"Kau tidak bekerja hari ini, Nabila?" Angga yang melihat Nabila duduk melamun di teras rumahnya, menegurnya.
"Tidak mas. Aku udah telpon kak karin tadi, untuk sementara aku cuti."
"Kenapa? Apa kau sakit?" Tanya Angga mulai khawatir.
"Tidak, mas. Papa mau kesini jemput aku."
"Kamu mau pulang."
Nabila mengangguk sedikit ragu. Sekilas Nabila melihat raut kekecewaan dari wajah Angga. Seperti tidak rela jika Nabila harus pergi menjauh darinya.
"Apa mas Angga tidak bekerja?"
Angga melirik sekilas jam yang melingkar ditangannya. Sudah hampir jam 7 itu artinya ia harus segera berangkat. Angga sudah akan berbalik dan berangkat bekerja saat ia tiba-tiba teringat sesuatu.
"Bila, bagaimana dengan pertanyaanku kemarin?"
Nabila terkesiap mendengarnya. Sebenarnya ia berharap Angga tidak akan bertanya tentang keinginannya untuk menjadi ayah dari bayinya.
"Maaf, mas." Nabila tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya kata maaf lah yang terlontar dari sela bibirnya.
"A. Apa aku ditolak?" Suara Angga sedikit bergetar membuat Nabila menjadi serba salah.
"Tidak apa-apa Nabila. Mungkin kita hanya ditakdirkan untuk berteman saja." Ucap Angga kemudian. Ia memaksakan bibirnya untuk tersenyum walau sebenarnya ia enggan melakukannya.
"Nabila..."
Nabila yang merasa namanya dipanggil segera menoleh dan mendapati papanya sudah berdiri didepan rumahnya tak jauh darinya dan Angga.
"Pak Evan."
***
Evan menatap tajam pria muda yang ada dihadapannya. Ia tak suka melihat pria itu mendekati Nabila. Padahal Evan seharusnya berterimakasih pada pria itu karena sudah menolong putrinya selama pergi dari rumah.
"Saya permisi berangkat bekerja dulu pak, mari." Angga yang merasakan aura dingin dari Evan segera berpamitan. "Nabila aku pergi dulu." Lanjutnya berpamitan pada Nabila yang menambah ketidaksukaan Evan.
"Kamu menyukainya, Nabila?" Setelah kepergian Angga, Evan mulai membuka suara.
Nabila memutar bola matanya malas mendengarnya. Ia lalu berjalan memasuki rumah diikuti Evan dari belakang.
"Nabila." Evan menggapai bahu Nabila agar putrinya itu berhenti berjalan.
"Apa peduli papa?"
Evan mengernyit mendengar nada sinis dari Nabila. "Apa maksudmu? Kamu sedang mengandung anakku, dan aku tentu saja peduli padamu. Ingat Nabila, kamu tidak boleh dekat dengan pria manapun." Ucap Evan tegas.
Nabila menatap Evan bingung saat mendengar perkataan pria itu. Nabila bingung, kenapa papanya menjadi posessive begini?
"Dasar aneh." Celetuk Nabila yang membuat Evan melotot tak percaya. Bagaimana tidak. Ia sudah begitu serius dengan kata-katanya tadi. Tapi Nabila malah menyebutnya aneh.
"Kita pulang sekarang." Putus Evan tak terbantahkan.
"Gak mau." Ucap Nabila kesal.
Evan melirik pintu kamar satu-satunya dirumah itu lalu menggapai gagang pintu itu dan membukanya.
"Pa...?!" Nabila memekik semakin kesal dengan tingkah papanya.
"Kita pulang ke Apartement Indra atau kalau kamu gak mau, papa yang akan tinggal disini dan tetangga kamu akan mulai bergunjing tentang kita."
Nabila menghentakkan kakinya tanpa sadar. Ia kesal kenapa tidak bisa menolak keputusan papanya.
"Kamu sedang hamil jadi jangan mengentakkan kaki sesukamu seperti itu." Ucap Evan sambil menatap tajam Nabila. "Dimana kopermu?"
Nabila tidak menjawab, ia hanya menunjuk keatas lemari dengan jari telunjuknya tempat dimana kopernya ia simpan.
"Duduk saja disitu, aku yang akan membereskan pakaianmu." Ucap Evan menyuruh Nabila duduk di sisi ranjang kecil dikamar itu.
Evan mulai berkemas dan itu tidak membutuhkan waktu lama karena memang tidak banyak barang milik Nabila yang harus ia kemasi.
"Sudah selesai. Kita pergi sekarang." Ucap Evan.
Evan berjalan lebih dulu sedangkan Nabila mengikutinya dari belakang sambil mengerucutkan bibirnya tanda ia masih kesal pada Evan.
"Loh, Neng Nabila mau kemana?" Seorang ibu bertubuh gempal berbaju biru dan berhijab warna senada menghampiri Evan dan Nabila. Beliau adalah pemilik kontrakan yang di tempati Nabila.
"Eh ibu. Saya mau pergi bu, dan ini kuncinya. Saya mungkin tidak akan kembali, bu." Ucap Nabila
"Oh begitu, lalu mas ini siapa?"
"Saya..." baru saja Evan akan menjawab tapi Nabila sudah mendahuluinya.
"Papa saya, bu."
"Oh begitu." Ucap ibu itu sambil menatap Evan dan Nabila bergantian. Tidak mirip, batinnya. "Ya sudah kalau begitu, hati-hati ya neng Nabila." Ucap Ibu itu.
***
Sepanjang perjalanan Evan dan Nabila diam seribu bahasa. Nabila memilih menatap ke luar kaca mobil memandang jalanan ibukota yang selalu padat dengan lalu lalang kendaraan. Sampai di kawasan Apartement Elit Nabila masih tetap bungkam. Ia segera keluar ketika papanya sudah memarkir rapi mobilnya.
"Kita langsung ke..." ucapan Evan kembali terhenti ketika Nabila melangkah mendahuluinya. "Ck... hufftt... sabar Van sabar." Batin Evan memperingati dirinya sendiri. Ia memilih mengikuti Nabila tanpa bersuara.
Sampai di dalam unit yang akan mereka tempati, Evan membawa koper memasuki kamar. Nabila bingung, apakah ia harus sekamar dengan papanya, atau...? Lalu Nabila melihat ada satu pintu lagi disamping pintu kamar yang Evan masuki tadi.
"Pa...?" Nabila menyusul papanya memasuki kamar.
"Ya, sayang." Evan yang sedang memasukkan baju-baju Nabila tersenyum senang karena Nabila sudah mau berbicara. "Ada apa?"
"Aku pikir, aku akan tidur di kamar satunya saja. Dan papa disini." Ucap Nabila.
Evan menghentikan aktivitasnya lalu mendekati Nabila. "Kamu gak mau tidur seranjang denganku. Setahuku ibu hamil akan selalu ingin tidur dengan ayah bayinya." Ucap Evan bermaksud menggoda Nabila
Nabila memggigit bibir bawahnya kuat. Ia kembali bingung harus bagaimana. Ucapan papanya benar. Nyatanya selama ini ia selalu merindukan bau tubuh Evan disaat tidur.
"Jangan digigit seperti itu, nanti terluka." Bisik Evan sambil mengusapkan Ibu jarinya ke bibir Nabila. Membuat wanita muda itu reflek memejamkan matanya.
"Tapi..."
"Kamar sebelah itu tidak ada ranjangnya. Itu ruang kerja Indra dulu yang akan aku gunakan sebagai ruang kerja juga nanti." Ucap Evan lembut.
"Jangan pikirkan apapun. Aku tidak akan melakukan apa-apa kalau kamu tidak mau." Ucap Evan pelan walau sebenarnya ia sanksi dengan ucapannya sendiri. Nyatanya, berada didekat Nabila mampu membangkitkan lagi gairah yang sebenarnya sudah ia tekan kuat-kuat sejak bertemu Nabila kemarin. Perubahan tubuh Nabila yang mulai berisi membuatnya menginginkan sesuatu yang sama seperti saat pria itu menyentuhnya untuk pertama kali.
***
Vote+comment jangan lupa ya. Don't be SIDER. 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
NABILA
RandomIni kisah Nabila. Putri tiri papa Evan. Memiliki Konten dewasa. Jadi tolong bijak untuk anak dibawah umur jangan baca dan meninggalkan komen yang tidak-tidak.