Evan berdiri dibalkon kamarnya sambil memandang jauh ke atas. Melihat bintang yang mengelilingi bulan diatas sana. "Sudah dua tahun Nabila." Gumamnya putus asa. "Dimana Kamu?"
"Eeuunngghhh...."
Lenguhan kecil dari Arsya menyadarkan Evan dari lamunannya. Ia buru-buru masuk kamar menghampiri anaknya yang tidur gelisah diranjang besar miliknya.
"Cucu... Papa..."
Evan segera meraih botol susu di nakas dan memberikannya pada putra kecilnya. Evan menepuk pantat Arsya pelan hingga anak itu kembali terlelap dengan dot susu masih didalam mulut mungilnya. Bagi Evan, Arsya adalah anugerah yang tak pernah ia sangka sebelumnya. Tuhan memberikan malaikat kecil untuknya disaat ia sudah memendam keinginannya akan seorang anak. Evan membelai wajah mungil Arsya. "Nabila... Lihatlah putra kita tampan sekali. Dia lebih banyak mirip denganmu." Evan menahan sesak didadanya. "Apa kamu tidak ingin melihatnya? Kembalilah sayang... Kita besarkan Arsya bersama." Evan bergumam lirih penuh kepedihan.
***
"Kamu mau kemana, Van?" Pagi-pagi sekali Nyonya Diana terheran melihat anak sulungnya menggeret sebuah koper besar.
"Luar negri Ma. Perjalanan bisnis." Evan
"Berapa lama? Terus Arsya gimana? Dia gak terbiasa jauh dari kamu?"
"Belum tau berapa lama. Biar Arsya sama pengasuhnya ma. Nanti kalau rewel, tolong mama panggilkan Elvira saja. Biasanya nurut kalau sama Vira."
"Hmm... Yaudah. Kamu hati-hati dan cepat pulang. Kasihan Anakmu kalau ditinggal lama-lama."
Evan tidak menjawab lagi. Ia cepat berlalu dari hadapan mama nya. Terlalu malas sebenarnya kalau harus mengobrol panjang lebar dengan ibunya itu. Tapi Evan masihlah seorang anak yang harus menghormati orangtuanya, terlebih pada wanita yang telah melahirkan dirinya itu.
***
Back to Nabila In Seoul
"Miya..."
"Ya... Ada apa?"
Miya yang sedang menyiapkan makan malam sedikit terkejut. Pasalnya, jarang sekali atau bahkan tidak pernah mengajaknya mengobrol terlebih dahulu.
"Apa kau pernah pergi kerumah Oma ketika kau pulang menengok ibumu?" -Nabila
"Ya... Hanya ketika nyonya memanggilku." -Miya
"Bagaimana keadaanya?" Tanya Nabila datar. Ia bahkan tidak memandang kearah lawan bicaranya. Nabila menatap lurus kearah televisi yang menyiarkan acara ragam yang sebenarnya sama sekali tidak menarik minatnya.
Miya sedikit mengernyit bingung, namun ia segera menyadari kemana arah pembicaraan Nabila. "Tuan Evan dan Arsya tinggal disana. Mereka baik-baik saja."
Nabila hanya mengangguk menanggapinya. Baginya, mendengar dua orang yang ia cintai baik-baik saja itu sudah lebih dari cukup. Ia tak akan bertanya lebih jauh karena jawaban apapun dari Miya itu hanya akan menambah rasa rindunya. Nabila tersenyum tipis mengingat Evan yang selalu antusias menanti putranya lahir dulu.
"Apa kau mau melihat fotonya? Aku punya beberapa yang kuambil diam-diam." Tawar Miya
"Tidak." Sahut Nabila cepat. Bukan, ia bukan ibu yang kejam yang tidak peduli pada putranya. Hanya saja, ia tidak ingin tiba-tiba menangis ketika melihat poto Arsya, apalagi ada Miya disini. Nabila tidak akan memperlihatkan sisi lemahnya pada orang lain.
"Aku akan mengirimkannya padamu kalau-kalau kau ingin melihatnya saat sedang sendiri" ucap Miya seakan mengerti isi hati Nabila. "Kau makanlah, aku akan kembali ke flat ku dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
NABILA
RandomIni kisah Nabila. Putri tiri papa Evan. Memiliki Konten dewasa. Jadi tolong bijak untuk anak dibawah umur jangan baca dan meninggalkan komen yang tidak-tidak.