"Sayang..."
"Iya pa, Nabila didapur."
Evan menghampiri dan memeluk istri kecilnya dari belakang. Akhirnya atas persetujuan dari sang papa, Evan dan Nabila melangsungkan pernikahan secara agama yang berlangsung sederhana. Pernikahan yang ia sembunyikan dari sang mama. Meskipun Evan tidak yakin apakah ia benar-benar bisa merahasiakan dari mamanya. Pasalnya, wanita yang telah melahirkannya itu seperti memiliki seribu mata dan seribu telinga yang selalu mengetahui setiap gerak-gerik anak-anaknya.
"Bikin apa?"
"Bikin teh anget, mual terus dari tadi."
"Hah? Kenapa gak bilang?"
"Ini udah bilang." Ucap Nabila cuek.
Evan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Terkadang ia harus menyesuaikan diri dengan sikap dan sifat Nabila yang masih labil layaknya anak remaja seusianya. Ditambah lagi hormon kehamilan yang bisa merubah mood calon ibu muda itu secara tiba-tiba.
"Pa, duduk yuk. Udah dong peluknya."
Evan membimbing Nabila menuju meja makan kecil dekat dapur.
"Sayang, besok kita pindah ya." Ucap Evan
"Kenapa? Emangnya papa beli apartement baru?" Nabila mengernyitkan dahinya merasa bingung karena Evan tiba-tiba saja mengajaknya pindah.
"Bukan. Kita kembali kerumah kita yang lama saja gimana?" Ucap Evan hati-hati.
"ENGGAK!" Nabila memekik keras menolak kembali kerumah masa kecilnya. Jika ia kembali kesana, itu sama saja seperti membuka kembali trauma lama yang sudah berusaha ia lupakan.
"Sayang, mau kemana?"
"Tidur... papa nyebelin." Nabila melangkah cepat masuk kedalam kamar lalu menjatuhkan diri diranjang besarnya dan menenggelamkan diri di bawah selimut tebal yang menutupi tubuh berisinya.
Evan mendekati istrinya lalu duduk disamping Nabila berbaring. "Sayang maaf, maafin aku ya."
"Jangan deket-deket. Sana tidur di sofa."
"Hah..." Evan terbengong mendengar pengusiran Nabila. "Sayang, mana bisa aku tidur disofa." Evan menolak, karena tidak mungkin ia tidur tanpa Nabila. Bagaimanapun juga Evan tetaplah pria normal yang tidak bisa tidur tanpa ada istri disampingnya.
"Yaudah, aku aja yang tidur disofa." Nabila sudah akan bangkit dari baringnya saat Evan mencekal tangannya.
"Sayang, jangan gini dong. Oke kita gak jadi pindah. Kalaupun pindah, aku akan cari tempat baru untuk kita." Ucap Evan meyakinkan.
"Bener?" Mata Nabila berubah berbinar-binar setelah mendengarnya. Bagi Nabila, tidak masalah jika harus tinggal dimanapun asalkan tidak kembali kerumah lamanya atau, "tapi gak mau kembali kerumah oma juga." Ucapnya lagi dengan nada lirih.
"Iya, aku akan cari tempat baru. Apartement gak apa-apa kan?"
Nabila mengangguk antusias lalu memeluk Evan erat. "Makasih ya, pa."
Huhh sabar Van. Wanita hamil memang labil. Ucap Evan dalam hati memperingatkan dirinya sendiri.
***
"Ma, sebaiknya kita pergi dulu dari sini." Elvira mencoba menghentikan ibu mertuanya. Pagi ini ibu mertuanya itu memaksa Elvira untuk menemaninya pergi ke apartement milik Indra.
"Kamu ini sudah sampai sini malah ngajak pulang. Enggak!" Tolak keras nyonya Diana. "Cepat buka." Nyonya Diana memerintahkan Elvira menekan pasword saat mereka sampai di depan pintu apartement.
"Ma, gak sopan kalau kita masuk gitu aja. Kita bunyikan bel aja dulu ya."
Ting tong
Ting tong
Ting tong
Nyonya diana memekan bel dengan tidak sabar."Ck, ngapain sih mereka ini. Kenapa lama sekali?"
Elvira hanya diam tidak menanggapi.
***
Sedangkan didalam kamar, Nabila menggeliat didalam pelukan Evan saat mendengar suara bel pintu yang memberondong seperti sebuah senapan.
"Pa... papa bangun, ada tamu deh kayaknya." Ucap Nabila sambil menggoyangkan lengan Evan.
"Hah... tamu? Siapa pagi-pagi begini." Evan yang kesadarannya belum sepenuhnya pulih berusaha bangkit dari tidurnya. Ia lalu berjalan menuju pintu dengan diikuti Nabila di belakangnya.
Saat membuka pintu, Evan terkejut melihat mamanya dan datang bersama dengan istri adiknya. "Ma, mama ngapain pagi-pagi disini?"
"Diam, mana Nabila?" Nyonya Diana melihat kebelakang Evan. Ada Nabila disana sedang menautkan jari-jari tangannya gugup. Nyonya Diana berjalan menghampiri Nabila lalu menarik tangannya keras, "ikut sekarang!"
"Ma, mama apa-apaan sih? Nabila tetap disini sama aku." Evan segera melepaskan cekalan tangan mamanya pada tangan Nabila.
"Van, tidak pantas kamu disini dengan Nabila dalam keadaan seperti ini. Lagipula apa kamu tidak curiga bayi itu anak siapa. Ingat Van, dia itu anak Chintya!"
"Ma...!" Evan dan Elvira memekik bersamaan mendengar kalimat terakhir mamanya. "Bayi Itu anakku!" Lanjut Evan.
Sedangkan Nabila sudah menangis saat mendengar tuduhan Omanya tentang bayinya. Ia memang anak Chintya tapi ia bukan Chintya yang akan tidur dengan sembarang pria hingga menghasilkan anak yang tidak diketahui siapa ayahnya.
"Lebih baik mama pergi saja daripada berkata yang tidak-tidak disini."
"Mama akan pergi, dengan membawa Nabila." Ucap mama Evan tak terbantahkan.
"Tidak..."
"Mas Evan sudah." Potong Elvira. "Ma, kita pergi dulu dari sini ya, mas Evan akan menjaga Nabila ma." Ucap Elvira sambil memegang tangan ibu mertuanya. "Percayalah ma, semua akan baik-baik saja."
Nyonya Diana menatap tajam pada menantunya. "Kamu membela mereka, Vira."
"Tidak ma, aku memikirkan mama. Nanti kesehatan mama bisa menurun lagi." Bujuk Elvira lagi. "Vira telpon mas Indra ya buat jemput kita disini."
"Terserah." Ucap Nyonya Diana Akhirnya.
***
Setelah dijemput oleh Indra, Elvira dan Nyonya Diana pun pulang.
"Sayang kenapa?" Evan yang melihat istrinya duduk termenung di meja dapur menghampirinya dengan perasaan khawatir.
"Aku emang anak mama tapi aku tidak seperti mama." Ucap Nabila sedikit bergumam.
"Sayang jangan dipikirkan, mama hanya masih kecewa sama kita. Aku yang salah."
Nabila menoleh pada papanya. "Papa gak berangkat ke kantor?"
"Enggak, papa temani Nabila dirumah sayang."
Nabila segera memeluk papanya dan menangis. "Jangan tinggalin Nabila ya, pa..."
***
Maafkan lama update ya...
Dan Maaf kalau gak baguss... 😭😭
KAMU SEDANG MEMBACA
NABILA
RandomIni kisah Nabila. Putri tiri papa Evan. Memiliki Konten dewasa. Jadi tolong bijak untuk anak dibawah umur jangan baca dan meninggalkan komen yang tidak-tidak.