part - 4

16.4K 569 27
                                    

"Sudah, Nabila tidur. Papa mau mandi dulu."

Sepeninggal papanya, Nabila tidak bisa memejamkan matanya kembali. Ia hanya berguling dari sisi ranjang sebelah kiri ke kanan dan begitu pula sebaliknya. Gadis itu gelisah. Ada sebuah peperangan kecil dalam benaknya. Kenapa jadi pengen tidur sama papa sih? Sebuah pertanyaan tidak masuk akal muncul dalam pikirannya.

Lama Nabila termenung menimbang-nimbang keinginan anehnya. Masa' harus ke kamar papa... huft. Hingga akhirnya ia menyerah lalu melangkah keluar kamar dan mengetuk pintu yang berada tepat di sebelah kamarnya.

Tok tok tok

Ceklek

Munculah Evan yang terlihat segar sehabis mandi. Sejenak Nabila mengagumi ketampanan papanya. Umur Evan memang sudah berada diangka 45 namun auranya masih sama seperti usia 30an.

"Pa... aku mau tidur sama papa."

Evan terkejut seketika mendengar penuturan putrinya tersebut. Ia terdiam beberapa detik mencerna kata-kata Nabila.

"Tapi kalau papa gak mau gak apa-apa. Nabila bisa balik kekamar." Ucap Nabila kecewa lalu membalikkan badan karena tak kunjung mendapat persetujuan dari papanya. Evan mengangkat tangan hendak menghentikan langkah Nabila, namun gadis dihadapannya sudah terlebih dulu berbalik menghadapnya kembali.

"Tapi aku pengennya tidur sama papa." Ucap Nabila polos penuh permohonan.

Evan menghela nafas pelan lalu berkata. "Masuklah."

Seketika mata Nabila berbinar senang lalu berlari kecil menuju ranjang besar papanya dan merebahkan diri disana.

"Hmmm... papa tidur juga disini." Nabila cepat-cepat menutup mulut dengan tangan dan memukulnya pelan menyadari apa yang sudah terlontar tanpa kontrol dari mulutnya.

Evan tersenyum geli melihat tingkah putri kesayangannya. Ia naik ke sisi ranjang sebelah Nabila dan membaringkan tubuh lelahnya disana. Ingin Evan mendekat dan memeluk Nabila tapi ia tidak berani melakukannya. Begitu juga dengan Nabila yang tidak berani mendekat pada Evan. Gadis itu memilih tidur memunggungi papanya hingga kesadarannya sedikit demi sedikit mulai menghilang.

Pagi-pagi Evan sudah terbangun terlebih dahulu. "Hah..." ia terkejut saat mendapati Nabila sudah bergelung hangat dipelukannya, sedangkan Nabila malah lebih mengeratkan pelukannya mencari kenyamanan di dada bidang Evan.

Evan segera bangun dan memilih mandi sebelum Nabila bangun dan marah-marah karena Evan memeluknya.

***

Tok tok tok

Nabila terbangun saat mendengar seseorang mengetuk pintu. Ia membuka mata dan menatap sekeliling. Astaga, aku masih dikamar papa. Gimana kalau ada yang lihat? Nabila panik saat menyadari masih dikamar papanya. Ia menoleh kesamping dan tidak mendapati Evan disana. Ia mendengar suara gemericik air dari kamar mandi, papa mandi gumamnya.

Akhirnya Nabila bangun saat seseorang di balik pintu semakin keras mengetuk seakan ingin mendobraknya.

Ceklek.

"Hah, Oma?" Nabila terkejut saat membuka pintu dan mendapati neneknya yang berada di luar pintu.

"Nabila, ngapain kamu ada dikamar papamu? Kalian tidur bareng?" Tanya sang nenek penuh selidik.

Jlebb... Nabila tidak bisa mengelak dari pertanyaan Neneknya. "Engg... itu, anu Oma..."

"Nabila tadi cuma bangunin aku, Ma." Sebelum Nabila menyelesaikan ucapannya, Evan yang baru keluar dari kamar mandi sudah lebih dulu memotong ucapan putrinya yang terlihat gugup didepan sang nenek.

"Oh... ya sudah. Mama tunggu di meja makan. Kita sarapan bersama." Ucap Nyonya Diana lalu melangkah pergi.

"Cepat mandi, sudah siang." Ujar Evan pada putrinya.

"Iya, pa." Nabila lalu kembali kekamarnya sendiri.

