Part - 24

3.9K 205 25
                                    

"Lama tak bertemu, Nabila. Bagaimana kabarmu?"

Suara ini. Suara yang selalu Nabila rindukan selama dua tahun ini. Juga suara yang tidak ingin ia dengar dalam waktu bersamaan. Suara ini milik Evan, suaminya, papanya, ayah dari anaknya, separuh hidupnya. Tanpa disadari, air mata Nabila tiba-tiba saja meluncur tak tertahan. Apa ini? Kenapa tiba-tiba ada papanya disini? Bagaimana bisa? Bagaimana jika Omanya tau ia bertemu dengan Evan? Seribu pertanyaan muncul di otaknya. Perlahan Nabila memberanikan diri membalikkan badan menghadap sang pemilik suara, menatap lurus papanya dengan sorot penuh kerinduan diantara keduanya

"Pa-papa..." Suara Nabila tersendat di tenggorokan. "Ba-bagaimana bisa-" belum lagi Nabila menyelesaikan kalimatnya, Evan sudah melangkah kedepan dan merengkuh Nabila kedalam pelukan hangat. Menenggelamkan wajah Nabila didada bidangnya.

"Aku merindukanmu sayang. Sangat merindukanmu." Ucap Evan sembari mengecupi puncak kepala Nabila.

Nabila tidak tau harus bereaksi seperti apa. Air matanya terus mengalir semakin deras, Perlahan tangannya naik dan meremat kemeja Evan di bagian dada pria itu. Ia juga sama rindunya seperti Evan, hanya saja Nabila tidak berani mengungkapkan secara terang-terangan bahwa ia juga rindu. Dia hanya diam dan menikmati pelukan Evan.

"Kenapa menangis hmm? Kau tidak rindu denganku?" Evan merenggangkan pelukannya demi melihat wajah Nabila yang selama ini selalu membayangi mimpinya. "Maaf... Maaf kalau aku harus butuh waktu lama untuk menemukanmu." Evan bergumam lirih. Nabila menggeleng keras kembali mengeratkan pelukan mereka. Tidak, ini bukan salah Evan. Ini salahnya yang tiba-tiba pergi meninggalkan Evan begitu saja.

Evan membiarkan Nabila menangis hingga kelelahan dan kemudian tertidur dipelukannya. Nabila lelah, tubuhnya lelah begitu pula dengan hatinya hingga ia tidak sadar jika Evan telah mengistirahatkannya di tempat tidur.

Evan memandangi wajah damai Nabila. Membelai lembut pipi tirusnya dan menyingkirkan helai rambut yang menutupi wajah cantik itu. Evan menghela nafas berat ketika mengingat perkataan Miya tentang wanita kecil yang telah melahirkan buah hatinya ini.

"Saya ditugaskan untuk menjaga dan melayani nona disini. Selama beberapa bulan nona sempat mengalami depresi dan harus mengkonsumsi obat tidur agar nona bisa lebih sedikit tenang ketika malam hari. Tapi itu tidak banyak berpengaruh karena nona terus menggumamkan nama tuan dan juga Arsya di setiap tidurnya. Nona sudah melalui hal berat selama disini. Ketika melihat kondisinya yang benar-benar buruk saat itu, sempat saya ingin menghubungi dan memberitahu tuan jika nona ada disini tapi, saya terlanjur berhutang budi dan terikat janji dengan nyonya yang telah menolong saya merawat ibu saya. Maafkan saya tuan." Miya menunduk merasa bersalah atas kondisi Nabila selama ini.

Evan hanya diam terpaku mendengar penjelasan Miya, hatinya kembali tersakiti. kemudian ia menepuk pelan  pundak Miya dan berkata, "kau sudah melakukan tugasmu dengan baik. Terimakasih sudah menjaganya selama ini."

"Seharusnya saya tidak melakukan ini tuan. Saya takut  jika nyonya tau, beliau akan menghentikan perawatan ibu saya. Tapi saya tidak tega pada nona karena saya sudah menganggap nona seperti adik saya sendiri." Miya semakin tertunduk.

"Tidak akan. Kamu tenang saja, kalau mama melakukan itu, aku yang akan melanjutkan perawatan ibumu." Janji Evan "sekarang dimana Nabila?"

"Nona sedang berjalan-jalan dengan temannya. Sebaiknya tuan menunggu di apartemennya saja, saya takut dengan reaksi nona kalau tuan menemuinya langsung di tempat ramai seperti ini. Saya akan mengantar tuan kesana." Jelas Miya pada Evan. Dan Evan hanya mengangguk menuruti saran Miya.

Pagi harinya Nabila merasa terusik kala sinar matahari masuk dan menerpa langsung ke wajahnya. Dahinya mengernyit namun ia enggan untuk membuka mata. "Miyaa... Tutup kembali kordennya aku ingin tidur lagi, hari ini aku tidak ada kelas." Gumam Nabila malas. Ia mengira kalau Miya lah yang sudah berani mengganggu tidurnya.

"Sudah bangun, sayang?"

Mata Nabila membola seketika mendengar suara berat itu. Ahh dia melupakan kalau Evan ada disini. Nabila segera bangkit dari tidurnya, "auchh..." Nabila meringis sambil memegangi kepalanya merasa sedikit pusing akibat terlalu banyak menagis semalam.

"Kamu tidak apa-apa?" Evan mendadak khawatir melihatnya. Sedangkan Nabila hanya menggeleng pelan. Sejak semalam Nabila sama sekali belum berbicara pada Evan, ia begitu merasa bersalah pada lelaki yang telah ditinggalkannya dua tahun yang lalu ini.

"Mau sarapan atau mau mandi dulu? Miya sudah memasak tadi."

"Nabila mau mandi dulu pa." Ucapnya pelan hampir tak terdengar. Evan tersenyum lalu membelai puncak kepala Nabila.

"Ya sudah, aku tunggu di meja makan ya."

Selepas mandi, Nabila menghampiri Evan di meja makan. Evan tersenyum ketika melihat langkah ragu Nabila yang mendekatinya. "Duduk sini." Evan menepuk kursi di sebelahnya. Nabila menurut saja. "Makan ya, kamu jadi kurusan gini." Sekali lagi Nabila hanya mengangguk dan memakan makanan nya dengan tenang.

"Kamu kenapa? Dari tadi diem aja. Kamu gak kangen ya sama aku?" Evan memeluk Nabila dari belakang saat wanita kecil itu sedang sibuk mencuci piring. "Atau kamu gak seneng aku disini?"

"Gak gitu paa..."

"Lalu?"

"Aku takut oma tau papa disini lalu Oma semakin menjauhkanku dengan Arsya."

"Jangan khawatir, aku gak akan membiarkan itu terjadi." Evan membalikkan badan Nabila menghadapnya. Tangannya terulur membelai pipi serta bibir manis istrinya. "Kalau perlu kita buatkan adik untuk Arsya agar mama semakin pusing dan tidak bisa memisahkan kita lagi." Evan mendekatkan bibirnya dan menyapu lembut bibir Nabila. Kedua mata Nabila terpejam seketika. Namun itu tidak bertahan lama ketika wanita kecil itu menyadari sesuatu lalu dengan tergesa mendorong dada Evan hingga tautan bibir mereka terlepas. Evan menaikkan sebelah alisnya seolah bertanya kenapa?

"Tunggu dulu, apa maksudnya adik?"

Evan menyeringai, "apa masih kurang jelas?"

"T-tapi itu tidak mungkin."

"Apanya yang tidak mungkin, sayang." Evan membelai pipi Nabila pelan.

"Maksudku vonis dokter itu." Suara Nabila terdengar lirih takut menyinggung Evan.

Evan tersenyum lalu mengangkat dagu Nabila agar ia bisa menatap matanya. "Dua tahun ini selain sibuk dengan pekerjaan dan juga sibuk mencari keberadaanmu, aku juga menyempatkan diri untuk konsultasi dan terapi. Aku sengaja mempersiapkan diri jika suatu hari bertemu dengan mu lagi. Dan kata dokter hasilnya sudah membaik meskipun belum 100%." Evan tersenyum jahil pada Nabila. "Jadi, jika kita melakukannya dan jika aku beruntung akan ada sesuatu lagi disini." Ucap Evan sambil mengelus pelan perut datar Nabila

"Tidak!" Nabila seketika panik menampik tangan Evan dan mundur satu langkah kebelakang.

Evan kembali menaikkan alisnya bingung. "Kenapa? Kamu mau punya anak lagi denganku?"

"Bu-bukan be-begitu... A-aku..." Nabila menjadi gagap seketika.

Evan tertawa melihat reaksi Nabila. "Sudahlah, aku mengerti. Kita bisa melakukannya lain kali."

Pikiran Nabila kusut seketika memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi kelak bila ia tiba-tiba hamil lagi. Tidak, itu tidak boleh terjadi. Ia tidak siap bila harus di pisahkan lagi dengan anaknya. Dan juga Evan belum mengetahui kenyataan bahwa dirinya pernah tidur dengan laki-laki lain membuatnya berpikir macam-macam tentang bagaimana reaksi Evan jika mengetahuinya.

"Maaf pa... Ini terlalu rumit bagiku."

TBC

Author note

Aku rasa kisah cinta Evan sama Nabila Ini akan lebih rumit dari  kisah Indra-Elvira. . .




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 15, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NABILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang