f i f t e e n

9.7K 1K 19
                                    

Adel mengusap wajahnya gusar. Ia membaca kembali tagihan rumah sakit Amira yang berada di tangannya. Ia dibuat bingung dengan keadaannya yang seperti ini. Ia melirik jam pada dinding kamarnya, sudah masuk waktu untuk pergi bekerja di kafe. Adel memilih untuk tidak bersekolah beberapa hari untuk mencari pekerjaan sampingan untuk mendapatkan uang secepatnya agar operasi Amira cepat terlaksana. Nyawa sang bunda lebih penting, kata Adel.

Adel membuka lemari pakaiannya dan mengeluarkan seragam karyawan kafe miliknya. Saat hendak pergi ke kamar mandi untuk berganti baju, atensi Adel tertuju pada ponselnya yang dari kemarin tergeletak di atas meja belajarnya. Ia bahkan lupa memberikan kabar pada pihak sekolah dan teman-temannya.

Tangannya bergerak menghidupkan kembali ponselnya. Matanya seketika membola begitu melihat banyaknya pesan dari Kirana dan Azhar. Saat hendak membalas pesan dari Kirana, Adel kembali diingatkan untuk segera bergegas pergi ke kafe sebelum terlambat.

•••

Thalia menatap kosong ke sekelilingnya. Jalanan begitu sepi, para siswa-siswi yang lain sudah pulang sedari tadi. Thalia hanya berdiam diri sembari menunggu angkutan yang melintas untuk mengantarkannya pulang.

"Kirana bodoh ... Bodoh," lirihnya.

Ia merasakan hal yang berbeda ketika sahabatnya itu tidak ada di sampingnya. Ia biasanya akan pulang dengan gadis itu, namun kini ia harus pulang sendiri. Dan malangnya, hari ini Thalia tidak membawa motornya.

Ting!

Thalia menatap ponselnya yang baru saja berbunyi. Terdapat notifikasi yang sangat ia hindari.

Mama.
Semua keputusan ada di kamu.
Mau ikut mama atau ikut papa mu?

Hati Thalia serasa hancur. Bukan ini yang ia harapkan dari keputusan orang tuanya. Ia tidak pernah membayangkan bagaimana nasibnya menjadi seorang anak broken home. Ayahnya dulu sering menjanjikan padanya untuk selalu berusaha membangun serta menjaga kerajaan kecilnya. Namun sekarang, laki-laki itu justru mengingkarinya.

Tanpa disadari bulir-bulir air matanya mulai berjatuhan. Sontak ia melihat sekeliling kemudian menghapus jejak air matanya. Namun sayangnya, air mata itu tidak kunjung berhenti.

"Eh, ada bidadari lagi nangis." Thalia sontak mendongakkan kepalanya menatap sang pemilik suara yang kini sudah memasang  senyum manis.

"Ngapain si lo kesini?!" tanya Thalia dengan nada tidak santai. Dengan cepat ia menghapus jejak air matanya.

"Dih, lagi nangis aja sempet-sempetnya ngomel," ujar laki-laki itu.

"Jordan!" seru Thalia.

"Apa sayang?"

"Ngga usah ngadi-ngadi lo!"

"Nangis kenapa sih lo?" tanya Jordan.

Thalia memalingkan wajahnya ke arah lain. Enggan menatap wajah menyebalkan milik Jordan. "Peduli apa lo?"

"Takutnya lo nangis gara-gara ngga ada duit buat pulang gitu," sahut Jordan kelewat santai lalu dibalas tatapan tajam dari Thalia.

"Kalo ngga ada perlu mending lo pergi! Gue emosi tiap liat muka lo!" usir Thalia dengan ketus.

Jordan tergelak sejenak kemudian menganggukkan kepalanya sebagai tanggapan. "Gue tinggal nih? Ngga mau nebeng?"

LASKARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang