F r f i v e

6.6K 730 17
                                    

"Kalo semisal gue pergi jauh, lo bakal nunggu sampe gue balik nggak?"

Adel terdiam sejenak sebelum akhirnya kembali bertanya. "Kak Laskar mau kemana?" tanya Adel.

"Mau menuntut ilmu," jawab Laskar sekenanya.

"Kenapa harus pergi jauh?" tanya Adel. Rasanya seperti ada yang mengganjal di hatinya setelah mendengar bahwa Laskar akan pergi jauh. Ada rasa tidak rela apabila sosok yang mengisi hatinya itu akan pergi, walau dengan niat baik yaitu mencari ilmu.

"Mau menyusun rencana buat masa depan, haha. Mau buktiin ke orang-orang kalo anak bandel yang suka masuk rumah sakit bakal jadi penolong orang di rumah sakit," ujar Laskar dengan diakhiri kekehan kecil.

Sungguh, meyakinkan diri sendiri bahwa ia akan pergi jauh sedikit sulit.

"Kakak, mau jadi ... dokter?" tanya Adel sedikit memberi jeda saat ingin menyebutkan cita-cita Laskar.

Laskar menganggukkan kepalanya sebagai tanggapan. "Lumayan gajinya gede buat modal bikin istana buat lo," ujar Laskar.

"Kenapa harus pergi jauh? Disini banyak universitas bagus buat jadi dokter," ujar Adel sambil menundukkan kepalanya.

"Kemauan calon mertua lo tuh, ngeribetin."

"Kalo itu keputusan orang tuanya Kak Laskar mending nurut apa kata orang tua aja. Insyaallah kalo nurut orang tua, segala urusan Kak Laskar bakal diperlancar," ujar Adel.

Laskar tersenyum dan mengangguk paham. "Jadi ... mau nunggu gua balik nggak?"

"Tapi kenapa harus aku?" tanya Adel, lirih.

"Karena yang gue mau itu lo."

"Apa jaminannya kalo Kak Laskar bakal balik lagi ke aku? Kita bahkan nggak ada hubungan apa-apaan," ujar Adel sambil melihat gelang pemberian Laskar di tangan kirinya.

Laskar tersenyum kecil kemudian merogoh saku jasnya hendak mengambil sesuatu di dalamnya. Ia mengeluarkan kotak kecil berwarna biru gelap lalu membukanya.

"Belum waktunya kita terikat, melainkan Tuhan tengah memberi waktu untuk sama-sama memperbaiki diri."

Adel mendongakkan kepalanya menatap kotak kecil yang dipegang Laskar. Ia sedikit terkejut ketika Laskar mengeluarkan sebuah cincin.

"Biarin gue menyusun masa depan. Setelah mapan, Insyaallah gue balik lagi tanpa tangan kosong."

Adel yang sudah tak mampu menahan air matanya kemudian tersenyum kecil dengan pipi yang sudah dibasahi dengan air mata. Ia menangkup wajahnya agar tidak melihat wajah Laskar. Adel dibuat semakin jatuh, jatuh cinta pada sosok laki-laki yang sudah mengisi hatinya di usia enam belas tahun.

"Butuh waktu berapa lama aku harus nunggu?" tanya Adel lirih.

"Lima tahun lagi lo kuat nggak?" tanya Laskar sambil terkekeh kecil.

Adel membuka matanya lalu menatap tajam ke arah Laskar. "Kalo aku nggak sanggup?"

Bukannya menjawab, Laskar justru mengeluarkan cincin yang ia bawa lalu memberikan kepada Adel.

"Pake, Del."

"Buat apa?" tanya Adel.

"Jaminan kalo gue bakal balik lagi," sahut Laskar dengan mantap, seolah-olah tidak ada keraguan dari ucapannya.

Adel mengenakan cincin yang Laskar berikan. Ia sedikit heran bagaimana Laskar bisa mengetahui ukuran jari manisnya, yang bahkan Laskar sendiri belum pernah menyentuhnya.

"Kalo lo nggak sanggup nunggu, lepas cincin itu."

"Ya Allah, kenapa aku begitu yakin kalo Kak Laskar bakal jaga perasaan buat aku?" gumam Adel sembari menatap cincin yang diberikan oleh Laskar.

Laskar yang samar-samar mendengar ucapan Adel hanya dapat tersenyum simpul. Hari ini adalah hari sulit yang cukup haru. Laskar menguatkan hati dan tekadnya untuk berjuang, bukan pasal soal cinta, tapi demi masa depan dan akhirat.

"Maaf, cuman bisa ngomong manis sekarang. Bukti manisnya nyusul," ujar Laskar seraya bangkit dari duduknya.

"Jangan lupa dateng ke wisudaan angkatan gua," imbuhnya dengan diakhiri kekehan ringan.

Adel menganggukkan kepalanya sebagai tanggapan. "Insyaallah," sahut Adel.

***

Ketahuilah, dalam menjalani kehidupan di dunia ini yang seyogianya dilaksanakan oleh seorang hamba yang berada di dalam kondisi sehat adalah memadukan antara rasa takut dan berharap kepada Allah SWT. Dimana rasa takut dan berharapnya itu harus seimbang.

Namun di lain sisi, bagaimana jika masuk ke dalam rasa takut dan berharap kepada janji manusia? Sungguh tidak ada yang lebih dipercaya janjinya kecuali Allah semata. Ada harapan kecil di dalam hatinya agar sosok pengisi hatinya benar-benar akan kembali kepadanya. Namun, ada rasa takut apabila harapannya tidak sesuai dengan jalan takdirnya.

Akila perhatikan, Adel sedari tadi terus melamun dan mencoret-coret buku tulisnya. Akila dan Kirana lantas saling adu pandang kemudian sama-sama mengangkat bahunya.

"Adel!" panggil Akila sambil menggoyangkan tangan Adel.

"Hah?"

"Kok ngelamun si?" tanya Kirana.

Adel menggelengkan kepalanya pelan. "Lagi banyak pikiran doang," sahut Adel sekenanya.

"Yaudah sini curhat," pinta Akila.

"Masalah kecil doang, kok."

"Bikin orang penasaran itu dosa loh," ujar Kirana sembari menunjuk wajah Adel menggunakan sedotannya.

"Kalo kalian diminta buat nunggu seseorang untuk waktu yang lama banget itu kalian bakal sanggup, nggak?" tanya Adel pada kedua temannya.

"Nunggunya berapa lama? Kalo seminggu dua minggu mah kuat," ujar Akila.

"Kalo kamu, Kir?" tanya Adel pada Kirana.

"Kalo aku berapapun lama nunggu, kalo emang udah ada kepastian Insyaallah sanggup-sanggup aja."

Adel terdiam sejenak mendengar jawaban dari kedua temannya. Satu sisi ia seperti Akila, di sisi lain ia sedikit percaya tentang janji Laskar.

"Kenapa emangnya? Kok nanya gitu?" tanya Kirana.

"Lo mau nungg—wah! Cincin baru, Del?" tanya Akila begitu menyadari sebuah cincin cantik yang terpasang di jari manis Adel.

Bukannya menjawab pertanyaan Akila, Adel justru menidurkan kepalanya dengan tangan sebagai bantalan. Akila dan Kirana lantas menatap bingung Adel.

LASKARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang