35|¦ CHANGE - ( revisi )

293 16 4
                                    

Jangan lupa untuk vote terlebih dahulu !!!

••••••✧ !!!

Pitaloka berjalan dengan gontai menuju dapur rumahnya. Ia benar-benar sedang tidak ada mood karena kejadian tadi dikampusnya bersama Stella. Jujur saja, ia sangat kesal dengan Stella. Bagaimana ia tidak kesal, ia sudah susah payah untuk mempertemukan Stella dengan orang yang sudah menyebarkan identitas aslinya, tapi Stella justru tidak berhasil untuk menyelesaikan masalahnya.

Sesampaimya didapur, ia segera mengambil sebuah gelas yang kemudian ia isi dengan air putih. Kemuian ia meminumnya dan setelahnya meletakkan kembali gelasnya diatas meja.

Ia pun berjalan menuju kamar kakak laki-lakinya. Rasanya ia ingin menceritakan semua kejadian yang sudah ia alami selama seharian ini. Kalian jangan melupakan bahwa Pitaloka adalah anak yang sangat ketergantungan orang lain, termasuk kakak laki-lakinya. Jadi sudah dipastika bahwa ia akan menceritakan semua pengalamannya kepada kakak laki-lakinya. Ia tidak mau jika nantinya ia harus lelah sendiri karena tidak menceritakan semua kejadian yang menimpanya. Ia malas jika pikirannya harus dipenuhi semua itu.

Dengan tidak sopannya, Pitaloka langsung membuka pintu kamar Arsen tanpa mengetuk pintu kamar kakak laki-lakinya terlebih dahulu. Arsen yang tengah sibuk membaca bukunya pun refleks menolehkan kepalanya saat merasa seseorang baru saja memasuki kamarnya.

"Pita, masuk." ujar Arsen mempersilahkan Pitaloka masuk.

Pitaloka yang sebelumnya berdiri diambang pintu pun langsung berjalan memasuki kamar Arsen setelah ia dipersilahkan masuk. Ia langsung duduk disebelah Arsen dan menyenderkan kepalanya pada bahu Arsen. Arsen pun mengelus puncak kepala adik satu-satunya itu dengan lembut.

"Kenapa?" tanya Arsen, karena ia tahu jika Pitaloka menghampirinya pasti anak itu ingin menceritakan kejadian-kejadian apa saja yang sudah menimpanya.

"Huh, Pita kesel sama Stella." gerutu Pitaloka yang dapat didengar jelas oleh Arsen.

"Kesel kenapa hm?"

Pitaloka pun mengangkat kepalanya. Ia menolehkan kepalanya kearah Arsen.

"Pita udah susah-susah buat mempertemukan Stella sama orang yang udah nyebar identitas asli Stella. Tapi Stella malah ga langsung nyelesai masalahnya."

"Kamu ikhlas ga bantuin dia?"

"Ikhlas kok."

Arsen mengenduskan napasnya geli. Sepertinya adiknya yang satu ini masih belum tumbuh menjadi dewasa. Arsen pun mengelus puncak kepala Pitaloka dengan lembut.

"Kalo kamu ikhlas, kamu ga boleh gitu. Bantuin dia sampai masalahnya selesai, jangan ngeluh."

"Ta-"

"Pita."

"Iya."

Pitaloka pun menghembuskan napasnya. Sebenarnya apa yang dikatakan kakak laki-lakinya itu ada benarnya juga. Tidak seharusnya ia mengeluh jika ia memang melakukannya karena niatan ingin menolong.

"Bang Arsen udah makan?"

"Belum."

"Pita bikinin makanan ya?"

"Emang kamu bisa?"

"Bisa dong."

Pitaloka langsung bangun dari duduknya. Kemudian ia berlari kecil keluar kamar Arsen. Arsen yang melihatmya pun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak habis pikir dengan adiknya yang satu ini. Anak itu memang sudah dewasa, tapi sifatnya masih seperti anak kecil. Hal itu yang selalu membuat Arsen khawatir. Ia khawatir nantinya adiknya kenapa-kenapa karena terlalu polos.

Change (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang