Evan mengacak rambutnya frustasi. Sudah semua tempat ia datangi. Semua teman Nabila sudah ia tanyai. Tapi tidak ada satupun yang membuahkan hasil. Bahkan apartement adiknya yang kemarin pernah Nabila gunakan untuk istirahatpun kosong. Putrinya tidak ada disana.
"Dimana kamu Nabila..." Evan bergumam sambil meletakkan dahinya diatas setir mobil. Sudah beberapa hari ia meninggalkan pekerjaannya demi mencari Nabila. Setiap hari ia hanya berkeliling dijalanan ibu kota berharap akan segera menemukan putrinya.
Evan kembali pulang dengan wajah lesu dan penampilan yang acak-acakan. Begitulah setiap hari hingga membuat mamanya khawatir.
"Gimana Van? Udah ada kabar tentang Nabila?" Mamanya bertanya.
"Belum ma." Evan hanya menjawab singkat tanpa menatap mamanya.
"Ck... kemana anak itu?" Ucap mama Evan mulai kesal dengan Nabila yang pergi begitu saja tanpa pamit. "Sudahlah Van, tidak perlu kamu cari lagi. Nanti kalau sudah habis uangnya pasti dia balik lagi." Ucapnya sinis.
"MA...!" Suara Evan mulai meninggi. "Ahh... sudahlah. Mama tidak mengerti."
"Apa yang mama gak ngerti Van, kamu bisa jelaskan? Van... Van tunggu..." sebelum mamanya menyelesaikan kata-katanya Evan sudah berlalu dengan menaiki tangga masuk kekamarnya dan... "BLAMM" Evan membanting pintu dengan keras hingga mamanya yang berada dilantai bawah sempat kaget mendengarnya.
***
"Ahh... kamu sudah bangun." Ucap seorang pria muda pada seorang gadis yang pagi ini ditolongnya. Gadis itu pingsan di halte tempat pria itu biasa menunggu bus.
Gadis itu membuka mata menyesuaikan dengan cahaya yang berada di ruangan itu. Bau obat yang sangat menyengat yang menyapa indra penciumannya membuat ia mengenali dimana ia berada sekarang. Rumah sakit gumamnya dalam hati.
"Bagaimana perasaanmu? Apa kau baik-baik saja?"
Gadis itu menoleh mendapati seorang pria asing berada di sebelah ranjang yang ia tempati. Ia mengangguk lemah menjawab pertanyaan dari pria itu.
"Oh iya... siapa namamu?" Tanya pria itu.
"Nabila..." ucapnya lemah. "Kenapa aku bisa ada disini?" Ucapnya lagi.
"Kemarin kau pingsan dihalte seberang rumahsakit ini, kau ingat." Jawab pria itu. "Oh iya. Namaku Angga." Ucapnya memperkenalkan diri pada Nabila.
"Terimakasih mas Angga sudah menolongku." Ucap Nabila lemah. Angga memang masih muda tapi Nabila bisa pastikan jika pria itu lebih tua beberapa tahun darinya. Tiba-tiba Nabila teringat akan sesuatu dan meraba perutnya khawatir. "Ba-bayiku..." ucap Nabila terbata.
Angga tersenyum melihatnya. "Bayimu baik-baik saja, kata dokter kamu pingsan karena kurang asupan makanan. Tapi tenang saja. Bayimu kuat." Ucap Angga. "Apa kau sudah punya suami?" Angga segera menutup mulutnya rapat-rapat dan merutuki pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulutnya. Dasar bodoh, dia sedang hamil. Itu berarti dia sudah punya suami. Anggapun segera meminta maaf karena pertanyaan bodohnya, "Ma-maaf, maksudku..." namun jawaban Nabila mampu membuatnya sedikit syok.
"Tidak..." Wajah Nabila berubah muram mengingat dia hamil hasil dari perkosaan.
Angga ternganga mendengarnya. Ingin sekali ia bertanya tapi, ia mengurungkan niatnya karena tidak ingin dianggap terlalu ikut campur urusan orang. Apalagi orang itu baru dikenalnya.
"Ceritanya panjang..." Nabila berucap seolah mengerti apa yang menjadi isi kepala Angga.
"Ah... tidak apa-apa. Tidak perlu diceritakan jika itu berat untukmu, Bila." Angga tersenyum pada Nabila mencoba menghibur gadis itu. "Ayo makan dulu, bayimu pasti kelaparan." Ucap angga sambil tersenyum hangat.
Nabila meraih makanan yang di berikan Angga lalu memakannya sedikit demi sedikit.
"Aku pergi dulu ya... sudah malam, besok aku harus bekerja." Ucap Angga berpamitan. "Istirahatlah, besok sebelum berangakat kerja aku akan kesini melihatmu dulu."
"Terimakasih mas sudah menolongku. Mas tidak perlu kesini lagi, nanti malah merepotkan mas Angga."
"Tidak apa-apa Nabila, aku tidak merasa direpotkan. Oh iya... jangan lupa minum obatmu ya..." ucap Angga lalu pergi dari ruangan rumah sakit tempat Nabila dirawat.
Setelah minum obat Nabilapun juga terlelap tidur.
***
Evan terbangun ditengah malam dengan nafas terengah-engah. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Ia bermimpi, mimpi yang mengerikan. Ia bermimpi Nabila pergi untuk selama-lamanya meninggalkannya dan membawa serta bayi yang tengah dikandung Nabila.
"Cuma mimpi... Cuma mimpi." Gumamnya berulang-ulang. Evan mengusap wajahnya kasar lalu bangkit dan pergi kekamar mandi dan mencuci mukanya. Ia mendongak menatap wajahnya didalam cermin, tangannya terkepal kuat menahan amarah. Amarah untuk dirinya sendiri . "Bodoh kau Evan, bodoh - bodoh..."
PRANKKK
Evan meninju kaca didepannya hingga hancur dan tangannya berdarah. Evan kembali ke tempat tidur dengan perasaan yang campur aduk. Ia kembali berbaring tanpa mempedulikan tangannya yang berdenyut nyeri akibat pecahan kaca.
Pagi harinya Evan bersiap berangkat, entah akan berangkat kemana dia hari ini. Melanjutkan mencari Nabila atau melanjutkan pekerjaan kantornya yang beberapa hari ini terbengkalai begitu saja.
Evan turun keruang makan dan melihat kedua orangtuanya sudah berada disana untuk sarapan. Semua orang diam, hingga papa Evan mulai bersuara.
"Van, hari ini kamu harus kekantor. Lihat pekerjaanmu sudah menumpuk. Papa ini sudah tua Van, papa sudah tidak bisa menghandle banyak pekerjaan." Ucap Tuan Hendra.
Evan hanya diam mendengarkan.
"Dengar Van, bukan hanya kamu yang mengkhawatirkan Nabila. Tapi papa dan mama juga. Dia Cucu kami." Lanjut Tuan Hendra.
"Aku berangkat." Evan buru-buru pergi meninggalkan meja makan.
Nyonya Diana kesal dengan kelakuan anaknya. "Ck, Evan itu sudah tua tapi kelakuan masih seperti anak kecil." Gerutunya.
Evan masuk ke mobil dan menghempaskan punggungnya dijok mobil sambil memejamkan matanya. Ia memijit pangkal hidungnya yang terasa sakit.
"Aku merindukanmu Nabila."
***
Hay... udah ku update ya Nabilanya. Maafkan kalau gak nyambung dan gak jelas bgt.. 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
NABILA
RandomIni kisah Nabila. Putri tiri papa Evan. Memiliki Konten dewasa. Jadi tolong bijak untuk anak dibawah umur jangan baca dan meninggalkan komen yang tidak-tidak.