9 - Ketidaktahuan adalah kutukan dari Tuhan

2.3K 312 119
                                    

Hermione memandangi keluar jendela dengan tatapan kosong, sesekali ia menghela nafas dan menggerutu kecil sambil memangku sebuah buku tebal.

Draco yang sebenarnya sedang sibuk mengurusi beberapa berkas investasi keluarga yang menumpuk karena sudah lama tak ia sentuh, terpaksa beberapa kali melirik anak itu. Hingga akhirnya menyerah dan menghentakkan pulpen diatasi meja. Bukan tanpa alasan, tapi karena Hermione menghela nafas persis seperti banteng saking kerasnya. "Apalagi sekarang?"

Hermione buru-buru berbalik memandang Draco. "Bagaimana bisa Orphy tidak pulang, ini natal loh!" Ujarnya.

"Oh jadi itu masalahnya." Sembari menggumamkan hal itu dalam hati, Draco kembali memungut pulpen yang ada di atas meja.

Hermione mendecak, "cih.. bagaimana bisa kau secuek itu?"

"Ketika di Hogwarts, Aku belum pernah tidak pulang saat natal.. tapi Theo pernah, dan dia bilang sangat menyenangkan."

Hermione juga jelas tak tahu itu, karena satu-satunya kejadian dimana ia tak pulang saat natal adalah saat tahun ke - 7 dimana ia berburu Horcrux. Jangankan pulang, orang tuanya bahkan dipaksa melupakannya, yang Hingga saat inipun ingatan mereka belum pulih dan tidak bisa dikembalikan.

Beberapa kali 'sebelum mati' Hermione mengunjungi rumah mereka yang ada di Australia dengan mengaku sebagai kerabat jauh. Tapi yang pertama Mrs. Granger katakan adalah 'pantas kau terasa familiar."

Sungguh menyakitkan, tapi setidaknya mereka terlihat bahagia.

Professor Mcgonagall sebenarnya telah membantunya dengan berbagai cara, tapi mereka tidak berhasil. Hermione pada dasarnya telah bersiap menerima resiko itu sejak melafalkan mantra Obliviate.

Mungkin karena suasana natal dan ia tak bisa bertemu keluarganya, Hermione merasa lebih emosional dari biasanya. Hingga ia memanjat meja Draco dan duduk diatasnya tak peduli dengan dokumen penting yang harganya setara jutaan galleon.

"lihat aku." Hermione menangkup kedua pipi Draco dengan tangan kecilnya. "Papa kan penjahat, tidak bisa yah menculiknya diam-diam?"

Bayangkan saja wajah Draco yang seolah ingin berkata 'Dasar anak kurang akhlak' karena itulah yang persis sedang terlukis pada ekspresi nya.

"Hm? Tidak bisa yah?" Tanya Hermione lagi masih sambil memencet pipi Draco.

"Bwukannya twidak bwisa swih." Sahut Draco yang terdengar aneh karena pipinya yang ditekan kuat-kuat.

"Lalu?"

"Lwepaskan dwulu."

"Janji dulu!" Ujar Hermione sambil masih menggencet pipi yang rupanya lebih lembut dari yang ia kira.

Draco rupanya tidak mau kalah, jadi ia mencubit pipi Hermione. Refleks Hermione melepaskan pipi Draco yang memerah. "aduh sakit tahu!" Pekik Hermione.

Draco mengelus pipinya sebentar, pipi yang rasanya berdenyut-denyut. "Kau yang duluan."

Draco kemudian kembali menarik dokumennya. "Jadi bagaimana?" Hermione mengulang poinnya.

"Hmm."

"Hmm?" Tapi ketika menanyakan hal itu wajah Draco tersenyum kecil.

"Ya.. aku punya rencana cemerlang." Sahut Pria itu.

"Apa itu?" Hermione Bertanya dengan wajah penasaran. Wajar sih, karena seperti sebelumnya alasan ia sakit mungkin tak akan bisa digunakan, apalagi kalau hanya sebatas alasan untuk makan malam keluarga, namanya juga detensi. Kalau bisa bebas dengan alasan-alasan ringan seperti itu jelas bukan hukuman namanya.

Suddenly, I Became A MalfoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang