"Aku akan menikahi Nabila."
Satu kalimat yang mampu membuat jantung Nabila seakan berhenti berdetak. Benarkah?
"TIDAK BISA...!" suara menggelegar dari tuan Hendra membuat semua orang diam. "Itu tidak akan terjadi."
"Pa, anak yang di kandung Nabila itu anak ku."
"Apa kamu yakin? Bagaimana dengan Vonis dokter?" Nyonya Diana bertanya yang semakin menambah ketegangan didalam rumah besar itu.
Nabila merasakan nyeri didadanya. Ia sudah menduga kalau Oma-opanya pasti tidak akan percaya tentang kehamilannya.
"Ma, masih ada kemungkinan kan kalau aku bisa punya anak. Lagipula hanya aku yang menyentuh Nabila. Aku bisa jamin itu."
Tuan Hendra memijit pangkal hidungnya yang tiba-tiba saja merasa sakit. "Tidak Van. Papa tidak mengijinkan kamu menikahi Nabila."
"Pa, Nabila sedang hamil. Apa kata orang nanti kalau aku tidak menikahinya?"
"Nabila akan menikah tapi tidak dengan kamu. KAMU MENGERTI!!!" Ucap Tuan Hendra tegas.
Elvira yang sejak tadi menenangkan ibu mertuanya kini beralih menghampiri ayah mertuanya. "Pa, papa tenang. Kita duduk dulu, ya?"
"Hahh... papa tidak mengerti kenapa ini terjadi pada keluarga kita, Vira."
"Kita bicarakan baik-baik pa, emosi tidak akan menyelesaikan masalah." Elvira berkata lembut pada ayah mertuanya.
"Suruh Evan pergi dari sini, Vira. Papa sudah muak melihat wajahnya."
"Pa, jangan seperti ini." Elvira berusaha membujuk ayah mertuanya.
"Aku akan pergi dari rumah ini bersama Nabila." Ucap Evan
"Nabila tetap disini." Ucap Tuan Hendra tegas dengan sorot mata tajam pada Evan.
"Nabila, kamu ikut papa." Ucap Evan sambil menarik tangan Nabila dan membawanya pergi dari rumah orang tuanya.
"EVAN... MAU KEMANA KAMU?!"
Bahkan teriakan dari papanya pun tidak didengar oleh Evan.
***
NABILA
Aku sudah menduganya, Oma meragukan anak yang ku kandung. Dan opa bahkan menentang niat papa yang akan bertanggungjawab dan menikahiku. Semua orang kecewa padaku. Aku bingung, aku harus bagaimana? Apa aku pergi saja dari kehidupan papa selama-lamanya. Tapi bagaimana kalau aku merindukannya?
Rindu???
Aku pasti akan merindukan papa kalau aku jauh darinya lagi.
"Sayang..."
Panggilan itu, papa selalu memanggilku sayang sejak aku kecil. Tapi kali ini bolehkah aku berharap kalau panggilan itu ditujukan padaku sebagai wanitanya bukan sebagai putrinya. Ah... ada apa denganku? Papa tidak mungkin menganggapku sebagai wanitanya.
"Ada apa pa? Aku di balkon." Jawabku.
"Kenapa disini hemm? Angin malam tidak baik untuk ibu hamil." Papa memelukku dari belakang. Nyaman sekali, rasanya aku ingin seperti ini saja biarkan aku menikmati pelukan papa. Biarkan aku menganggapnya sebagai pelukan seorang pria kepada wanitanya.
"Tidak apa-apa." Jawabku sambil memejamkan mata.
"Ayo masuk, aku sudah buatkan susu hamil untukmu."
Aku menurut saja saat papa menarik dan membawaku masuk kedalam kamar.
"Ini..." papa memberikan susu dalam gelas padaku dan aku langsung meminumnya.
"Pelan-pelan sayang."
"Aku gak mau lagi pa." Ucapku sambil meletakkan gelas susu yang baru ku minum setengahnya.
"Kenapa tidak dihabiskan?" Papa mengernyitkan dahinya merasa bingung.
"Itu rasa vanila dan aku tidak suka."
"Bukannya kamu suka vanila? Makanya tadi papa belikan itu."
Aku memang suka vanila, tapi itu dulu. Semenjak hamil aku jadi tidak suka. Bawaan bayi mungkin.
"Adek bayinya gak suka." Ucapku pelan takut papa kecewa karena salah membelikan susu. Kulihat papa mengernyitkan dahi lalu sejenak kemudian tertawa melihatku.
"Yasudah, besok kita beli susu yang kamu suka ya." Aku mengangguk mengiyakan. "Sekarang kita tidur sudah malam, adek bayi dan mamanya perlu istirahat." Ucap papa sambil mengelus pelan perutku.
"Pa? Bukankah papa mau menikah dengan tante itu?" Aku memberanikan diri bertanya pada papa saat kami sudah berbaring diatas ranjang, sebuah pertanyaan yang sudah ku tahan sejak beberapa hari lalu sejak aku kembali bertemu dengan papa. Seharusnya papa memang sudah menikah dengan tante itu, bukan? Bahkan aku tidak tahu namanya.
"Aku tidak mau menikah dengannya Nabila. Bagaimana denganmu dan anak kita kalau aku menikah dengannya?"
Anak kita? Aku sedikit terbawa perasaan saat papa menyebutnya begitu. Tapi... ah, tidak. Aku tidak boleh banyak berharap, karena bagi papa aku hanyalah putrinya.
"Pa? Apa papa benar-benar akan menikahiku?"
"Tentu saja. Cepat atau lambat kita akan tetap menikah."
"Tapi tadi opa..."
"Mama dan papa masih syok dengan kabar kehamilanmu, jadi wajar jika mereka menentang. Nanti lama-lama mereka pasti luluh juga." Ucap papa sambil memainkan rambut panjangku. "Sudah, tidur saja. Jangan banyak pikiran." Kulihat papa tersenyum padaku lalu mencium keningku lalu turun ke kedua kelopak mata, kedua pipi dan berakhir di bibirku. Papa berhenti dan terdiam beberapa detik dibibirku, mungkin menunggu reaksiku.
Aku memejamkan kedua mataku saat papa mulai menggerakkan bibirnya dan melumat bibirku lembut. Ragu-ragu ku balas lumatannya dengan gerakan kaku karena kau sama sekali belum pernah berciuman sebelumnya. Hanya dengan papa aku pernah berciuman.
Tubuhku sedikit menegang saat papa mulai menggerakkan tangannya menyingkap daster yang kupakai dan meraba kulit punggungku.
"Rileks, Nabila." Bisiknya pelan tepat ditelingaku lalu ia mencium dan menggigit kecil disana. Ciumannya turun keleher, sementara tangannya sudah berada diatas buah dadaku yang masih tertutub bra. Lalu Papa meremasnya pelan.
"Ahh... paa..." sebuah desahan yang sedari tadi kutahan akhirnya lolos dari sela-sela bibirku.
"Panggil aku Evan, sayang. Just Evan, not Papa."
"Engghh... E.. Evan."
"Ya seperti itu." Ucapnya lalu menenggelamkan wajahnya di dadaku yang membuatku tidak bisa menahan desahan dan erangan yang berkali-kali keluar dari bibirku. Entah sejak kapan papa menanggalkan pakaianku dan juga pakaiannya sendiri hingga kami sama-sama tidak memakai apa-apa lagi.
Malam ini kami melakukannya lagi. Seperti malam itu, hanya saja kali ini berbeda. Papa dalam keadaan sadar dan aku tidak dalam keadaan terpaksa. Dengan kata lainnya aku menikmatinya, menikmati setiap sentuhan papa.
"I love you, pa."
***
Nabila come back
Tolong kasih vote and comment yang buanyakk yaaa biar rameeee... hehehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
NABILA
RandomIni kisah Nabila. Putri tiri papa Evan. Memiliki Konten dewasa. Jadi tolong bijak untuk anak dibawah umur jangan baca dan meninggalkan komen yang tidak-tidak.