***

"Van, kamu itu apa gak ada kepikiran buat nikah lagi?"

Pertanyaan Nyonya Diana yang ditujukan pada Evan sontak membuat Nabila tersedak nasi goreng yang menjadi sarapannya. Membuat nenek, kakek dan papanya langsung menoleh padanya. Evan yang berada paling dekat dengan putrinya langsung menyodorkan air putih lalu menepuk-nepuk punggung Nabila pelan. "Pelan-pelan makannya, sayang." Ujar Evan pelan.

"Mama sama papa kapan datangnya? Kok udah dirumah aja pagi-pagi begini?" Evan mencoba mengalihkan pembicaraan. Evan merasa tidak perlu membahas tentang pernikahan karena baginya, untuk apa menikah kalau pada akhirnya ia tetap tidak bisa punya anak.

"Tadi jam 4 subuh." Jawab nyonya Diana. "Eh... kok kamu malah mengalihkan pembicaraan." Kesal nyonya Diana.

"Hah... sudahlah ma, jangan bahas itu. Lagipula untuk apa Evan menikah kalau ujung-ujungnya gak bisa punya anak juga." Ujar Evan tak bersemangat.

"Dicoba dulu lah Van, siapa tahu pernikahan kali ini akan menghasilkan anak." Papa Evan menimpali mencoba ikut membujuk Evan.

"Iya tuh. Lagian Nabila pasti juga setuju kalau punya mama baru. Iya kan Nabila?" Nenek Nabila itu menatap cucunya meminta jawaban.

Evan menahan nafas merasa was-was dengan jawaban yang akan Nabila ucapkan.

"I..itu terserah papa saja Oma. Yang penting papa bahagia." Ada sesuatu yang mengganjal dihati ketika Nabila mengatakan itu.

"Tuh dengar, Nabila saja setuju." Nyonya diana terus mendesak putra sulungnya itu.

"Hah... sudahlah. Ma, pa. Evan berangkat dulu." Evan akhirnya menyerah dengan pembahasan yang menurutnya tidak perlu dan memilih cepat berangkat ke kantor. "Nabila mau bareng sama papa?"

Nabila mengangguk lalu cepat-cepat menyelesaikan sarapannya. "Nabila juga berangkat Oma, Opa." Ujar Nabila sambil mencium tangan kakek dan neneknya.

***

"Nabila, tentang yang di bicarakan Oma dan Opa tadi itu..."

"Itu terserah papa saja." Potong Nabila sebelum Evan melanjutkan perkataannya. Ia lalu melepas sabuk pengaman dan berniat turun dari mobil setelah sampai di depan kampusnya. Tak lupa ia juga mencium tangan papanya. "Nabila pergi dulu." Ucapnya lalu meraih handle pintu mobil.

Evan segera meraih pergelangan tangan putrinya dan mengatakan sesuatu. "Papa sayang sama Nabila."

Nabila hanya tersenyum singkat menanggapinya lalu ia segera turun dari mobil. Dimata Evan, putrinya memang terlihat tidak peduli dengan pembahasan tadi pagi. Namun berbeda dengan Nabila, ada rasa tidak rela jika papanya itu harus menikah lagi.

Nabila berdiri memandang kepergian mobil papanya hingga menghilang membaur dengan mobil-mobil lainnya. Ia menghela nafas pelan lalu berbalik hendak memasuki kampusnya. Namun langkahnya terhenti saat ia teringat akan sesuatu dan kembali berjalan setengah berlari menjauhi area kampus dan berhenti di depan apotik untuk membeli sesuatu.

***

Nabila menatap nanar benda pipih yang ada di tangannya. "Dua garis, artinya positif." Gumamnya pelan. "Aku hamil?" Sedetik kemudian airmatanya jatuh membasahi pipi. Nabila bingung apa yang harus dilakukannya. "Apa papa akan percaya kalau aku hamil?" Gumamnya lagi. Nabila tahu kalau papanya memiliki kemungkinan kecil untuk memiliki anak. "Tapi aku harus mengatakannya."

Nabila mengusap airmata dipipinya lalu berjalan keluar, tujuannya adalah kamar Evan tidak lupa dengan membawa alat uji kehamilannya tadi.

Tok tok tok. "Paa..."

Ceklekk. Muncullah Evan dari balik pintu masih dengan muka bantalnya.

"Pa... aku hamil."

***

Pada percaya gak sih Nabila hamil...?

NABILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang