"Kamu disini?"
Deg...
Jantung Nabila seakan terhenti mendengar suara yang sangat dikenalnya. Nabila yang sebelumnya menunduk, mengangkat kepalanya dan mendapati Zidan berada di hadapannya."Zi... Zidan." Ucap Nabila terbata. "Kenapa kamu disini?"
"Ini toko kue langganan mama, gue disuruh ambil pesenan."
"Ohh... sebentar ya..."
"Bil, bokap lo tiap hari ke kampus cari lo. Gue sampai kasihan lihatnya." Ucap Zidan saat Nabila menyerahkan kue pesanannya.
"Ehmm... Dan, tolong jangan kasih tau papa ya kalau aku disini." Mohon Nabila.
"Kenapa? Lo lagi ada masalah sama bokap lo?"
"Enggg... pokoknya jangan kasih tau papa kalau aku disini ya nanti kalau papa tanya." Ucap Nabila lalu tertunduk lesu.
"Hemm... yaudah, ntar gue gak bakal bilang ke bokap lo."
"Makasih ya, Dan."
Zidan pergi setelah cukup lama mengobrol dengan Nabila. Nabila hanya bisa berharap semoga Zidan tidak bicara tentang keberadaannya.
"Teman kamu?" Tanya Karin dari belakang sambil menepuk bahu Nabila lembut.
"I.. iya kak. Teman kampus."
"Ohh... aku kira pacar kamu." Ucap Karin lalu terkikik geli melihat ekspresi Nabila yang memerah malu. Nabila merasa jika Karin mirip dengan Elvira, tantenya. Hangat lembut dan juga sering menggodanya tentang pacar.
"Bukan kak, Nabila gak pernah pacaran dikampus." Tapi malah hamil diluar nikah. Tambah Nabila dalam hati.
"Sudah jangan dipikirkan, kasihan bayimu. Lagipula aku juga tidak akan bertanya tentangnya. Tapi kalau kamu mau cerita aku juga mau mendengarkan." Ucap karin yang melihat perubahan wajah Nabila yang mulai murung.
Nabila mendongak menatap wanita muda dihadapnnya. Ia ingin sekali menceritakan kisahnya. Tapi Nabila masih ragu, haruskah ia membuka aibnya sendiri?
"Ayo kita tutup toko saja, sudah sore." Nabila mengangguk mengiyakan.
"Kak..."
"Ya, Nabila ada apa?"
"Nabila mau cerita tentang..."
Karin yang mengerti arah pembicaraan Nabila segera memotong ucapan gadis itu. "Kalau kamu merasa berat dan tidak siap untuk cerita, lebih baik jangan Nabila."
"Enggak kak, aku ingin bebanku sedikit berkurang."
Karin menatap Nabila lekat, "Baiklah, aku akan dengarkan." Meskipun baru mengenal Nabila tapi karin sudah menganggap Nabila seperti adiknya sendiri.
"Sebenarnya ayah dari bayi yang ku kandung itu..." Nabila menjeda ucapannya membuat karin semakin penasaran, "...Papa." ucap Nabila Akhirnya.
Karin terkejut mendengar penuturan Nabila, tapi wanita muda itu tudak memperlihatkannya. Ia diam menunggu Nabila melanjutkan ceritanya.
"Tapi dia bukan papa kandungku." Lalu mengalirlah cerita dari mulut Nabila kisahnya dari awal hingga ia bisa meninggalkan rumah.
"Lalu kenapa kamu meninggalkan rumah?" Karin mulai bersuara setelah Nabila selesai bercerita.
"Papa mau menikah lagi. Selain itu aku takut Oma tidak percaya kalau ini anak papa."
"Apa dia tidak mau bertanggungjawab?"
Nabila menggeleng.
"Jadi papamu tidak mau bertanggungjawab?" Ujar karin geram.
"Bu...bukan begitu kak. Aku pikir papa lebih suka dijodohkan." Ucap Nabila yang mulai menangis.
Karin segera merengkuh Nabila kedalam pelukannya. "Sudah... jangan dipikirkan."
"Kak... tolong jangan bilang siapa-siapa ya..." pinta Nabila. Karin mengangguk sambil menepuk-nepuk punggung Nabila lembut.
"Heeiii... kok peluk-pelukan aku gak diajak." Ucap Angga tiba-tiba dengan cengiran lebarnya saat melihat dua wanita muda itu saling berpelukan.
Segera Nabila dan karin melepas pelukan mereka
"Dihh maunya elu..." cibir Karin
"Bil, pulang yuk. Udah sore juga." Ajak Angga pada Nabila.
Nabila mengangguk mengiyakan ajakan Angga yang akan mengantarkannya pulang. Semakin lama Angga semakin yakin akan perasaannya pada Nabila. Angga merasa jika ia harus melindungi Nabila yang sedang dalam keadaan rapuh seperti sekarang. Meskipun Seperti yang Angga ketahui jika Nabila sedang mengandung benih dari seseorang yang tidak pria itu ketahui. Bukan masalah bagi Angga karena ia akan menerima Nabila apa adanya. Namun sayangnya pria itu belum berani mengungkapkan perasaanya.
Hari berganti minggu dan minggu pun berganti bulan. Perut Nabila sudah kelihatan membesar dibulan ke lima. Semakin hari wanita itu semakin mudah lelah. Pernah suatu hari Nabila hampir saja pingsan karena kelelahan karena toko tempatnya bekerja sedang ramai-ramainya. Alhasil karin menyuruhnya cuti dan istirahat beberapa hari untuk memulihkan kondisinya.
Zidan hampir seminggu sekali juga mengunjungi toko kue tempat Nabila bekerja untuk mengambil kue pesanan mamanya. Ia pun juga menyadari perubahan pada diri Nabila terutama pada bagian perut temannya itu.
"Bil, lo...?"
Nabila yang menyadari arah pandang Zidan segera mendekap perutnya sendiri. Nabila tersenyum pahit menanggapi pertanyaan menggantung dari Zidan. "Iya." Ucap Nabila singkat. Tidak ada pilihan lain selain membenarkan keadaanya saat ini.
"Gimana bisa...?" Lagi-lagi pertanyaan Zidan menggantung.
"Ceritanya panjang, Dan."
Zidan diam. Sebenarnya ia ingin bertanya lebih jauh lagi tapi ia tahu Nabila sudah pasti enggan menjawabnya.
"Emm... Dan, papa masih sering ke kampus gak?" Tanya Nabila ragu-ragu. Tidak bisa ia pungkiri jika semakin hari Nabila juga semakin merindukan papanya.
"Masih." Jawab Zidan mantab. "Kasihan gue lihat bokap lo. kayaknya beliau jadi gak ngurus dirinya gitu, prnampilannya yang biasanya rapi juga jadi acak-acakan." Jelas Zidan.
Jantung Nabila seperti terhenti mendengar penjelasan Zidan. Mungkinkah karena aku papa jadi tidak mengurus dirinya?. Ingin sekali Nabila pulang. Tapi apa kata keluarganya nanti jika ia tiba-tiba pulang dengan keadaan perutnya yang membesar. Terlebih lagi ia tidak siap menerima kata-kata serta tatapan tajam dari Oma nya. Ia takut tidak akan ada yang percaya padanya.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
NABILA
RandomIni kisah Nabila. Putri tiri papa Evan. Memiliki Konten dewasa. Jadi tolong bijak untuk anak dibawah umur jangan baca dan meninggalkan komen yang tidak-tidak.