Part - 19

9K 479 108
                                    

"Katakan Nabila, apa yang mama katakan padamu tadi?" Evan mengekori Istrinya yang tengah berjalan ke dapur.

Nabila memutar bola matanya mulai jengah dengan pertanyaan Evan yang terus diulang-ulang sejak setengah jam lalu. "Pa, papa gak capek apa nanya nya itu terus dari tadi? Tadi kan Nabila udah jawab."

"Kamu itu berbohong, Sayang. Aku tahu dan kenal kamu sejak kecil, bukan hanya sejak kita menikah. Jadi..."

"Stop..." ucap Nabila sambil mengangkat tangan kanannya menghentikan ucapan Evan. "Mending papa mandi deh, ini udah siang. Emang papa gak ke kantor?"

Evan menghela nafas kasar. Ia tahu, ia tidak akan menang berdebat dengan Nabila. "Baiklah..." Evan pun akhirnya berjalan kembali menuju kamarnya.

Sedangkan Nabila, ia hanya tersenyum kecut memandangi punggung Evan yang berjalan dan menghilang dibalik pintu kamar mereka. "Maafin Nabila, pa." Ucapnya dalam hati sambil mengelus perut buncitnya. "Maafin mama sayang." Tiba-tiba saja airmatanya jatuh saat memingat ucapan oma nya tadi.

Sekitar satu jam yang lalu...

"Kamu tahu kenapa Oma pagi-pagi begini datang kesini?"

Nabila menggeleng pelan tanda tak mengetahui maksud kedatangan omanya.

"Oma sudah mengambil keputusan. Setelah melahirkan anak itu, kamu akan melanjutkan pendidikanmu diluar negeri. Oma sudah persiapkan semuanya." Ucap Nyonya Diana.

"Ta... tapi Oma..."

"Tidak ada tapi, Nabila. Oma tidak akan pernah merestui pernikahan antara kamu dan Evan. Kalau kamu tetap ngotot mempertahankan hubunganmu dengan papamu. Oma akan ambil dan menjauhkan anak itu darimu dan juga Evan."

Nabila diam tidak mampu berkata apa-apa lagi untuk melawan perkataan nyonya Diana. Ia takut akan dijauhkan dari bayi yang sedang dia kandung saat ini. Nabila sangat tahu jika Omanya sudah mengambil keputusan maka keputusan itu adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun termasuk Opanya sekalipun.

"Tapi, apa Nabila masih boleh bertemu dengan anak Nabila nanti kalau aku menuruti kata-kata Oma?" Tanya Nabila.

"Ya, tapi tidak dengan bertemu Evan. Karena Oma akan tetap melanjutkan rencana Oma untuk menjodohkan papamu dengan wanita yang waktu itu pernah Oma kenalkan." Jawab Nyonya Diana panjang.

DEG... jantung Nabila seakan berhenti mendengarnya. Bagaimana mungkin ia merelakan suami dan anaknya menjadi milik orang lain, sedangkan dirinya sudah benar-benar jatuh cinta pada Evan? Tapi sayangnya Nabila tidak punya pilihan lain selain menuruti perkataan Omanya.

"Mama kenapa pagi-pagi sudah disini?" Evan yang baru saja bangun dari tidurnya berjalan keluar kamar karena mendengar suara ibu dan juga istrinya sedang berbincang.

"Mama hanya ingin bicara dengan Nabila dan sudah selesai. Mama pergi dulu." Nyonya besar bangkit dari duduknya dan memandang lekat pada istriku. "Ingat kata-kataku tadi Nabila."

"I... iya Oma." Jawab Nabila lalu meraih tangan nyonya besar dan menciumnya.

FLASHBACK OFF

"Sayang, kamu melamun?" Ucap Evan saat mendapati istrinya tengah melamun di meja makan.

"Ehmmm.... enggak." Ucap Nabila gugup. "Ini Nabila sudah siapin roti panggang sama kopi buat sarapan papa."

"Terimakasih." Ucap Evan lalu mencium kening Nabila.

Mereka sarapan dalam diam. Evan merasa semakin aneh dengan sikap Nabila. Ia semakin yakin kalau Nabila menyembunyikan sesuatu yang berkaitan dengan kedatangan Mamanya pagi ini.

"Apa mama ada bilang sesuatu yang menganggumu, Nabila?"

"Tidak pa, percaya deh sama Nabila. Oma kesini cuma mau nengokin kita, itu aja gak lebih." Ucap Nabila berusaha tenang.

Evan menghela nafas panjang. Sekeras apapun Nabila berusaha menyembunyikan kobohongannya, tapi Evan selalu tahu kalau Nabila sedang berbohong. Hanya saja Evan memilih berhenti bertanya dan mencecar Nabila mengingat istrinya itu sedang mengandung dan tidak boleh stres.

"Baiklah, papa berangkat kerja dulu. Kamu dirumah saja dan jangan kemana-mana, ya."

"Iya pa. Papa nanti pulangnya jangan terlalu malam seperti kemarin. Nabila takut sendirian." Ucap Nabila sambil cemberut yang membuat Evan gemas sendiri melihatnya.

"Iya, sayang." CUP, Evan mencium bibir kecil Nabila hingga pipi istrinya merona karena malu.

Sepeninggal Evan, Nabila kembali merenungi setiap perkataan Omanya. "Kenapa Oma keras sekali? Kenapa aku tidak bisa melawan Oma? Kenapa aku lemah sekali?" Berbagai pertanyaan berkecamuk didalam hati dan pikirannya. "Apa Oma membenciku karena aku anak mama Chintya?" Nabila mulai menunduk dalam. Akankah ia bernasib sama seperti mamanya? Terbuang didalam penjara tanpa ada seorangpun yang mencintainya? Ataukah ini karma dari perbuatan mamanya dulu yang telah menyakiti banyak orang.

Nabila merasa dirinya tidak dibutuhkan dikeluarga angkatnya. Kehadirannya hanyalah sebuah aib bagi keluarga. Apalagi dengan kehadiran janin yang sedang ia kandung, ia merasa sudah sangat mempermalukan orang-orang yang telah merawat dan menyayanginya.

"Apa aku pergi saja? Tapi bagaimana dengan papa? Hiks..." Nabila menangis tergugu untuk sesaat. Hatinya bimbang, jika ia pergi lagi bagaimana dengan Evan? Mengingat Evan yang sudah seperti orang gila saat ia sempat menghilang dulu.

Tapi tidak. Nabila tidak ingin lagi kehilangan kebahagiaannya. Baginya Evan dan bayi dalam kandungannya adalah segalanya untuk wanita muda itu. "Aku akan bertahan. Maaf Oma, Nabila akan selalu disisi papa." Gumamnya pada diri sendiri. "Kita bisa nak... kita berjuang bersama ya... sama papa juga." Ucapnya sambil mengelus perut besarnya.
***


NABILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang