Part - 6

15.9K 602 19
                                    

Menangis tidak akan menyelesaikan masalah, tapi setidaknya dengan menangis bisa sedikit meredakan rasa sesak yang tengah mendera didada. Ya... Nabila tengah menangis, menangisi dirinya sendiri, menangisi nasibnya yang... ya, aneh menurutnya. Dia bukan anak kandung papanya. Hampir dibunuh oleh ibunya sendiri hingga mengalami trauma, dia tidak tahu siapa ayahnya. Dan sekarang dia tengah mengandung hasil dari perbuatan ayahnya, lebih tepatnya ayah angkat.

Rumit...
Hidup Nabila sangat rumit. Seperti inikah takdir yang dipilihkan Tuhan untuknya? Nabila merutuki nasibnya, jalan hidupnya. Tapi ia tidak pernah menyalahkan Tuhan atas apa yang ia alami. Ia percaya Tuhan memiliki rencana yang terbaik untuknya kelak.

Nabila mengemasi barang-barangnya. Berniat pergi meninggalkan segalanya. Meninggalkan Evan beserta kenangan manis yang mereka lalui bersama ketika masih menjadi ayah dan anak. Papanya akan segera menikah, dan itu menghancurkan harapannya pada Evan. Harapan yang sebenarnya tidak pernah ada. Evan tidak pernah berniat menikahinya. Ia hanya berusaha menjaga Nabila sebagai anaknya dan hanya sebatas bertanggungjawab pada bayi yang tengah Nabila kandung.

"Selamat tinggal pa..." Nabila menengadahkan kepalanya, mencoba menghalau air mata yang kembali mendesak ingin keluar. Lalu ia berjalan keluar kamar, menengok kanan kiri. Tidak ada orang, ini sudah tengah malam. Semua orang sudah terlelap tidur.

Nabila pergi tanpa ia tahu harus kemana dan bagaimana harus menjalani hidup. Selama ini ia hanya bergantung pada Evan. Tapi kali ini Nabila sudah bertekad akan memulai hidupnya sendiri.

***

Evan bangun dipagi hari. Menjalani ritual paginya, dan bersiap berangkat kerja. Ia turun menuju meja makan yang sudah ada mama dan papanya disana. Tapi, tunggu... tidak ada Nabila. Apa Nabila belum bangun? Atau dia tidak ada kuliah hari ini? Atau mungkin dia mual lagi? Batinnya bertanya.

"Dimana Nabila?" Tanyanya singkat.

"Belum turun, mungkin belum siap." Mama Evan yang menjawab.

"Bik... tolong panggilkan Nabila." Evan menyuruh bi Darsi memanggil Nabila.

Bi Darsi naik ke lantai 2 untuk memanggil Nabila. Namun tak berapa lama ia kembali turun dengan wajah paniknya.

"Tuan Evan, itu..."

"Ada apa bik, kenapa panik gitu? Nabilanya mana?" Tanya Evan penasaran, bahkan ia mulai ikut panik melihat ekspresi Bi darsi

"Anu tuan, Non Nabila gak ada dikamarnya. Udah bibik cari-cari tapi kamarnya kosong."

"APA?!" Evan kaget mendengarnya, ia buru-buru berlari kekamar putrinya. Kosong, Evan menemukan secarik kertas diatas nakas samping tempat tidur.

Pa... Nabila pergi...
Papa gak perlu cari Nabila,
Nabila bisa jaga diri dan Dia...
Semoga papa bahagia dengan pernikahan papa...

Evan meremas kertas yang baru saja ia baca isinya. Nabila salah paham. Evan tidak berniat untuk menikah dengan pilihan mamanya. Karena prioritas utamanya hanya Nabila dengan bayi yang dikandungnya.

Semalam, saat mama Evan mengenalkannya pada seorang wanita yang disebut sebagai calon istrinya. Evan hanya diam dan menanggapi seadanya obrolan ringan diantara mereka karena ia menjaga perasaan Nabila. Namun ternyata Nabila beranggapan lain. Ia menganggap sikap Evan adalah suatu persetujuan untuk menikah lagi.

"Kemana kamu Nabila...?" Evan mengacak rambutnya frustasi.

"Van, Nabila itu paling cuman jogging keliling komplek. Atau kalau gak..."

"Nabila pergi." Ucap Evan sebelum mamanya menyelesaikan ucapannya.

"Pergi? Pergi kekampus maksudnya?" Tanya mama Ev.

"Aku harus mencarinya." Bukan menjawab pertanyaan mamanya tapi Evan malah berlari keluar rumah bermaksud mencari Nabila.

"Van, tunggu..." Evan mengabaikan teriakan mamanya.

"Ada apa sih ma teriak-teriak." Papa Evan bertanya pada istrinya.

"Itu Evan mau cari Nabila katanya."

"Loh, emang Nabilanya kemana? Kok dicariin?"

"Gak tau, tapi..." nyonya Diana menjeda ucapannya. Ia melebarkan matanya saat memikirkan sesuatu. "Atau jangan-jangan..."

***

Evan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi mencari keberadaan Nabila. Ia menuju kampus Nabila bermaksud bertanya pada teman-temannya.

"Permisi, kalian teman-temannya Nabila kan?" Tanya Evan pada dua orang mahasiswi yang ia kenal sebagai teman dekat Nabila. Mereka adalah Wulan dan Nisa.

"Eh... iya Om. Om ini papanya Nabila ya?" Jawab Wulan.

Evan mengangguk lalu bertanya pada keduanya. "Apa kalian sudah bertemu Nabila hari ini?"

"Nabila?" Tanya Nisa bingung. "Kami baru datang om, jadi belum bertemu Nabila hari ini." Lanjutnya.

"Oh. Ya sudah terimakasih ya."

Evan langsung pergi dari kampus. Kembali mengendarai mobil dengan tujuan yang entah kemana ia sendiri tidak tahu. "Kemana kamu Nabila..." gumam Evan yang hampir menyerupai geraman. "Mungkin rumah Indra." Evan langsung membelokkan mobil menuju rumah adiknya tersebut.

Sesampainya dirumah Indra, Evan langsung berlari menuju pintu setelah turun dari mobil dan mengetuk pintu dengan keras.

"Mas Evan! Kenapa pagi-pagi begini sudah kesini? Ada apa." Elvira yang membukakan pintu terkejut melihat Evan berdiri di depan pintu. Evan memang masih terlihat rapi namun ia sangat kacau menurut Elvira, itu terlihat dari raut mukanya.

"Vir... apa..." sejenak Evan ragu harus bertanya atau tidak. Sampai suara Indra membuyarkan keraguannya.

"Ada apa Mas?" Indra menyusul istrinya saat melihat Evan di depan pintu.

"Apa Nabila ada disini? Atau mungkin dia pinjam apartement lagi padamu, Ndra?"

"Nabila? Tidak, dia tidak disini. Memangnya ada apa?"

"Haahh. Dimana dia." Evan membuang nafasnya kasar.

"Ada apa mas? Kenapa mas Evan terlihat panik?" Kali ini Elvira yang bersuara.

"Dia..." Evan menjeda ucapannya, ragu harus melanjutkan atau tidak.

"Dia kenapa mas?" Tanya Elvira lagi penasaran bercampur rasa khawatir.

"Nabila pergi dari rumah."

"APA?!" ucap Indra dan Elvira bersamaan.

"Dia hamil, dan aku yang melakukannya." Ucap Evan penuh sesal.

Elvira terkejut dengan pernyataan Evan ia menutup mulutnya dengan tangan. Sedangkan Indra, ia mengepalkan tangan dan....

Bughhh
Bughhh
Bughhh

"Brengsek... mas Evan memang bajingan." Teriak Indra marah. Evan tak menjawab ataupun membalas pukulan dari adiknya itu.

"Mas! Sudah..." Elvira memegangi lengan suaminya yang sudah siap memukul Evan kembali, "kita dengarkan mas Evan bicara dulu."

Indra mundur selangkah menahan Emosi yang siap meledak kapan saja. Ia tidak habis pikir, kenapa kakaknya tidak berubah.

"Aku akan mencarinya...," jeda "tapi tolong jangan beritahu papa dan mama. Aku takut mereka akan menyudutkan Nabila..."

***


NABILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang