"Kenapa sayang." Evan memperhatikan perubahan raut muka Nabila ketika ia menyinggung tentang pulang.
"Aku gak mau pulang, Pa..."
"Tapi kenapa?"
Nabila menggeleng pelan. "Papa duduk dulu, Nabila buatkan minum." Ucapnya menghindari tatapan tajam sang papa.
"Apa karena laki-laki tadi?"
Nabila berhenti melangkah saat mendengar kembali seruan papanya yang penuh dengan kecurigaan. "Maksud papa, Mas Angga?"
"Angga atau siapalah namanya yang jelas aku tidak suka ada laki-laki lain yang dekat denganmu."
Apa papa cemburu? Tapi kenapa? Nabila mendengar ada nada kecemburuan di dalam kalimat panjang Evan.
"Tapi pa, mas Angga yang sudah menolongku selama ini."
"Jangan sebut Nama itu lagi."
"Mas Angga juga sudah hmmmffff...."
Evan segera meraih tubuh Nabila dan melumat bibir mungilnya tanpa ampun, kasar dan menuntut. Nabila berusaha memberontak dengan memukul dada Evan namun papanya itu meraih tangannya dan mengunci kedua tangan Nabila dibelakang tubuh wanita itu dengan satu tangan besarnya. Sedangkan tangan satunya menekan tengkuk Nabila memperdalam ciumannya.
Evan baru menyudahi ciumannya ketika ia merasakan rasa asin dilidahnya yang berasal dari air mata Nabila. Nafas Evan terengah-engah, begitupun dengan Nabila. Ia segera melepaskan cekalan tangannya dan melihat tangan Nabila yang memerah akibat ulahnya.
"Sayang, maafkan aku."
"Papa jahat. Hiks..."
Evan mengulurkan tangannya bermaksud menggapai bahu Nabila saat wanita itu memundurkan kakinya selangkah kebelakang.
"Papa pergi..." ucap lirih Nabila.
"Nabila, jangan begini. Maafkan papa."
"Aku bilang papa pergii..." nada suara Nabila mulai meninggi.
Evan menyerah. "Baiklah papa akan pergi hari ini. Tapi aku akan kembali lagi besok untuk menjemput kamu. Kita pulang."
"Aku gak mau pulang pa. aku takut oma dan opa..."
"Papa tidak akan memaksamu pulang kerumah jika kamu tidak siap menghadapi oma dan opa. Papa akan pinjam apartement Indra, sementara kita tinggal disana. Atau kamu mau kita pindah kerumah kita yang dulu?"
Nabila tidak menjawab. Ia bingung. Di satu sisi ia takut akan murka keluarganya disisi lain ia juga ingin Evan berada didekatnya.
"Baiklah, papa pergi dulu." Ucap Evan. Sebelum pergi ia mencium kening Nabila dalam.
***
"Apa wanita hamil itu selalu sensitif, Ndra?" Sore itu setelah Evan pergi dari tempat Nabila ia segera kerumah adiknya.
Indra merasa bingung dengan ucapan kakaknya. Kenapa tiba-tiba mas Evan membahas tentang wanita hamil? Batinnya.
"Apa mas Evan sudah ketemu Nabila?"
Evan mengangguk menjawab pertanyaan adiknya. "Dia tinggal di rumah kecil yang menurutku tidak pantas untuk di tinggali." Ucapnya sambil memejamkan mata.
"Lalu kenapa tidak diajak pulang?"
"Nabila tidak mau pulang. Dia takut dengan oma opanya. Takut kalau mereka tidak akan percaya kalau itu anak ku."
"Lalu mas Evan mau bagaimana? Kasihan Nabila kalau harus tinggal sendirian. Dia tengah hamil mas." Elvira yang baru datang mengantarkan kopi ikut bersuara.
Sejenak Evan menatap Elvira. Wanita yang dulu pernah menjadi istrinya itu masih sama. Tetap cantik meski usianya hampir sama dengan dirinya. Dan Evan juga masih sama. Masih mencintai wanita itu meski cintanya tidak sekuat dulu.
"Besok aku akan menjemputnya, Vir. Aku tadi kesini mau bilang akan pinjam apartemennya Indra. Karena kurasa Nabila tidak akan mau juga pulang kerumah kami dulu." Ucap Evan.
"Pakai saja mas. Lebih baik disana daripada Nabila harus tinggal sendirian di luaran."
"Terimakasih Ndra."
Hening. Tidak ada lagi pembicaraan antara ketiganya.
"Apa mas Evan akan menikahi Nabila?"
Evan semakin diam mendengar pertanyaan yang terlontar tiba-tiba dari mantan istrinya itu. Jujur saja Evan belum memikirkan kearah sana.
"Kenapa mas Evan diam?" Indra menyambung ucapan istrinya. Sedikit geram karena keterdiaman Evan.
"Aku tidak tau." Ucapnya sambil menengadahkan kepalanya ke atas.
"Jadi mas evan tidak berniat bertanggungjawab?" Ucap Indra lagi sambil mengepalkan tangannya. Elvira yang duduk disamping suaminya menyentuh lengan suaminya bermaksud agar Indra bisa mengontrol emosinya.
"Aku belum berpikir kearah sana Ndra."
"Mas..." Indra sudah akan berdiri dan meraih kerah baju evan namun istrinya menghalanginya.
"Aku sudah dua kali gagal." Ucap Evan lagi.
"Mas, kegagalan pernikahan kita dulu dan kegagalan mas Evan dengan Chintya itu berbeda dengan Nabila sekarang. Nabila benar-benar mengandung anak Mas Evan." Kali ini Elvira yang angkat bicara. Ia pun mulai ikut geram dengan sikap Evan. "Kalau mas Evan sudah pesimis begini bagaimana mau memulai hidup baru? Bagaimana dengan masa depan Nabila nanti kalau mas tidak bisa memberi kepastian." Elvira menatap tajam Evan.
Ya, Elvira benar. Bagaimana dengan masa depan Nabila dan anaknya jika Evan tidak memberi kepastian. Evan mulai memikirkan tentang pernikahan. Tapi bagaimana jika Nabila nanti tidak bisa bahagia dengannya.
"Dan mas Evan juga harus tegas tentang mama dan papa. Jangan sampai mereka memojokkan Nabila." Sambung Indra.
Evan mengusap wajahnya kasar. "Ya, kalian benar. Tentang mama dan papa, aku akan mengatakannya pada mereka. Tapi tidak sekarang, yang terpenting sekarang Nabila mau kuajak pulang dulu."
Setelah melewati perdebatan kecil antara dirinya adiknya dan adik iparnya. Evan berpamitan pergi dari rumah sang adik. Ucapan Indra dan Elvira mulai menari-nari dibenaknya. Ia mulai memantapkan hatinya demi masa depan Nabila dan anaknya nanti.
"Tunggu aku menjemputmu, sayang. Kita pulang. Kita mulai hidup baru bersama."
***
Ide mengalir lancar kayak air pegunungan yee... tiap hari update. 🤣🤣🤣
KAMU SEDANG MEMBACA
NABILA
RandomIni kisah Nabila. Putri tiri papa Evan. Memiliki Konten dewasa. Jadi tolong bijak untuk anak dibawah umur jangan baca dan meninggalkan komen yang tidak-tidak.