T w t h r e e

8.3K 970 42
                                    

Laskar menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia mengacak rambutnya yang sedikit berantakan lalu menginjak putung rokoknya yang sudah habis. Ia memejamkan matanya di atas meja kayu yang tersedia di taman belakang sekolah yang kini sangat sepi pengunjung.

Entah mengapa, hari-harinya terasa semakin berat. Padahal, ia baru saja berpikir akan memulai mewarnai kehidupannya kembali setelah sekian lama.

"Kak Laskar."

Laskar membuka matanya perlahan ketika mendengar suara yang tak asing lagi di telinganya memanggil namanya. Ia mengangkat kepalanya untuk melihat sosok gadis berjilbab putih polos tengah berdiri tak jauh dari tempatnya singgah.

"Kenapa?" tanya Laskar dengan raut wajah datar. Mengingat isu tentangnya yang tertera di mading sekolah membuatnya enggan bertemu dengan siapapun, bahkan Adel sekalipun.

"Aku mau—" belum sempat Adel menyelesaikan ucapannya, Laskar sudah lebih dulu menyela.

"Kalo lo mau bahas tentang mading, mending lo pergi," usirnya sambil kembali memejamkan matanya.

"Aku denger perdebatan kalian tadi," ujar Adel sambil menundukkan kepalanya menatap tanah berumput yang ia pijak itu.

Laskar sontak kembali membuka matanya kemudian bangkit dari tempat dan berjalan mendekati Adel. "L-lo denger apa?"

Adel terdiam sejenak. "Kak Laskar kayaknya nggak perlu bantu aku buat minjemin aku uang buat operasi bundaku."

"Lo jangan becanda! Ibu lo butuh uang itu!"

"Tapi gara-gara aku persahabatan kalian jadi hancur," sahut Adel tanpa membalas tatapan mata elang milik Laskar.

"Allah itu adil banget ya sama setiap makhluknya. Aku yang selalu dapet kasih sayang dari bundaku walau ekonomi kami nggak semakmur ekonomi Kak Laskar. Tapi di balik kemakmuran ekonomi keluarga Kakak, ada sosok anak yang sangat membutuhkan kasih sayang orang tua." Laskar sontak terdiam mendengar ucapan Adel yang saat ini tengah tersenyum manis sekali setelah mengucapkan kalimat panjang tadi.

"Aku hargai niat baik Kak Laskar yang masih mau bantu aku walau kita asing. Guru aku pernah bilang kalo kita seharusnya nggak perlu ragu sama takdir Allah. Kita nggak perlu takut besok akan makan apa dalam keadaan keuangan yang kekurangan. Itu membuat aku yakin bahwa aku nggak perlu takut bagaimana aku bakal dapet uang buat operasi bunda aku."

"Asal lo tau ...," ujar Laskar sambil menggantungkan kalimatnya.

"Gue seyakin itu buat tambah suka sama lo," sambungnya sembari menatap lekat ke arah Adel.

"Hari ini aku sekolah gara-gara pengen nonton Kak Laskar sama yang lain lomba. Jadi, tampil yang terbaik, ya!" tanpa sadar Laskar pun mengangguk pelan sebagai tanggapan. Adel pun mulai beranjak meninggalkan Laskar.

Laskar menatap punggung Adel yang semakin menjauh lalu tersenyum kecil. Ia pikir, hanya ada perasaan penasaran dan sekadar kagum dalam dirinya. Namun ternyata ia salah. Ia sebenarnya sudah mencintai gadis itu.

Laskar pun langsung berlari menuju basecampnya untuk berbincang kembali dengan kawan-kawannya. Ia sudah memikirkan untuk tidak egois kali ini.

Sesampainya di basecamp mereka, Laskar langsung masuk ke dalam yang kebetulan pintunya tidak tertutup. Ia melihat ketiga temannya tengah sibuk dengan ponselnya masing-masing kecuali Angga yang saat ini tengah sibuk dengan kertas-kertas yang entah apa isinya.

"Guys!" sontak ketiga temannya pun langsung menoleh ke arah Laskar.

"Ayo ke lapangan," ajaknya sambil mengambil gitarnya.

LASKARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang