue. Yang lo liat bukan seperti apa yang lo bayangin di otak imut lo," ujar Laskar.

"Emangnya aku bayangin apa?" tanya Adel.

Kirana yang sedari tadi hanya diam menyimak pun langsung tersenyum kecil melihat perdebatan kecil di antara dua orang di hadapannya.

"Gue sama Thal—"

"Kak." Belum sempat Laskar menyelesaikan ucapannya, Thalia sudah lebih dulu memotong sambil menarik tas Laskar.

Adel yang melihat keberadaan Thalia pun langsung berinisiatif untuk meninggalkan keduanya.

"Ayo, Kir. Bentar lagi ashar," ujar Adel sambil menggandeng tangan Kirana.

Begitu sampai di parkiran, Kirana menepuk bahu Adel. "Kamu sabar aja sama Thalia. Dia emang lagi butuh dukungan orang lain."

"Iya. Ayo, pulang."

Laskar menatap kepergian Adel dan Kirana yang baru saja pulang menggunakan sepeda mereka. Laskar menghela napasnya pelan, perasaannya tengah gundah gulana. Pikirannya terganggu ditambah keadaan fisik yang melemah.

"Sial," gerutunya lirih.

"Kak Laskar ayo pulang," ajak Thalia.

Laskar pun melempar helmnya kepada Thalia. "Buruan naik!"

Thalia pun langsung menaiki motor metik Laskar. Ketika hendak menjalankan motornya, Thalia membuka suara hendak menanyakan sesuatu.

"Kak, kenapa moge-nya nggak pernah dipake lagi?" tanya Thalia.

"Moge gue rada pilih-pilih orang."

"Besok jemput aku pake moge ya," pintanya sambil menarik tangan Laskar tetapi langsung ditepis oleh Laskar.

"Banyak maunya lo, naik grab aja sono."

Setelah berucap demikian, Laskar pun langsung menjalankan motornya meninggalkan area sekolah dengan kecepatan tinggi.

"Aku kenapa sayang banget sama Kak Laskar, ya?!" seru Thalia di tengah-tengah perjalanan.

Laskar yang mendengarnya pun hanya diam enggan menjawab.

***

LASKARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang