Evan menggeliat dalam tidurnya mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. "Hmmm, siapa sih pagi-pagi begini?" Gerutunya saat tidurnya terganggu.
"Pa..."
Samar-samar Evan mendengar suara putri kesayangannya memanggil. Ia segera bangun dan membukakan pintu. "Nabila ada apa, sayang."
"Emmm, Nabila mau ngomong sama papa." Nabila gugup, terlihat dari kedua tangannya yang saling meremas satu sama lain.
"Masuk dulu, sayang." Evan melebarkan pintu kamarnya dan memberi jalan Nabila untuk masuk.
Nabila melangkah ragu dan Evan menyadari itu. Evan segera menutup pintu kamarnya lalu menghampiri Nabila yang berdiri canggung di kamarnya.
"Mau ngomong apa sama papa?" Tanya Evan hati-hati.
Nabila diam. Ia tidak tahu harus memulai dari mana. Ragu-ragu ia menyerahkan benda yang sejak tadi ia genggam pada papanya.
"Ini..." Evan syok melihat benda yang ia pegang saat ini. Ia berusaha menajamkan penglihatannya, meyakinkan apa yang ia lihat itu benar. Sebuah alat uji kehamilan dengan dua buah garis merah disana.
"Pa... aku hamil."
Evan mengusap kasar wajahnya. Antara percaya dan tidak. Pasalnya ia sendiri sangat tahu bahwa kemungkinan itu sangat kecil. Jika ini mimpi maka ia tidak ingin bangun. Namun jika ini nyata, ini benar-benar mukjizat dari Tuhan untuknya. Tapi ada sedikit rasa sesal dalam hatinya, kenapa harus Nabila putri yang dangat ia cintai dan sayangi selama ini.
"Aku tahu papa tidak akan percaya karena vonis dokter tentang papa. Tapi aku tidak pernah melakukannya selain dengan papa malam itu." Ucap Nabila panjang. Evan membeku ditempatnya berdiri, mengabaikan ucapan putrinya.
Nabila yang menyadari tidak mendapat respon dari papanya bermaksud melangkah pergi meninggalkan Evan. Namun belum juga dua langkah ia pergi, Evan sudah menariknya kembali dan memeluknya dari belakang. Nabila menegang mendapat pelukan mendadak dari papanya.
"Papa..." gumam Nabila setengah berbisik.
"Terimakasih." Ucap Evan yang juga berbisik.
"Tapi Nabila takut..."
"Ada papa disini."
Meskipun sangat tidak yakin dengan apa yang akan terjadi kedepannya antara ia dan Nabila. Namun Evan tetap berusaha menenangkan dan melindungi Nabila.
***
Evan berangkat bersama Nabila. Namun saat berada di depan perguruan tinggi tempat Nabila menimba ilmu, gadis itu terlihat terlelap dalam mimpinya. Evan memandangi putrinya dengan seksama. Ah... bukan, dia sedang mengandung benih dariku sekarang. Ada rasa bangga dalam diri Evan ketika mengetahui bahwa ia akan benar-benar menjadi seorang ayah. Perlahan Evan membelai wajah cantik Nabila lalu mencium keningnya dalam.
"Papa sayang sama Nabila." Ucap Evan lirih.
Kata-kata itu lagi. Tiba-tiba Nabila merasa kesal mendengarnya. Papa hanya menganggapku sebagai putri kecilnya saja, batin Nabila seolah tidak menerima kenyataan itu. Sebenarnya Nabila sudah terbangun sejak Evan menyentuh wajahnya, namun ia masih enggan untuk membuka mata.
"Sayang, kita sudah sampai." Pelan- pelan Evan membangunkan Nabila.
"Gak mau turun, maunya sama papa aja." Ucap Nabila dengan nada manjanya tanpa membuka mata.
"Kamu harus belajar, Nabila." Ucap Evan lembut.
Nabila membuka matanya, mendelik kesal pada Evan. "Aku bilang gak mau ya gak mau. Ini juga dedek bayinya yang minta. Kalau enggak, aku juga gak mau dekat-dekat sama papa. Bisa-bisa aku dimakan lagi kayak malam itu. Lagian juga aku begini gara-gara papa, kan?"
Evan menghela nafas saat mendengar ocehan panjang Nabila. Sabar Van, dia calon ibu dari anakmu, batin Evan memperingati dirinya sendiri. Nabila masih begitu muda dan labil layaknya remaja seusianya. Ditambah lagi hormon kehamilan yang membuat emosinya bisa naik turun dengan cepat.
"Ya sudah, ikut papa ke kantor saja hari ini." Evan memutuskan membawa Nabila ke kantor.
***
"Pa, aku ngantuk..." ucap Nabila ditengah-tengah kesibukan Evan yang sedang membolak-balik kan kertas-kertas dihadapannya.
"PA..." Nabila memekik kesal saat tidak mendapat respon dari Evan.
Evan tersentak kaget mendengar suara Nabila lalu cepat menoleh pada putrinya itu. "Papa sibuk sayang. Kamu bisa tiduran disofa dulu kan?" Ucap Evan tenang.
"Yaudah, kalau papa sibuk aku pulang aja." Ucap Nabila semakin kesal. Ia berjalan keluar dari ruangan Evan sambil menghentak-hentakkan kakinya.
"Astagaa..." Evan bangkit dari duduknya lalu mengejar Nabila yang hampir mencapai pintu, menarik tangannya hingga tubuh mungil Nabila jatuh dalam dekapannya. "Maafkan papa, Sayang. Papa sibuk, banyak yang harus diurus. Nabila tolong mengerti ya, sayang." Ujar Evan lembut sambil mengusap punggung Nabila.
"Hiks... papa jahat, aku begini karena papa. Tapi papa malah gak mau peduli. Hiks..." Nabila mulai menangis.
"Ssssttt... sudah-sudah, jangan menangis. Maafkan papa ya. Sekarang kamu tidur di sofa dulu biar papa temani."
Akhirnya Nabila mengangguk setuju setelah menyelesaikan tangisnya. Evan membimbingnya berjalan kembali ke sofa dan membaringkan Nabila disana. Menemaninya hingga Nabila terlelap. Evan membawa semua pekerjaannya ke meja didekat sofa tempat Nabila tidur.
"Paa..." Nabila terbangun setelah tidur cukup lama.
"Ya, sayang."
"Nabila mau pulang."
"Hmm... Tapi papa masih banyak pekerjaan sayang. Kamu diantar pulang mas Rafka mau?"
Nabila mengangguk mengiyakan tawaran papanya.
***
"Makasih ya Mas, udah mau antar aku pulang." Ucap Nabila setelah sampai di depan rumah.
"Sama-sama, Mas pergi dulu ya." Pamit Rafka kemudian. Pria 24 tahun itu kembali melajukan mobilnya menjauhi rumah bosnya.
"Loh, Nabila kok kamu pulang diantar Rafka."
"Oh, itu Oma, tadi aku mampir sebentar kekantor papa. Terus papa suruh mas Rafka antar aku pulang." Ucap Nabila menjelaskan sambil mencium punggung tangan neneknya.
"Oh ya sudah. Masuk sana terus siap-siap nanti kalau papamu pulang kita langsung berangkat." Ucap Nyonya Diana.
"Loh, memangnya mau kemana Oma?"
"Nanti kamu juga tau."
***
Evan pulang saat hari mulai petang. Baru saja ia masuk rumah, ibunya langsung menyuruhnya bersiap-siap untuk pergi lagi.
"Van, cepetan mandi sana terus kita berangkat."
"Hah, emang mau kemana?"
"Makan diluar, makan malam keluarga. Udah jangan banyak nanya. Cepat siap-siap sana."
Evan berlalu menuju kamarnya dan bergegas mandi. Setengah jam kemudian ia pun selesai bersiap-siap. Ketika ia sedang memakai jam tangan, seseorang mengetuk pintunya pelan.
Tok tok tok
"Pa..." evan mendengar suara putrinya yang memanggilnya.
"Masuk, Nabila."
"Pa Udah ditunggu sama Oma Opa dibawah." Ucap Nabila yang hanya membuka setengah pintu kamar papanya saja. Evan mengangguk lalu bergegas keluar menghampiri Nabila. Saat akan menuruni tangga, tiba-tiba saja Evan memegang tangan Nabila.
"Hati-hati sayang." Ucap Evan. Sedangkan Nabila yang sempat terpaku hanya mengangguk saja.
Sesampainya ditempat tujuan, keluarga Evan langsung menuju tempat yang sudah di pesan. Disana sudah menunggu seorang wanita dewasa, mungkin usianya sekitar pertengahan 30 tahunan.
"Van kenalin, ini calon istri untuk kamu."
***
Aduhh mak nya Evan seneng bener ye jodoh-jodoh in anaknya.. 😲
KAMU SEDANG MEMBACA
NABILA
De TodoIni kisah Nabila. Putri tiri papa Evan. Memiliki Konten dewasa. Jadi tolong bijak untuk anak dibawah umur jangan baca dan meninggalkan komen yang tidak-tidak.